Kamis, 31 Desember 2009

BELAJAR DARI PERISTIWA MADIUN 18 SEPTEMBER 1948 (1)

Sebagaimana banyak peristiwa kontroversial lain dalam sejarah, ada sejumlah teori yang muncul mengenai Peristiwa Madiun. Dalam peristiwa yang terjadi pada bulan September 1948 itu setidaknya ada empat teori yang berlaku.
Pertama, teori yang mengatakan, dalam Peristiwa Madiun adalah PKI. Menurut teori ini, PKI (Partai Komunis Indopnesia) ingin merebut kekuasaan dari Pemerintah RI dengan cara menduduki kota Madiun. Sebagaimana yang terungkap dalam dokumen yang diedarkan kalangan Partai Murba, PKI melakukan kerjasama dengan FDR (Front Demokrasi Rakyat) untuk menjadikan Indonesia berpemerintahan Komunis. Di Madiun pula mereka membentuk "Soviet: atau sistem pemerintahan model komunis Rusia. Muso adalah pemimpin dari pemberontakan Madiun. Dengan tindakannya itu, dia dan kawan-kawannya dipandang telah "menusuk dari belakang" Republik yang sedang giat-giatnya melawan Belanda.
Kedua, teori yang mengatakan, pelaku utama Peristiwa Madiun adalah kabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Moehammad Hatta. Pada pertengahan Februari 1948 kabinet Hatta bermaksud melakukan "Rasionalisasi" atau penciutan jumlah personil angkatan perang, antara lain guna mengurangi beban finansial "bayi" Republik. Dalam pelaksanannya program rasionalisasi ini dilakukan oleh divisi Siliwangi dan mendapat tentangan dari laskar-laskar rakyat, khususnya yang tergabung dalam Divisi Senopati yang berhaluan kiri dan berkedudukan di Solo. Laskar-laskar itu merasa telah ikut berjasa dalam revolusi, karena itu tidak mau didemobilisasi begitu saja. Mereka bermaksud melawan program Rasionalisasi. Dikatakan, dalam situasi demikia n Kabinet Hatta sengaja memprovokasi kerusuhan di Solo dan Madiun, supaya ada alasan untuk menyingkirkan golongan kiri.
Ketiga, teori yang mengatakan provokotarnya adalah Amerika Serikat (AS). Menurut teori ini, tanggal 21 Juli 1948 AS berinisiatif menyelenggarakan sebuah konferensi di Sarangan, Magetan, Jawa Timur. Dalam konferensi yang dihadiri oleh dua wakil AS. G. Hopkins dan Merle Cochran serta Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta, dihasilkanlan dokumen Red-Drive Proposal. Konon, menurut dokumen berisi rencana pembasmian "kaum merah" itu, yang mau dibasmi bukan hanya orang-orang Komunis tetapi setiap unsur masyarakat yang anti imperialis. Pemerintah RI diminta melakukan pembasmian itu dengan imbalan 56 juta Dollar. Sejak itu diadakanlah berbagai bentuk provokasi terhadap PKI dan FRD serta kelompok-kelompok kiri lainnya. Dengan demikian dalam pandangan teori ini Peristiwa Madiun tak lain adalah buah provokasi AS dalam usahanya membasmi kaum kiri dan unsur-unsur anti imperialis lainnya di Republik ini.
Keempat, teori yang mengatakan. "otak"-nyaa adalah Uni Sovyet (US). Menurut teori ini, tidak bisa disangkal bahwa Peristiwa Madiun merupakan hasil rekayasa US melalui apa yang disebut Moscow Pilot. Sebelum Agustus 1948, PKI tenang-tenang saja, tetapi setelah kedatangan Musi-yang selama 20 tahun tinggal di Rusia-pada bulan itu Partai Komunis itu menjadi amat agresif dan dalam waktu singkat berhasil merekrut banyak pengikut. Kementerian penerangan RI saat itu, misalnya, menuduh kedatangan Muso erat terkait rencana Moskwa untuk menguasai Asia Tenggara.

Minggu, 27 Desember 2009

MASJID AGUNG KERAJAAN ISLAM DEMAK ( 3 )

Masjid bagi orang Islam mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan di masyarakat karena merupakan tempat pertemuan orang-orang beriman dan sebagai lambang kesatuan jamaah. Dalam agama Islam lebih memajukan sifat sama rata dan menciptakan tata tertib dan ketentraman seraya menonjolkan kerukunan umat sehingga dengan cepat berhasil menarik perhatian masyarakat yang saat itu masih terkotak-kotak dalam kasta serta perbedaan hak dan kewajiban.
Dalam Masjid Demak terdapat "Maksurah" atau Kholwat dengan prasasti tahun 1287 Hijriah atau 1866 Masehi, yaitu tempat khusus untuk para jamaah yang akan berdoa secara khusus. Maksurah berupa bangunan kecil yang terisolasi dari lingkungan sekitar sehingga diharapkan agar jamaah bisa lebih berkonsentrasi dalam doa. Sarana tersebut mungkin hanya satu-satunya yang ada di Indonesia dan pada bagian dalamnya terukir ayat-ayat suci Al Qur'an dan tersusun indah dalam berbagai warna.
Pimpinan masjid, yaitu para imam atau sering juga disebut penghulu mendapat kehormatan tertinggi dalam kehidupan dimasyarakat. Menurut Hikayat hasanuddin disebutkan bahwa para Imam Masjid Demak sangat terhormat karena bertindak sebagai penasehat raja, ulama besar dan pimpinan para santri. Adapun mereka yang dimaksud, pertama adalah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus dan kedua, baru para pimpinan negara dan pembantu pimpinan ulama.
Masjid Demak dianggap sangat penting karena menjadi pusat penyebaran Islam selama abad ke XV, XVI sampai abad XVII. Meskipun Kerajaan Islam Demak telah surut disebabkan oleh perebutan kekuasaan, tetapi Masjid Demak tetap dihormati. Di kalangan rakyat jelata tertanam keyakinan bahwa sekian puluh kali berjamaah di Mesjid Demak memiliki nilai sama seperti ke Mekkah.
Waktu terus berjalan kekuasaan Kerajaan Islam Demak semakin tidak menentu dan akhirnya berpindah ke Pajang di daerah pedalaman, tetapi Masjid Agung Demak masih tegar dan tegak berdiri. Kini setiap hari ratusan bahkan pada saat-saat tertentu sampai mencapai ribuan jamaah yang datang berziarah ke Masjid Demak dan Masjid Kadilangu yang juga merupakan makam para wali yang besar jasanya dalam penyebaran agama Islam di bumi Nusantara ( Disadur dari tulisan J. Pamudi Suptandar)

Rabu, 23 Desember 2009

MASJID AGUNG KERAJAAN ISLAM DEMAK ( 2 )

Konon menurut cerita tutur atau legenda, disebutkan bahwa pembangunan Masjid Demak dikerjakan bersama oleh para Wali Songo hanya dalam waktu satu malam saja. Konstruksi bangunan atap didukung oleh empat tiang utama atau saka guru. Selanjutnya dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga saat itu datang terlambat, sehingga tidak mempunyai waktu untuk membuat tiang utama sedang wali-wali yang sudah selesai dengan tugasnya masing-masing. Untuk mengejar ketinggalan tersebut dukumpulkanlah kayu-kayu tatal dan dengan mukjizat disusun dalam satu ikatan yang kuat dijadikan sebagai tiang utama maka selesailah bangunan masjid tepat pada waktunya. Selanjutnya Sunan kalijaga naik ke atas atap dan mengarahkan kiblat masjid tepat ke arah kiblat di Mekkah.
Pada pintu utama masjid terukir prasasti berbunyi "Naga Mulat Saliro Wani" yang bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi. Ukiran yang lain berupa makhluk semacam buaya dengan moncong yang runcing menggambarkan halilintar/bledeg yang berhasil ditangkap dan dipenjarakan di dalam masjid oleh Ki Ageng Sela, seorang tokoh legendaris yag kelak menurunkan raja-raja Mataram. Di bagian bawah pintu juga terukir jembangan bunga yang melambangkan perkawinan Prabu Kertapati raja Majapahit V dengan putri Campa. Mereka adalah orang tua Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam Demak.
Pada Mighrab tertera candra sangkala berupa bulus yang mengartikan tahun pembuatan masjid dengan sebutan Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi sedang pada pintu utama bagian atas juga tertera angka tahun 1507, yaitu tanggal peresmian Masjid Agung oleh Sultan Trenggana, Maharaja Kesultanan Demak yang ketiga.
Peristiwa penting lain yang terjadi di Masjid Demak, yaitu pada tahun 1688 M dimana Sunan Amangkurat II dari Kerajaan Mataram Islam mengucapkan sumpah kesetiaan terhadap perjanjian dengan pihak Kompeni Belanda yang ditandatangani setelah kematian Kapten Tack di Kartasura. Masjid Demak yang dirintis pembangunannya oleh Raden Patah atas saran Sunan Bonang juga diakui oleh Sultan Amangkurat II sebagai pusaka negara yang tidak mungkin bisa dibawa ketempat pembuangannya di Srilanka. Sebagai lambang bahwa Kerajaan Demak adalah penerus dan pewaris Kerajaan Majapahit di dalam Masjid Demak bisa kita temukan lambang kerajaan "Surya Majapahit" berupa matahari dengan sinar kedelapan penjuru dunia. Di samping itu juga terdapat "Dampar Kencana" atau kursi tahta raja-raja Majapahit yang telah berubah fungsi menjadi mimbar untuk khotbah didalam Masjid. Masjid sebagai rumah Allah atapnya tersusun tiga yang memiliki arti Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah. Pada puncak atap terpasang mahkota yang pada ujungnya tertulis huruf Arab yang menyerukan kebesaran Allah.
Di depan Masjid terdapat serambi besar dengan komponen bangunan yang dibawa dari Kraton Majapahit sebagai bukti bahwa kekuasan di Jawa telah berpindah dari Jawa Timur ke Jawa Tengah. Apabila benar ceritera seperti yang disebut dalam legenda maka di dalam Masjid Demak juga terdapat makam Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang yang dulu dihukum mati oleh para Wali karena tidak mau menghentikan ajarannya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Minggu, 06 Desember 2009

MASJID AGUNG KERAJAAN ISLAM DEMAK ( 1 )

Kota Demak merupakan ibukota kabupaten yang terletak 23 kilometer ke arah timur kota Semarang, Jawa Tengah. Konon menurut catatan Tome Perez yang berjudul Summa Oriental yang ditulis pada abad ke-15 antara Semarang dengan Demak dipisahkan Laut Muria. Dengan banyaknya sungai yang bermuara di laut tersebut menjadikan kedangkalan dan akhirnya terbentuk dataran luas. Sekarang dari Semarang ke Demak tidak lagi harus berlayar tetapi cukup dengan kendaraan mobil dan hanya membutuhkan waktu 20-30 menit saja.
Demak menjadi terkenal karena dalam sejarahnya, yaitu pada abad ke-15 - 16 pernah menjadi ibukota kerajaan Islam setelah berhasil merebut kekuasaan raja Majapahit pada tahun 1527 ditandai dengan Candra Sangkala "Sirna Ilang Kertaning Bhumi" yang berarti tahun 1400 Saka. Dalam peperangan tersebut, tentara Majapahit dipimpin oleh Raja Brawijaya V. Dalam hikayat Hasanuddin, disebutkan kepahlawanan Raja Demak dalam memimpin perang suci bagaikan Maulana Baghdad dan Waliyu'llahi. Kemenangan dalam peperangan tersebut berkat dukungan raja-raja daerah pesisir yang lebih dahulu memeluk Islam dan juga berkat siasat para Wali terutama Sunan Kudus, Sunan Bonang serta pemimpin-pemimpin ulama.
konon menurut tulisan De Graaf dan Pigeaud yang mendasarkan pada legenda dan sejarah diceritakan bahwa Brawijaya V mengirim putranya Raden Patah kepada Sunan Bonang di Ampeldenta untuk mempelajari agama Islam yang banyak dianut oleh rakyatnya. Setelah melalui waktu panjang, akhirnya Sunan Bonang menobatkan Raden Patah sebagai Raja Demak Bintoro dengan sebutan Senopati Jimbun Ngabdur Rachman Sayidin Panatagama. Dengan dukungan raja-raja pesisir yang telah beragama Islam, Raja Demak mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit yang dianggap masih kafir.
Setelah Kerajaan Majapahit jatuh, semua perabot dan harta benda kraton beserta simbol-simbol kenegaraan diboyong ke Demak, antara lain pendopo kraton yang kemudian dibangun kembali di Demak dan dijadikan sebagai serambi Masjid Demak. Kerajaan Demak terus berkembang dari Tuban, Pasuruan, Kediri, Banten bahkan sampai banjarmasin dan Palembang.
Adapun pendeklarasian Demak sebagai kerajaan Islam dilakukan oleh Sunan Gunung Jati sekembalinya dari naik Haji. gagasan untuk menobatkan raja Demak menjadi Sultan datang dari Sunan Gunung Jati yang diilhami oleh peristiwa saat di Mekkah sempat mengikuti internasionalisasi penaklukan kerajaan Mesir oleh Sultan Turki, yaitu Sultan Salim I Akbar dan menobatkan diri sebagai Khalifah. Setibanya Sunan Gunung Jati di Jawa langsung menuju Demak dan menganjurkan Raja Demak untuk bertingkah laku sebagai raja Islam dengan sebutan Sultan Ahmad Abdul Arifin dengan gelar maharaja. Pemberian gelar dengan nama Arab dianggap sahnya niat untuk menjadikan Demak sebagai Kerajaan Islam dengan diikuti penerapan hukum Fikh Islam. Jabatan-jabatan penting dalam penegakan syariat Islam diserahkan kepada para wali sehingga peran pemimpin agama semakin bertambah besar. Antara agama dengan negara tidak ada pemisahan bahkan agama dijadikan sebagai dasar haluan pemerintahan. Berbagai permasalahan negara menyangkut kehidupan, keyakinan di bidang mistik dan teologi Islam berpegang teguh pada hasil keputusan musyawarah para wali. Para wali penyebar dan pemimpin terkemuka agama berjumlah sembilan dengan sebutan Wali Songo yang dalam tiap musyawaratan tentang kebijakan negara dan perkembangan agama selalu dilakukan di Masjid. Fungsi Masjid sangat penting sehingga memiliki kedudukan sentral dalam pemerintahan dan agama sehingga diberi julukan sebagai Masjid Negara.

Senin, 30 November 2009

MELACAK 'PETILASAN MATARAM KUNO' ANTARA SEMARANG - YOGYAKARTA : KRATON MEDANG KAMULAN BERKIBLAT MERAPI ( TULISAN KETIGA )

Dalam prasasti. kraton Sanjaya dikatakan terletak di Medang di Poh Pitu (ri mdang ri poh pitu). Dimana letak Poh Pitu itu hingga kini belum dapat ditentukan. Salah satu tempat yang diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Mataram itu terletak di Medari, Sleman. Di daerah Medarintotex (GKBI Medari) pernah diketemukan bekas-bekas peninggalan purbakala berupa fondasi bangunan dan sisa-sisa tembok keliling yang terbuat dari batu andesit. Penggalian purbakala yang dilakukan disana terpaksa dihentikan karena terbentur bekuan batuan lahar yang sangat keras pada kedalaman satu meter dari permukaan tanah sekarang. Rupanya daerah ini pernah mengalami musibah dilanda lahar panas. Dari beberapa sisa bangunan yang telah diketemukan, terutama yang jelas berupa bekas-bekas sebuah tembok keliling, dapat diperkirakan bahwa daerah itu pada jaman dahulu merupakan tempat pemukiman.
Dugaan pusat Kerajaan Mataram di Medari itu bisa juga dirunut dari kalimat "ri medang ri" yang lama-kelamaan dibaca sebagai "medari". Pendapat ini dilengkapi dengan terdapatnya desa kepitu di selatan Medari. Bukankan dalam prasasti Medang disebut terletak di Poh Pitu. Poh Pitu ini pada jaman sekarang berubah menjadi desa Kepitu. Uniknya, di sekitar desa Kepitu tersebut tidak terdapat desa Kanem atau Kewolu. Budayawan Linus Suryadi AG (almarhum) juga mempunyai pandangan serupa. Hal ini didasarkan pada fakta lapangan bahwa di sekitar desa Kadisaba, Sleman ditemukan bekas Wihara Budha. Dan tampaknya di wilayah ini banyak bangunan sekolahan jaman kuno (Wihara).
Candi yang didirikan Sanjaya diketahui letaknya, yaitu di daerah Gunung Wukir di Salam, Magelang. Maka letak istananya kemungkinan terletak di sekitar candi tersebut. "Kraton Medang kemungkinan terletak di dalam radius tertentu dari candi Gunung Wukir. Di sekitar daerah Salam atau Salaman, "kata Joko Dwiyanto.
Tidak jauh dari Medari di desa Morangan dalam bulan September 1965 pernah diketemukan sebuah candi. Candi ini diberi nama Candi Batumiring. Letaknya terbenam sedalam lima meter dibawah permukaan tanah sekarang. Keadaan ini sama seperti yang dialami candi Sambisari di daerah Kalasan yang juga diketemukan di kedalaman enam meter di bawah permukaan tanah sekarang. Berarti candi-candi itu sempat terkubur lahar Merapi. Sayang sekali, Candi ini tidak bisa ditampakkan kembali. Bahkan sekarang sudah ditimbun tanah lagi oleh pemilik pekarangan.
Banyak pihak tentu akan berpendapat bahwa Kraton Medang terletak di daerah Prambanan. Pendapat ini sangat beralasan. Prambanan merupakan daerah yang sangat kaya peninggalan monumen dari jaman Mataram kuno. Banyaknya candi yang sudah diketemukan memberi indikasi bahwa daerah ini pernah menjadi pusat kegiatan masyarakat. Apalagi Candi Prambanan dan Candi Sewu yang bisa dipastikan sebagai candi kerajaan terdapat disini.
"Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Drs. Kusen (Almarhum) sampai pada kesimpulan bahwa salah satu pusat Kerajaan Medang berada di Randusari. Desa ini terletak sekitar 3 Km di sebelah timur Candi Prambanan, "tambah Joko Dwiyanto. "Temuan emas di Wonoboyo semakin menguatkan pedapatnya itu. Menurutnya, Wonoboyo merupakan pemukiman bangsawan yang terletak di pusat Kerajaan. Memang, Wonoboyo dekat dengan Randusari."
Candi merupakan petunjuk terdapatnya aktivitas manusia masa Hindu. Jika candi tersebut merupakan sebuah kumpulan yang luas, kemungkinan besar pusat kerajaan juga berada di sekitar tempat itu. Kesimpulan yang dibuat oleh Drs. Kusen (Almarhum) terhadap lokasi Candi Prambana, juga dilakukan oleh Drs. Martinus Maria Soekarto kartoatmojo (Almarhum) di daerah Candi Borobudur.
Kraton Medang ternyata tidak hanya di Poh Pitu saja. Raja Rakai Kayuwangi pernah menempatkan kratonnya di Mammratipura (medang i mamratipura).
Raja Rakai Panangkaran memindahkan pusat kerajaannya dari daerah Kedu ke lembah di lereng Gunung Merapi. Memindahkan pusat kerajaannya ke timur. Mungkin di daerah Sragen di sebelah timur Sungai Bengawan Solo atau daerah Purwodadi/Grobogan.Pusat kerajan Rakai Watukura Dyah Balitung berpusat di daerah Kedu Selatan mengingat gelar rakainya.
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran karena letusan Gunung Merapi yang maha dahsyat, sehingga dalam anggapan para pujangga hal itu dianggap sebagai kehancuran dunia pada akhir masa Kaliyuga. Maka harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Karena itu maka Mpu Sindok membangun kembali kerajaannya di Jawa Timur. Rupa-rupanya Kerajaan itu tetap bernama Mataram. Ibukotanya bernama Tamwlang. Letak Tamwlang mungkin di daerah Jombang dimana masih ada desa Tambelang. Menurut prasasti Harinjing (726 Masehi), Watugaluh terletak di Jawa Timur.
Yang masih menjadi pertanyaan kemudian adalah kaitan antara bekas Kraton Boko dengan Candi Prambanan. Sebab di bekas Kraton Boko itu terdapat replika Candi Prambanan sebagai tempat berdoa atau 'caos sesaji'. Namun ada dugaan lain, Kraton Boko hanya tempat peristirahatan dan benteng terakhir. Dari paparan tadi bisa jadi ada pergeseran pusat pemerintahan Mataram Kuno, dari wilayah Kedu selatan sampai di Sleman, kemudian ke timur dan setelah menjadi Mataram mungkin di sebelah timur laut kota Yogyakarta. Tentang hal ini banyak pakar berbeda pendapat. Namun dari bukti-bukti lapangan dan referensi pustaka bisa dikaji kemungkinan letak Mataram Hindu. (Disadur dari tulisan Sugeng WA/Citra).

Rabu, 25 November 2009

MELACAK 'PETILASAN MATARAM KUNO' ANTARA SEMARANG - YOGYAKARTA : KRATON MEDANG KAMULAN BERKIBLAT MERAPI ( TULISAN KEDUA )

Desa Medang dijumpai mulai dari daerah Bagelen di Purworejo, Jawa Tengah sampai di dekat Madiun, Jawa Timur. Yang terbanyak ialah antara Purwodadi/Grobogan dan Blora. Lokasi daerah ini sesuai pula dengan keterangan yang ditulis oleh sumber-sumber Cina dari jaman Dinasti Tang (618-906 Masehi). Sumber ini menyebut Jawa sebagai Ho-ling. Dikatakan bahwa Ho-ling adalah kerajaan yang makmur. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam (bledug). Ho-ling ini sering disamakan dengan Kalingga dalam cerita tutur rakyat Jawa Tengah.
Keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan air garam memang cocok dengan keadan di Purwodadi, Jawa Tengah. Di desa Kuwu di daerah Purwodadi terdapat kawah yang selalu menyemburkan air garam. Penduduk setempat menyebutnya Bledug Kuwu. Orang di situ membuat garam dari air yang mengalir dari kawah tersebut.
"Pendapat tersebut dikemukakan oleh Boechari (almarhum). Beliau menempatkan kronologi kerajaan Ho-ling ini sebelum Medang. Sedangkan Kalingga sebenarnya hanya ada dalam cerita rakyat. Tid
ak ada bukti sejarah yang mendukung keberadaannya," tambah Joko Dwiyanto.
Karena Boechari menempatkan kronologi Ho-ling lebih tua dari Medang, yang dianggapnya terletak di Grobogan, maka masyarakat menempatkan Medang Kamulan di daerah Grobogan tersebut. "Kamulan berarti asal, yang mula-mula, yang pertama-tama. Jadi Medang Kamulan berarti letak Medang yang pertama atau asal mula Medang," ungkap Joko Dwiyanto.

Berita Cina selanjutnya menyebutkan bahwa Ki-yen telah memindahkan ibukota Ho-ling ke timur. Pemindahan pusat kerajaan ini terjadi tahun 899-911 Masehi. Van Der Meulen memperkirakan perpindahan itu terjadi dari sekitar Pegunungan Dieng ke kaki sebelah timur Gunung Ungaran, Jawa
Tengah. Tempat yang dimaksud adalah desa Bergas Lor dan Bergas Kidul. Kedua desa ini terletak beberapa kilometer di selatan kota Ungaran. Di tempat itu terdapat Candi Sikunir. Dari candi ini banyak patung yang telah dipindahkan ke Museum Nasional Jakarta. Kurang lebih ada sepuluh arca. Belum lagi arca-arca yang dibawa secara ilegal. Di sekitar wilayah itu juga diketemukan peninggalan di Pendem, Karangjati, dan Mijel. Bekas-bekas pemandian juga diketemukan di Kali Taman dan Sindang Beji.
Jumlah cincin emas yang pernah diketemukan dan kini disimpan di Museum Nasional Jakarta sebagian besar berasal dari Dieng dan sekitar Gunung Ungaran.Di tempat itu diketemukan 77 buah cincin. Temuan cincin emas itu menunjukkan bahwa di sekitar kedua pegunungan tersebut pernah didirikan pusat kekuasaan dan kebudayaan yang sama.

Dari penelitian Dr. Agus Pudjoarianto dari Fakultas Biologi UGM, di Dieng sudah ada kegiatan manusia dari tahun 500 Masehi. Dari telaahan serbuk sari yang dilakukan kegiatan yang dilakukan manusia berkelompok ini
bisa jadi merupakan sebuah komunitas masyarakat kerajaan. Menurutnya terdapat kemiripan tumbuhan yang di tanam di Dieng dengan beberapa bagian di Jawa Barat. Dari asumsi ini bisa diduga bahwa awal Kerajaan Medang dari Jawa Barat kemudian berkembang di Jawa Tengah antara lain di Dieng. Dugaan ini diperkuat dengan banyaknya candi yang dibangun di wilayah ini. Bahkan dari kisah wayang Lahirnya Abimanyu yang mandi di Sungai Serayu (sir rahayu) terlihat adanya pemahaman akan adanya sosialitas masyarakat kerajaan. Diperkuat dengan nama candi-candi yang ada di Dieng yang diambil dari nama wayang bisa jadi di lereng Gunung Sindoro ini pernah lahir kerajaan. Dari telaah serbuk sari juga didapat bukti adanya lumpur vulkanik yang tebal yang menutupi kegiatan sebelumnya. Temuan ini memperkuat asumsi hancurnya Kerajaan Medang oleh abu dahsyat Merapi. Kota Dieng yang selalu berkabut dalam bahasa Jawa disebut "Kamulan".

Selasa, 24 November 2009

MELACAK 'PETILASAN MATARAM KUNO' ANTARA SEMARANG - YOGYAKARTA : KRATON MEDANG KAMULAN BERKIBLAT MERAPI

Jika kita melintas di jalan raya Yogyakarta - Magelang, tepatnya di daerah kecamatan Salam secara tidak sengaja kita akan menengok ke selatan jalan. Kuburan-kuburan Cina yang terletak di lereng bukit menjadi penyebabnya. Sayang, banyak dari kita tidak tahu bahwa bukit itu menyimpan sejarah masa lalu yang penting.
Gunung Gendol, demikian penduduk setempat menyebutnya, pernah menjadi saksi meletusnya Gunung Merapi sepuluh abad silam. Menurut Van Bemmelen, seorang ahli geologi, letusan Merapi yang terhebat dalam sejarahnya itu menyebabkan sebagian besar puncaknya lenyap. Lapisan tanah bergeser ke arah barat daya, sehingga terjadi lipatan. Gerakan tanah ini membentur Pegunungan Menoreh dan membentuk Gunung Gendol.
Di Gunung Gendol ini pula babak baru Kerajaan Mataram Kuno dimulai. Peristiwanya tercatat dalam prasasti Canggal yang diketemukan di halaman Candi Gunung Wukir. Candi ini terletak di salah satu puncak Gunung Gendol. Prasasti ini menulis bahwa Raja sanjaya telah mendirikan lingga diatas Bukit Sthirangga untuk keselamatan rakyatnya pada hari Senin tanggal 13 paro terang bulan Kartika 654 Saka atau 732 Masehi. Lingga itu ialah Candi Gunung Wukir yang hingga kini masih ada sisa-sisanya.
Pendirian lingga untuk memperingati bahwa Sanjaya telah dapat membangun kembali Kerajaan dan bertahta setelah menaklukkan musuh-musuhnya. Musuh-musuh itu telah menyerang Sanna, raja yang berkuasa sebelum Sanjaya. Pusat kerajaan Sanna dihancurkan. Ibukota kerajaan diserbu dan dijarah. Karena itu setelah Sanjaya dinobatkan mejadi raja, perlu dibangun ibukota baru dengan istana baru disertai pembangunan candi untuk pemujaan lingga kerajaan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan bahwa istana yang telah diserbu musuh sudah kehilangan tuahnya.
Bangunan suci yang didirikan Sanjaya terletak di wilayah Kunjarakunja. Tentang nama Kunjarakunja itu, Poerbatjaraka pernah mengemukakan pendapat bahwa yang yang dimaksud dengan daerah itu adalah daerah Sleman, Yogyakarta sekarang, berdasarkan arti kata itu, yaitu hutan Gajah dan adanya daerah wana ing alas i Saliman. Kata Saliman diartikan sebagai daerah Sleman sekarang.
Nama Sanjaya semakin jelas posisinya dalam sejarah Mataram Kuno dengan diketemukannya prasasti Mantyasih (907 Masehi) dan Wanua Tengah III (908 Masehi). Kedua prasasti yang dibuat oleh Dyah Balitung itu berisi daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Urutan pertama raja-raja tersebut ditempati oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (prasasti Mantyasih) dan Rahyangta ri Medang dapat disamakan dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Prasasti Mantyasih dibuat untuk menghormati leluhur yang telah diperdewakan di Medang di Poh Pitu. Disini untuk pertama kalinya nama Medang disebut.
"Medang adalah nama kerajaan sebelum bernama Mataram. Jadi, kerajaan Medang sama dengan kerajaan Mataram. Lebih tepatnya, Medang adalah embrio Mataram," kata Drs. Joko Dwiyanto-Dosen Fakultas Arkeologi UGM.

Rabu, 11 November 2009

KALIMANTAN BARAT : KERUSUHAN ANTI TIONGHOA

Pemberantasan Paraku-PGRS ternyata terkait dengan konflik horizontal antara Dayak dan Tionghoa bulan Oktober-November 1967. Setelah Soekarno turun dari kekuasaan dan pemerintahan Soeharto berdamai dengan Malaysia usai Konferensi Bangkok 28 Mei 1966, Paraku-PGRS dijadikan musuh bersama.
Setelah perdamaian tanggal 11 Agustus 1966, Paraku-PGRS oleh militer Indonesia disebut gerombolan Tjina Komunis (GTK). Anggota Paraku-PGRS melawan dan terjadi perebutan senjata di Pangkalan Udara Sanggau Ledo. Paraku-PGRS merebut 150 pucuk senjata dan menewaskan tiga anggota Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Pemerintahan Soeharto pro Washington yang anti komunis pun bertindak keras. Operasi Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III digelar sejak April 1967 hingga Desember 1969 dipimpin oleh Brigadir Jendral A.J. Witono.
Operasi pemberantasan Paraku-PGRS diwarnai peristiwa "Mangkok Mera" bulan Oktober-November 1967 ketika terjadi kekerasan antara Dayak terhadap Tionghoa yang menurut Majalah Far Eastern Economic Review (FEER) volume 100 tanggal 30 Juni 1978, menelan korban jiwa 3000 orang Tionghoa.
Peristiwa itu dipicu kekerasan terhadap sejumlah Tumenggung Dayak yang menurut militer diculik di Taum, Sanggau Ledo oleh GTK. Selang beberapa hari, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) menemukan sembilan mayat yang disebut sebagai tokoh Dayak.
Benny Subianto mencatat, juru bicara militer di Harian Angkatan Bersenjata menyatakan orang Dayak harus membalas.
Kekerasanpun terjadi secara masif di wilayah operasi militer menumpas Paraku-PGRS. Strategi yang digunakan militer dicatat Herbert Feith adalah mengeringkan kolam (masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat) tempat ikan (gerilyawan) hidup.
"Pengeringan Kolam" dilakukan melalui peristiwa "Mangkok Merah" sehingga warga Tionghoa hijrah dari pedalaman ke perkotaan, seperti Pontianak dan Singkawang.
Bahkan, ada warga Tionghoa yang lari ke Serawak, Malaysia. Chong, seorang warga Sambas mengaku hijrah ke Serawak paska kerusuhan tersebut. Kini, ia hidup bersama keluarga di pinggiran Kuching, ibukota Serawak.
Kekerasan yang terjadi dalam ingatan rohaniawan Herman Josef Van Hulten berlangsung sangat cepat dan terorganisir. Rohaniawan Monsinyur Isak Doera, yang berada di Pontianak tahun 1967-1971, mengakui pembunuhan para tokoh Dayak adalah rekayasa militer demi memicu konflik horizontal.
Para tokoh Dayak yang diwawancarai Benny tahun 2000 mengaku heran mengapa persaudaraan Melayu-Dayak dan Tionghoa bisa koyak saat itu. Singkat cerita, Paraku-PGRS tumpas dengan meninggalkan luka sejarah di Kalimantan Barat. (ONG)

Selasa, 10 November 2009

PARAKU-PGRS : KAMBING HITAM PASKA KONFRONTASI RI - MALAYSIA

Habis manis sepah dibuang. Itulah nasib tragis ratusan gerilyawan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara atau Paraku-Pasukan Gerakan Rakyat sarawak atau PGRS dukungan intelijen militer Indonesia semasa Presiden Soekarno mencanangkan konfrontasi menentang pembentukan Malaysia tahun 1963. Ketika Soekarno menyatakan "Ganyang Malaysia" tanggal 27 Juli 1963, relawan Indonesia dan gerilyawan Paraku-PGRS menjadi Pahlawan Indonesia. Paraku-PGRS menjadi momok menghantui pasukan Malaysia, Brunei, Inggris, dan Australia saat bergerilya di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak. Ketika Soeharto tampil sebagai penguasa yang berdamai dengan Malaysia, Paraku-PGRS pun digempur habis dan disertai kerusuhan anti Tionghoa di Kalimantan Barat tahun 1967 sebagai harga rekonsiliasi Jakarta - Kuala Lumpur.
Paraku-PGRS terlupakan dalam lembaran sejarah seiring kukuhnya Orde Baru dan baru muncul kembali dalam pembicaraan Indonesia-Malaysia dalam Joint Border Comitee (JBC) di Kuala Lumpur awal Desember 2007.
Peneliti kekerasan terhadap Tionghoa, Benny Subianto, menjelaskan, ada benang merah dalam pemberantasan Paraku-PGRS dan kekerasan terhadap penduduk Tionghoa di Kalimantan Barat yang dikenal sebagai peristiwa "Mangkok Merah"
"Demi menghabisi Paraku-PGRS akhirnya dikondisikan kerusuhan anti Tionghoa. Sebelumnya Dayak, Melayu, dan Tionghoa hidup bersama secara damai di Kalimantan Barat," kata Benny.
Keberadaan Paraku-PGRS diakui sebagai buah karya kebijakan militer Indonesia. Buku Sejarah TNI Jilid IV (1966-1983) halaman 116-125 mencatat embrio Paraku-PGRS adalah 850 pemuda Cina Serawak yang menyeberang ke daerah RI saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia.
Buku Sejarah TNI menyebut mereka adalah orang-orang Cina pro Komunis. Pemerintah RI melatih dan mempersenjatai mereka secara militer dalam rangka Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Lebih lanjut dijelaskan, mereka dibagi menjadi dua kesatuan, yaitu Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Kedua pasukan dikoordinir oleh Brigadir Jendral TNI Suparjo, pejabat Panglima Komando Tempur IV Mandau, berpusat di Bengkayan, Kalimantan Barat.

Bersama relawan dari Indonesia, Paraku-PGRS yang juga menghimpun Suku Melayu dan Dayak berulangkali menyusup wilayah Serawak dan bahkan Brunei. Salah satu tokoh Revolusi Brunei tahun 1962, Doktor Azhari, yang juga pimpinan Partai Rakyat Brunei diketahui dekat dengan kubu gerilyawan ini.
Benny Subianto dalam laporan ilmiah itu menjelaskan, banyak pemuda Tionghoa di Sabah, Serawak, dan Brunei menolak pendirian Malaysia karena takut dominasi Melayu terhadap wilayah Sabah, Serawak, dan Brunei.
Gerilyawan Paraku-PGRS dalam laporan Herbert Feith di Far Eastern Economic Review (FEER) edisi 59 tanggal 21-27 Januari 1968 dilukiskan hidup bagai ikan di tengah air terutama di antara masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat yang waktu itu hidup tersebar di pedalaman.
Benny Subianto menambahkan betapa gerilyawan Paraku-PGRS dan relawan Indonesia menghantui wilayah perbatasan. Bahkan, mereka nyaris menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha Rifles (1/2 GR) dalam serangan terhadap distrik Long Jawi (sekitar 120 kilometer sebelah barat Long Nawang, Kalimantan Timur). Selama berbulan-bulan mereka juga menghantui jalan darat Tebedu-Serian-Kuching (dekat pos perbatasan Darat Entikong) selama berbulan-bulan pada paruh pertama tahun 1964.
JP Cross dalam buku A face Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier In Malaya and Borneo 1948-1971 halaman 150-151 mencatat betapa serangan relawan Indonesia di Long Jawi tanggal 28 September 1963 menewaskan operator radio, beberapa prajurit Gurkha, dan Pandu Perbatasan (Border Scout). Long Jawi sempat dikuasai sebelum akhirnya Pasukan Gurkha menyerang balik setelah mendapat bala bantuan.
Di balik perjuangan Paraku-PGRS dan relawan Indonesia, sebagian besar operasi militer selama konfrontasi tidak mencapai hasil memuaskan. Mantan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Tanjung Pura Soeharyo alias Haryo Kecik dalam memoirnya mencatat, gerakan pasukan dan gerilyawan di wilayah Kalimantan selalu bocor dan diketahui lawan. Menurut Soeharyo, kebocoran justru terjadi di tubuh militer dari Jakarta.
Adapun dalam laporan ilmiah Benny Subianto disebutkan operasi Paraku-PGRS dan relawan tidak mendapat dukungan penuh dari Angkatan Darat (AD) yang dikenal sebagai kubu anti komunis semasa konfrontasi.
Setelah Jakarta-Kuala Lumpur berdamai melalui diplomasi di Bangkok, Paraku-PGRS harus diberantas sebagai musuh bersama. Itulah ironi sejarah yang terlupakan ketika kawan harus berubah menjadi kambing hitam/lawan (Disadur dari tulisan Iwan Santosa).

Sabtu, 31 Oktober 2009

SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II (TULISAN KETIGA)

Perhitungan Sultan Mahmud Badaruddin II bahwa Belanda akan datang menyerang terbukti. Setelah melalui penggarapan bangsawan dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada tanggal 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. Banyak prajuritnya yang terluka dan tewas, tetapi De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jum'at dan Minggu dimanfaatkan oleh kedua belah pihak bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jum'at dengan harapan Sultan Mahmud Badaruddin II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni 1821 ketika wong Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang.
Serangan mendadak ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah Kolonialisme Belanda di Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, Sultan Mahmud Badaruddin beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
Catatan sejarah dari dagregister jelas menceritakan perjalanan sejarah Sultan Mahmud Badaruddin II dalam perjuangannya melawan Kolonialisme Barat. Perjuangan yang dimulai sejak sebelum naik tahta hingga dibuang ke Ternate seluruhnya terekam dalam dagregister, bahkan gambar sketsa tentang jalannya pertempuran sungai dan penangkapan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Data sejarah itu sedemian lengkap tetapi mengapa kalah dengan penulisan sejarah tokoh-tokoh lain dari tanah Jawa seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Hanyokrokusumo, dan Sultan Ageng Tirtayasa ? Terserah para sejarawan-lah Sudah sepantasnya Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Pahlawan Nasional namanya dipakai sebagai nama Bandara Internasional Palembang , dan gambarnya dicetak dalam mata uang RI Rupiah. (Disadur dari tulisan Bambang Budi Utomo)

Kamis, 29 Oktober 2009

SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II (TULISAN KEDUA)

Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Inggris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. serah terima terjadi pada tanggal 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itupun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah menyatukan kedua Sultan, Sultan Mahmud Badaruddin II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, Sultan Mahmud Badaruddin II naik tahta kembali pada tanggal 7 Juni 1818. Sementara itu, untuk menghindari ancaman Raffles yang belum merelakan Palembang, Husin Diauddin berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Pada dasarnya Pemerintah Kolonial Belanda tidak percaya kepada Raja-Raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajagan ke pedalaman wilayah kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi wilayah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut Sultan Mahmud Badaruddin II yang masih setia. Sekembalinya, ia menuntut agar putra mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan Sultan kepada Belanda. Mungkin karena merasa "dibelenggu", Sultan Mahmud Badaruddin II mengambil sikap "sekarang atau tidak sama sekali untuk menghajar dan mengusir Belanda "bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk menyerahkan Putra Mahkota.
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai "Perang Menteng (dari kata Mutinghe)" pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, dimana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan harinya, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus sampai akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jendral Van Der Capellen merundingkannya dengan Laksamana JC Wolterbeek dan Mayor Jendral Merkus de Kock dan diputuskan untuk mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum Sultan Mahmud Badaruddin II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
Sultan Mahmud Badaruddin II telah memperhitungkan akan adanya serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga Sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Sungai Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 30 Oktober 1819.
Meski telah menang perang, Palembang tidak terlena. Sultan Mahmud Badaruddin II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada bulan Desember 1819 diangkat sebagai Sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. Sultan Mahmud Badaruddin II lengser dan bergelar Susuhunan. Penanggungjawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga Sultan. Di bidang perekonomian, rakyat Palembang dimakmurkan. Pada masanya diberlakukan sistem pertahanan yang sekarang dikenal dengan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Karena itu, Belanda tidak dapat mengetahui secara tepat jumlah tentara Palembang.

Jumat, 23 Oktober 2009

SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II (TULISAN PERTAMA)

Bulan Oktober 2005 merupakan "bulannya" Sultan Mahmud Badaruddin II. Pertama dengan diresmikannya Bandar Udara di Palembang yang mengambil namanya. Kedua, Bank Indonesia mengeluarkan mata uang kertas pecahan Rp. 10.000,- bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II.
Siapa dan darimana tokoh ini ? Apa perannya bagi bangsa ini ? terus terang saja, bila pembaca mencari di buku Sejarah Nasional Indonesia, nama tokoh itu tidak diketemukan. Apalagi di kitab-kitab Sejarah untuk SD, SMP, dan SMA.
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah penguasa Kesultanan Palembang Darussalam (1774-1803) setelah menggantikan ayahnya Sultan Muhammad Bahauddin. Ketika naik tahta, ia sudah siap memerintah Kesultanan Palembang Darussalam dengan segala permasalahan menghadapi Inggris dan Belanda. Sejak masih menjadi Pangeran Ratu ia telah biasa menghadapi kelicikan orang-orang Eropa. Warisan yang diterimanya bukan hanya kekuasaan, kekayaan, dan bakat sastrawan, tetapi juga "permusuhan" dengan penjajah Eropa.
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto tanggal 15 Desember 1810 : "Sultan Palembang adalah salah seorang Pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan Dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut."
Bersamaan dengan adanya kontak antara Inggris dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk Sultan Mahmud Badaruddin II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, Sultan Mahmud Badaruddin II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Inggris dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerjasama Inggris-Palembang, dimana pihak Palembang lebih diuntungkan.
Sejak timah diketemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incara Inggris dan Belanda. Berdalih menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa ini berniat menguasai Palembang. Awal bercokolnya penjajahan bangsa Eropa biasanya ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang).
Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun pada tahun 1742 di tepi Sungai Aur (10 Ulu). Gara pembumihangusan dan pembantaian di loji ini pada 14 September 1811, mulai terjadi peperangan dengan bangsa Eropa. Belanda menuduh Inggris-lah yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Inggris cuci tangan, bahkan langsung menuduh Sultan Mahmud Badaruddin II yang berinisiatif melakukannya. Pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Aur dijadikan senjata politik sebagai pelanggaran HAM di kalangan politisi Eropa.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan Sultan Mahmud Badaruddin II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Inggris. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak oleh Sultan Mahmud badaruddin II. Akibatnya, Inggris mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum Sultan Mahmud Badaruddin II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan Sultan Mahmud Badaruddin menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang, Inggris merasa perlu mengangkat penguasa baru yang tentunya harus sejalan dengan keinginannya. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Inggris, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin II) diangkat menjadi Sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York's Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada tanggal 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya dugantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Melalui serangkaian perundingan, Sultan Mahmud Badaruddin II kembali ke Palembang dan naik tahta kembali pada tanggal 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.

Selasa, 06 Oktober 2009

POLITIK BERAS KERAJAAN MATARAM ( TULISAN KEDUA )

Meski demikian, Mataram gagal melihat beras sebagai komoditas untuk diplomasi. ketika Pakubuwana I hendak menguasai kartasura, ia bersekutu dengan dengan VOC. Kesalahan diplomasi Pakubuwana I telah terlihat sejak awal ketika VOC meminta imbal jasa atas partisipasinya dalam penyerbuan di Kartasura.
Permintaan VOC sangat sederhana. Pimpinan VOC menghadap Pakubuwana I dan menyatakan kalau pasukan VOC tidak akan meninggalkannya. Akan tetapi, ia memohon agar diberi beras 1000 koyam setiap tahun untuk memberi makan prajurit VOC yang menjaga Pakubuwana I.
Belum lagi Pakubuwana I menjawab, pimpinan VOC itu menulis surat sebagai tanda kesediaan raja. Raja seperti dipaksa menerima keinginan itu. Tembakan senapan dibunyikan sebagai tanda penghormatan terhadap perjanjian itu. Hal ini tidak disukai para adipati. Mereka sudah menduga sejak awal bahwa pelulusan permintaan itu akan membuat VOC semakin kurang ajar.
Kelak memang permintaan VOC semakin menjadi-jadi dan persoalan kecil itu merepotkan di kemudian hari. Di samping permintaan pasokan pangan, permintaan lain VOC juga semakin banyak. Kita hanya bisa menduga sejak awal hal itu merupakan taktik VOC.
Politik beras yang dilakukan kerajaan Mataram semakin meyakinkan kita betapa beras memang komoditas yang sangat strategis. Setiap penguasa tidak bisa mengabaikan komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras.
Politik harga beras, meski tidak muncul secara eksplisit dalam teks babad, memperlihatkan kepada kita bahwa petani harus diberi hati. Namun, prajurit Kraton dan abdi dalem juga tidak bisa dibiarkan mendapat beras dengan harga mahal. Dalam konteks ini, hanya penguasa yang secara disiplin bisa menjamin produksi beras dan menjaga stabilitas harga yang bisa aman berkuasa.
Presiden Soeharto (almarhum) sebagai anak petani pada jaman Orde Baru memahami hal ini. Produksi beras dijamin dengan ketersediaan pupuk, benih, dan air. Ia juga disiplin dalam mengendalikan harga sehingga harga menguntungkan petani dan konsumen. Ia juga disiplin memantau harga. Pada masa Orde Baru, kantor kepresidenan selalu mendapat data harga setiap hari.
Apabila Soeharto akhirnya jatuh, pelajaran dari Mataram jelas menunjukkan kewibawaan pemerintahan akan hancur begitu harga beras mahal. Penurunan Soeharto terjadi pada saat harga beras melambung tahun 1998.
Pemerintah sekarang cenderung abai dalam disiplin mengelola masalah per-beras-an. Petani tidak lagi mendapat jaminan harga pupuk, benih, dan pasokan air yang memadai. Pengendalian harga yang menguntungkan petani ataupun konsumen tidak mampu dilakukan. harga beras cenderung liar. Spekulasi mudah terjadi.
Pelajaran dari Mataram adalah : pemerintahan yang kuat terlihat dari kedisiplinnya dalam mengelola komoditas beras. ( Disadur dari tulisan Andreas Maryoto )

Selasa, 29 September 2009

POLITIK BERAS KERAJAAN MATARAM ( TULISAN PERTAMA )

Sudah sejak lama beras digunakan sebagai komoditas politik. Catatan yang lengkap soal itu setidaknya diketahui semasa Kerajaan Mataram, abad ke-16 - 18 Masehi. Para raja yang berkuasa menyadari beras merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik. Jika terjadi masalah dengan produksi beras, pasti ada pula masalah dengan kekuasaan. Sebaliknya, kerajaan dan raja akan diagung-agungkan bila masalah beras bisa dikendalikan.
Harta, wanita, dan takhta. Tiga hal itulah yang sangat menonjol bila kita membaca dan mendalami Babad Tanah Jawi. Dari awal hingga akhir teks babad, ketiga hal itu selalu ada. Meski demikian, secara parsial dan terpisah-pisah, kita bisa meneliti berbagai aspek yang ada di Kerajaan Mataram, di luar ketiga masalah itu, seperti politik beras dan politik pangan.
Buku
Babad Tanah Jawi yang digunakan untuk membahas politik beras Kerajaan Mataram adalah babad berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh yayasan Lontar. Buku itu hasil penerjemahan Babad tanah Jawi yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1939. Babad ini disusun oleh Raden Ngabehi Yasadipura. Teks ini bertembang macapat dan beraksara Jawa. Penggunaan teks berbahasa Indonesia bisa memunculkan perdebatan karena transliterasi akan memunculkan "jarak" dengan naskah asli.
Pemilihan babad sebagai sumber kajian juga memunculkan perdebatan karena tidak sedikit mengandung mitos dan dongeng. Meski demikian, sejarawan H.J. De Graf berpendapat yang tertulis di
Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai 1800-an.
Sejak awal berdirinya Kerajaan Mataram, beras telah menjadi komoditas politik. Keamanan pasokan beras merupakan salah sendi penyokong kekuasaan Ki Ageng Pemanahan, pendiri Kerajaan Mataram Islam. Pada mulanya, Ki Ageng Pemanahan mengalah mendapat tanah Mataram yang disebutkan masih berwujud hutan ketika mendirikan Mataram dibandingkan dengan daerah lain yang subur. Berkat kepemimpinannya Mataram bisa diubah menjadi kawasan pertanian. Mataram menjadi negeri yang makmur, banyak orang yang datang, sandang pangan murah dan sawah berlimpah.

Apabila penguasa jaman sekarang menggunakan indikator ekonomi, penguasa jaman dulu menggunakan beras sebagai indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran. Sebaliknya, tanda-tanda keruntuhan sebuah rezim juga selalu terkait dengan morat-maritnya pasokan pangan.
Serbuan pasukan Trunajaya dari Madura mengakibatkan Mataram porak poranda. Raja Amangkurat I terpaksa mengungsi hingga wafat. Situasi ini ditandai dengan banyak punggawa kekurangan pangan. Ketika itu hujan belum turun sehingga pangan sangat kurang. Negeri Mataram menjadi negeri yang amat menyedihkan.

Persoalan beras juga menjadi persoalan kewibawaan rezim berikutnya. Masa awal Raja Amangkurat II ketika kerajaan berpindah ibu kota ke Kartasura dirundung oleh masalah kewibawaan karena tak mampu menyediakan beras murah.
Dalam Babad Tanah Jawi itu disebutkan sang raja dirundung kesusahan karena banyak prajurit kecil yang sakit demam. Masalah bertambah lagi, harga pangan sangat mahal. Raja memandang harga pangan yang mahal akan mengakibatkan ia dipandang hina oleh rakyatnya. Kalau situasi tidak pulih, kerajaan akan dipandang rendah.
Adik Amangkurat II, yaitu Pangeran Puger, kemudian melakukan langkah yang kurang lebih kalau sekarang seperti memantau pasar dan kondisi masyarakat. Ia kemudian berganti busana, dari busana kraton ke busana rakyat jelata. Ia menyamar sebagai santri. Puger masuk keluar pasar dan mengemis beras di pasar. Ia juga mendekati pasukan yang diketahui hanya makan gadung dan ubi sebagai pengganti nasi. Puger juga melihat petani yang bersusah payah, tetapi tidak dapat menikmati hasilnya.
Setelah memantau pasar, kemudian ia berdoa. Puger mendapat jalan untuk membuat harga pangan di negerinya kembali murah. Ia berkeliling ke semua pasar untuk menetapkan harga beras yang terbeli oleh masyarakt. Empat puluh hari setelah upaya itu, harga beras kembali murah.
Petani tenang hatinya. Negeri Kartasura telah pulih. Sandang pangan kembali murah.
Di samping fungsi beras dalam konteks stabilitas politik, ramalan-ramalan munculnya kekuasaan juga selalu terkait dengan beras. Kemunculan Raden Mas Said, yang lalu menjadi Mangkunegoro I, disebutkan, bila ia tidak berkuasa, rezeki tanah Jawa akan berkurang. Akibatnya, orang Jawa tidak bisa makan karena tidak ada beras.
Penentuan letak pusat kerajaan juga mempertimbangkan pasokan beras. Saat VOC melalui Mayor JAB Van Hohendorff menyarankan kraton dipindah dari Kartasura ke desa Sala yang kemudian bernama Surakarta Hadiningrat, salah satu perhitungan pemilihan lokasi itu adalah kemudahan pasokan beras. Hohendorff mengatakan, ia memperkirakan, kalau di tempat itu berhasil dibangun negeri, padi dan beras tidak akan mahal lagi. Meskipun sawah di tempat itu tidak lagi menghasilkan, tetapi hasil dari Ponorogo pasti akan mengalir ke tempat itu.

Beras juga digunakan sebagai bagian dari strategi perang. Jauh sebelum Sultan Agung menyerbu Batavia, penaklukan sejumlah daerah oleh Mataram, seperti sejumlah kadipaten di wilayah timur, selalu memperhitungkan pasokan pangan bagi pasukan yang hendak menyerbu ; di samping pengetahuan tentang jalan yang memadai. Pasukan rahasia selalu diminta mencari daerah yang rata, aman, dan beras murah sebelum mereka melakukan penyerbuan. Perhitungan tempat yang dijadikan penyangga pangan selalu dilakukan. Jepara salah satu contoh yang dijadikan tempat untuk penyangga pangan.
Taktik isolasi pasokan logistik juga dilakukan sebagai bagian untuk menaklukan lawan. Pasukan Mataram mengisolasi musuh dari pasokan pangan sehingga musuh hanya makan seadanya akibatnya mereka terserang penyakit. Hal ini dilakukan ketika mengepung pasukan yang berasal dari timur. pasukan lawan tidak lagi makan nasi, tetapi bonggol pisang, umbi kunci, dan makanan yang tidak layak karena pasokan makanan ditutup. Pasukan timur itu mengalamai demoralisasi sehingga malah berkelahi dan saling bunuh.

Cara ini kembali dilakukan ketika penguasa Mataram berkonflik dengan VOC di kartasura. Untuk melawan VOC yang berada di loji, mereka mengisolasi loji hingga pasukan VOC kekurangan beras. Pasukan mereka lesu. Komandan pasukan VOC kemudian memilih menyerah hingga bisa mendapat pasokan pangan.

Jumat, 18 September 2009

MISTERI PEMBONGKARAN GEDUNG PROKLAMASI

Tanggal 17 Agustus 2009 lalu kita bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan ke-64 Indonesia. Peringatan ini mengacu kepada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, di rumah Bung Karno. Di teras depan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta itulah Bung Karno, didampingi Bung Hatta, mengumumkan kepada dunia kemerdekaan Indonesia.
Sayangnya, rumah di jalan Pegangsaan Timur itu - sekarang jalan Proklamasi - sudah tidak ada lagi. Presiden Soekarno membongkar sendiri bangunan yang disebut Gedung Proklamasi itu pada tahun 1960.
Bung Karno tinggal di rumah itu sejak awal jaman Jepang tahun 1942. Ia tinggal di sana hingga awal Januari 1946. Setelah itu, Bung Karno, juga Bung Hatta, sebagai presiden dan wakil presiden, mengungsi dan tinggal di Jogjakarta karena keadaan di Jakarta semakin genting akibat masuknya NICA yang diboncengi tentara Belanda yang mau berkuasa lagi di Indonesia. Rumah itu selanjutnya ditempati Mr. Soetan Syahrir. Soetan Syahrir sebagai Perdana Menteri RI sering pulang balik Jakarta - Jogjakarta.
Ada kisah menarik kenapa Bung Karno sampai tinggal di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Menurut pengamat bangunan cagar budaya Jakarta, Bambang Eryudhawan, waktu itu Bung Karno sebenarnya ingin juga memiliki rumah di daerah Menteng seperti para pemimpin nasional lainnya. Mereka langsung menempati rumah-rumah di daerah elite tersebut setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jepang.
Namun, Bung Karno terlambat datang ke Jakarta dari Bengkulu, tempat dia dibuang Belanda. Sementara para pemimpin perjuangan kemerdekaan lain sudah berada di Jakarta saat Belanda menyerah kepada Jepang pada bulan Maret 1942. Bung Karno dan Ibu Fatmawati baru tiba di Jakarta bulan Juli 1945. Ia tidak kebagian rumah di Menteng dan harus puas dengan jatah rumah di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, yang berada di luar wilayah Menteng. "Namun, Bung Karno tak pernah menyatakan kekecewaanya. Ia bilang, ia senang dengan rumah itu karena mempunyai halaman yang luas".
Sebelumnya, rumah itu milik warga keturunan Belanda bernama Baron Van Asbeck yang mungkin ikut ditawan Jepang. Pada masa akhir jaman kolonial, di rumahnya itu Baron Van Asbeck konon sempat menerima indekos, mondok, beberapa mahasiswa Indonesia. Salah satu diantaranya Moehammad Yamin yang kemudian juga jadi tokoh perintis kemerdekaan.
Saat hadir dalam sidang pleno istimewa Dewan Perancang Nasional (Depernas), 13 Agustus 1960, Presiden Soekarno menyatakan kehendaknya mendirikan Tugu Proklamasi di titik tempat Soekarno-Hatta berdiri saat memproklamasikan kemerdekaan. Untuk itu, Gedung Proklamasi harus dibongkar dan lahannya dijadikan bagian dari taman yang ditengah-tengahnya menjulang Tugu Proklamasi setinggi 17 meter, yang rencananya akan terbuat dari perunggu.. Dikatakan pula, Tugu Proklamasi yang lama, yang sudah berdiri sejak tahun 1946 harus ikut dibongkar untuk digantikan dengan Tugu Proklamasi "yang sebenarnya".
Tugu lama yang dimaksud adalah Tugu Peringatan Satu Tahun Republik Indonesia yang dibangun atas prakarsa Jo Masdani (waktu kecilnya, ia sering bermain-main di halaman rumah jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta sepulangnya dari sekolah) dan para perempuan lain perintis kemerdekaan, seperti Maria Ulfah dan Setyati. Mereka memprotes gagasan pembongkaran tugu yang dianggap sebagai lambang darma bakti wanita Indonesia. Namun, Presiden Soekarno tidak pernah membalas surat protes yang dikirim Jo Masdani dan kawan-kawan.
Bung Karno bersikukuh pada keputusan untuk membongkar Gedung Proklamasi, katanya, di bekas lokasinya akan dibangun gedung yang indah dan megah, sesuai dengan martabat bangsa Indonesia yang besar. Secara lisan, ia memerintahkan Gubernur Soemarmo membongkar Gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta dan Tugu Proklamasi. Keduanya sudah harus rata dengan tanah sebelum tanggal 1 Januari 1956.
Setelah Gubernur Sumarmo melaksanakan perintah lisan tersebut, di tempat itu Bung Karno pada 1 Januari 1946 meresmikan dimulainya pembangunan Tugu Proklamasi, yang lalu dikenal warga Jakarta sebagai Tugu Petir. Tak seperti dibayangkan sebelumnya, tugu itu tak bisa dibilang indah. Hanya berbentuk tiang bulat tinggi yang di puncaknya bertenger lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di bawah tugu itu kemudian dicantumkan tulisan : "Di sinilah Dibacakan Proklamasi pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".
beberapa puluh meter di belakang Tugu Petir lalu dibangun gedung berlantai enam, yang arsitekturnya berkesan biasa-biasa saja. Pembangunan gedung itu dimaksud sebagai tanda dimulainya program "Pembangunan Nasional Semesta Berencana". Warga Jakarta mengenalnya sebagai Gedung Pola, yang ini menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan.
Gedung Proklamasi yang bersejarah musnah sudah. Keasrian tamannya yang luas pun ikut terkubur dengan dibangunnya Monumen Pahlawan Proklamasi Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta. Monumen megah yang diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal 17 Agustus 1980 itu menjadi struktur paling mencolok di atas lahan bekas tempat tinggal Bung Karno tersebut.
Satu-satunya monumen yang masih terkait langsung dengan zaman Revolusi adalah Tugu Peringatan Satu Tahun Republik Indonesia. Setelah ikut jadi korban Bung Karno, monumen sejarah itu dibangun kembali di jaman gubernur DKI Ali Sadikin dan diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1972.
Sulit dipahami kenapa Bung Karno tega menghancurkan rumah bekas tempat tinggalnya sendiri, yang seharusnya juga menjadi bangunan paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Presiden RI pertama itu dikenal sebagai tokoh yang menghargai sejarah. Siapa tidak kenal pada ucapannya "Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah", yang sering disingkat Jasmerah.
Sampai wafatnya, Juni 1970, Bung Karno tidak pernah menjelaskan apa alasan yang mendorongnya untuk membongkar gedung di jalan Pegangsaan timur 56 Jakarta tersebut. namun, astronom senior, Bambang Hidaat, mengatakan, penghancuran Gedung Proklamasi dilakukan Bung Karno mungkin akibat bujukan kaum "kiri" yang ingin menggantinya dengan bangunan lain yang lebih sosialistis. Hal itu ia dengar dari Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) Jendral Soewarto saat berceramah di ITB Bandung akhir Oktober 1965, sebulan setelah peristiwa G 30 S PKI. "Saya tidak tahu kebenarannya tetapi memang waktu itu merupakan periode untuk menenggelamkan karakter Soekarno," tutur Bambang yang merupakan pensiunan Guru Besar ITB Bandung.
Dalam buku "Sejarah Tugu Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia" juga disebutkan, pembongkaran tugu itu - dan juga Gedung Proklamasi-berkaitan dengan maksud PKI untuk menghilangkan bukti-bukti peninggalan sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengganti tanggal 17 Agustus 1945 dengan tanggal 1 Oktober 1965 jika mereka berhasil merebut kekuasan lewat kudeta.
Sayang, kebenaran hal tersebut belum dapat dipastikan. Dengan begitu, alasan sesungguhnya dari pembongkaran Gedung Proklamasi masih tetap menjadi misteri sampai saat ini, delapan windu setelah Dwitunggal Soekarno - Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ( Disadur dari tulisan Mulyawan Karim).

Senin, 14 September 2009

MARDIJKER dan MERDEKA

Merdeka adalah persoalan eksistensi. Salah satunya, eksistensi manusia yang menyadari kediriannya sebagai bagian dari sebuah bangsa. Lalu, apa hakikat bangsa Indonesia yang merdeka ?
Kita mesti memahami jika melongok sejarah bangsa ini sebagai yang pernah terjajah selama lebih kurang 3,5 abad lamanya. Pada masa panjang kolonialisme itu, selain memuat banyak kisah derita kemanusiaan, embrio kita sebagai sebuah "bangsa" pun turut dibangun. Kesadaran sebagai sebuah bangsa, sebagaimana dikatakan Benedict Anderson dalam Imagined Communities, hakikatnya adalah "sesuatu yang terbayang"; dus pengertian bangsa yang dimaksud pada masa kini jika dibenturkan dengan realitas masa lampau boleh jadi menjadi tumpukan (akumulasi) yang "membayangi" masa kini.
Hal ini mengingatkan pada kaum Mardijker. Mereka mulanya adalah kaum Moor dari India dan Afrika yang datang dari Malaka, ikut bersama-sama kapal Portugis ke Batavia. Selain Moor, orang-orang pribumi dari Sulawesi, Bali, dan Melayu pun kemudian digolongkan sebagai Mardijker pula. Para Mardijker inipun dikonversi menjadi penganut Katholik, agamanya orang Portugis. Mereka banyak menetap di wilayah Batavia.
Seiring jatuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, Belanda mengambil alih kekuasaan hingga didirikannya maskapai dagang Belanda VOC pada tahun 1662. Lalu, bagaimana nasib kaum Mardijker? Di bawah kuasa Belanda, mereka dimerdekakan, dibebaskan. "Merdeka." di sini adalah pengertian teologis ketika mereka dibebaskan setelah dikonversi dari Katholik menjadi Protestan. mardijker yang berarti merdeka berarti juga terbentuknya identitas. Dengan terbentuknya identitas, terbangun ikatan emosional sebagai kesatuan manusia Mardijker. Riwayatnya berkembang dengan status yang dimerdekakan. Adakah sebenarnya mentalitas mereka ini sebagai yang terjajah ?
Sebuah kisah di batavia tahun 1715. Cornelis Chalstelijn, seorang tuan tanah di Gambir, Jatinegara, dan Buitenzorg (Bogor), menghibahkan tanahnya kepada para Mardijker. Para Mardijker di-Kristenkan, termasuk suku Jawa, Bali, Bugis, dan Kalimantan ; para wanitanya dijadikan Gundik. Tuan Chalstelijn menghimpun para budak dari berbagai latar belakang ras ini agar seagama dengannya. Walhasil terbentuklah keluarga Mardijker di tanah Serengseng, Depok. Mereka beranak pinak hingga melahirkan keturunan Mardijker, para "bule Depok".
Tuan Chalstelijn memang bijak. Namun, kaum mardijker tetaplah berstatus dimerdekakan. Diatur bagaimanapun, mereka sebenarnya dalam posisi terjajah. Seperti halnya terlihat bagaimana VOC memberdayakan keturunan Mardijker ini sebagai serdadu. Pakaian harus seperti orang Portugis dan diharuskan berbahasa Kreol (campuran Portugis). Atribut ini dicipta sebagai identitas mereka.
Atribut bentukan kolonialisme macam ini galibnya pembentuk mentalitas dan kesadaran identitas sebagai "sekumpulan manusia" yang dialienasikan, sehingga ruang geraknya terkungkung dalam kehilamgan eksistensi identitasnya sebagai yang berstatus dimerdekakan. Misalnya kebijakan Passenstelsel (surat jalan) terapan Pemerintah Hindia Belanda, yang mana di jalanan para Mardijker ini harus mengangkat tangan sembari mengucap "Mardijker" sebagai penunjuk statusnya. Kekonyolan kolonialisme memaksakan kesadaran identitas semacam ini sebetulnya sengaja membangun mental dan keberadaan diri para Mardijker sebagai yang termarjinalkan dalam kehidupan sosial.
Itulah yang membuat para Mardijker hilang kepercayaan diri, minder, dengan identitas yang dilabelisasi sejalan dengan status mereka sebagai yang dimerdekakan itu. Sebagai serdadu Kerajaan Belanda, KNIL, pada masa revolusi fisik, para Mardijker dicap loyal kepada Belanda. Malah orang pribumi seperti Raden Abdoelkadir Widjojoatmodjo, Kolonel KNIL asala Jawa, juga menjadi perwakilan Belanda dalam Perjanjian Renville tahun 1948.
Paska Pengakuan Kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949, para Mardijker ini ditawarkan pilihan menjadi WNI atau bermukim di Belanda. Namun, kecurigaan dan suasana Xenophobia masyarakat Indonesia sudah tersemai : Mardijker lebih loyal kepada Belanda. Itulah kenapa sebagian dari mereka memilih menjadi warga negara Belanda karena khawatir dengan statusnya jika memilih Indonesia. Mentalitas nyaman dan aman menjadi Belanda lebih pada turunan konstruksi masa lalu : Mardijker yang dimerdekakan Belanda.
Kisah macam Mardijker itu ada dalam kronik Indonesia Merdeka. Minoritas seperti mereka sebenarnya adalah juga bagian dari Indonesia yang berhak memiliki Indonesia. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, sebagian dari mereka seakan kehilangan induk dan minder menyadari posisinya dalam lingkungan masyarakat Indonesia. Ikatan emosional yang tercerabut dari akarnya.
Akar ikatan emosional itu dicipta melalui kebhinekaan produk kolonialisme. Kisah tuan Chalstelijn yang berjaa menghimpun orang-orang pribumi dari beragam suku sekilas bagaikan konseptor Bhinneka Tungga Ika. Seperti halnya kebhinekaan ideal Indonesia yang sering diusik penyakit : krisis nasionalisme, rasa memiliki Indonesia. Kita patut waspada sebab Indonesia kini sering kali sakit oleh ancaman disintegrasi : kesukuan, agama, partai politik ....
Pemeo "Indonesia belum merdeka" yang sering kali disuarakan mungkin sekilas seperti semunya kemerdekaan para Mardijker. Semu, karena dibalik pemerdekaan mereka itu, kekuasaan politik sebenarnya menjajah mereka. Namun tentu saja, kemerdekaan Indonesia janganlah disamakan dengan kaum Mardijker yang (di) merdeka (kan) itu.
Di balik kata "Mardijker" yang konon derivasi kata "merdeka", semoga "mentalitas terjajahnya" tidak hidup pada bangsa ini. Tidak minder menjadi Indonesia, seperti keminderan kaum Mardijker itu. Tentunya tidak. Semoga saja. (Disadur dari tulisan Fadly Rahman)

Selasa, 01 September 2009

PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945 (TULISAN KELIMA : HABIS )

Pada pukul 05.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin Indonesia dari golongan tua maupun muda keluar dari rumah Laksamana Maeda. Mereka pulang ke rumah mereka masing-masing setelah berhasil merumuskan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia semalam suntuk. Mereka telah mencapai kesepakatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB di rumah Ir. Soekarno, yaitu di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Sebelumnya Drs. Moehammad Hatta telah berpesan kepada para pemuda yang bekerja di kantor berita dan pers, terutama Boerhanoeddin Moehammad Diah (B.M. Diah) untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Pukul 10.00 WIB rumah Ir. Soekarno telah dipadati sejumlah massa pemuda yang berbaris dengan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan proklamasi kemerdekaan, dr. Moewardi (kepala keamanan Ir. Soekarno) meminta kepada Coedanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan anak buahnya menjaga rumah Ir. Soekarno, sedangkan wakil walokota Jakarta Soewirjo memerintahkan Mr. Wilopo untuk mempersiapkan pengeras suara. Mr. Wilopo dan Nyonopranowo lalu pergi ke rumah Goenawan, pemilik Toko Radio Satria Jalan Salemba Tengah 24 Jakarta untuk meminjam mikrofon dan pengeras suara. Soediro (sekretaris Ir. Soekarno) memerintahkan S. Soehoed (Komandan Pengawal Rumah Ir. Soekarno) untuk menyiapkan tiang bendera. Soehoed lalu mencari sebatang bambu di belakang rumah. Bendera yang akan dikibarkan sudah dipersiapkan oleh Ny. Fatmawati Soekarno. Menjelang pukul 10.00 WIB para pemimpin bangsa Indonesia mulai berdatangan ke lokasi upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tampak antara lain Mr. A.A. Maramis, Ki Hajar Dewantara, Dr. G.S.S.J Ratoelangi, K.H. Mas Mansoer, Mr. Sartono, M. Tabrani, A.G. Pringgodigdo, dan sebagainya. Adapun susunan acara yang telah dipersiapkan dalah sebagai berikut :
  1. Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
  2. Pengibaran Bendera Merah Putih
  3. Sambutan Walikota Soewirjo dan dr. Moewardi
Lima menit sebelum acara dimulai Bung Hatta datang dengan berpakaian putih-putih. Setelah semuanya siap, Latief Hendraningrat memberikan aba-aba kepada seluruh barisan pemuda dan merekapun kemudian berdiri tegak dengan sikap sempurna. Selanjutnya Latief Hendraningrat mempersilahkan Bung karno dan Bung Hatta. Dengan suara yang mantap Bung Karno mengucapkan pidato pendahuluan singkat "saudara-saudara sekalian, saya telah meminta saudara-saudara hadir untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah bangsa kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun gelombang aksi kita untu mencapai kemerdekaan itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak ada henti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya kita tetap menyusun tenaga kita sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan Tanah Air kita dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia. Permusyawaratan itu telah seiya sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang waktunya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara, dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarlah Proklamasi kami :
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 'o5
Atas Nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta

Demikianlah saudara-saudara kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat Tanah Air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara merdeka negara Repoeblik Indonesia merdeka, kekal dan abadi, Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. S. Soehoed mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatkannya pada tali dengan bantuan Coedanco Latief Hendraningrat. Bendera dinaikkan pelan-pelan. Tanpa dikomando, para hadirin spontan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Banyak yang terharu dan menitikkan air mata karena setelah berjuang ratusan tahun untuk merdeka, hari itu bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Setelah pengibaran bendera selesai acara yang terakhir adalah sambutan Walikota Jakarta Soewirjo dan dr. Moewardi. Demikianlah sejarah singkat Proklamasi kemerdekaan Indonesia. (Gunawan, dari berbagai sumber)

Senin, 31 Agustus 2009

PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945 (TULISAN KEEMPAT )

Rombongan tiba kembali ke Jakarta pukul 23.30 WIB. Setelah Bung Karno dan Bung Hatta singgah di rumah masing-masing, rombongan kemudian menuju rumah Laksamana Maeda di jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Mereka menuju rumah Maeda karena perwira tinggi Angkatan Laut Jepang ini menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya (penuturan Maeda kepada salah satu pegawainya, Mr. Ahmad Soebardjo).
Sebelum mereka merumuskan teks proklamasi, terlebih dahulu Bung Karno dan Bung Hatta dengan ditemani Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima, dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah menemui Kepala Pemerintahan Umum (Somubuco) Mayor Jendral Nishimura guna menjajaki sikapnya mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak mencapai kata sepakat sebab Nishimura bersikeras bahwa kebijakan Panglima Tentara ke-16 di Jawa adalah menjaga status quo (status politik) di Indonesia seperti yang diperintahkan Sekutu sehingga berdasarkan kebijakan tersebut Soekarno-Hatta dilarang untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Soekarno-Hatta kemudian sadar bahwa proklamasi kemerdekaan harus diperjuangkan sendiri oleh bangsa Indonesia dan tidak ada gunanya lagi membicarakan kemerdekaan dengan Jepang. Akhirnya mereka hanya mengharapkan Jepang tidak menghalang-halangi pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Soekarno-Hatta lalu kembali ke rumah Laksamana Maeda untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di sini ada pertanyaan menarik yang sampai sekarang belum terjawab, yaitu "Mengapa Soekarno-Hatta harus menyusun teks proklamasi kemerdekaan di rumah Maeda padahal teks proklamasi kemerdekaan sudah ada, tinggal dibaca saja karena BPUPKI cq Panitia Sembilan/Kecil sudah membuatnya (Pembukaan UUD 1945 adalah teks proklamasi yang rencananya akan dibacakan saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan)". Apakah gara-gara teks tersebut produk BPUPKI yang notabene buatan Jepang ataukan ada alasan yang lain ? kalau kita baca dua teks tersebut manakah yang lebih berbobot ? teks prokalamsi kemerdekaan buatan BPUPKI cq Panitia Sembilan atau yang disusun di rumah Maeda tanggal 17 Agustus 1945 dini hari tersebut ? Pembaca silahkan memikirkan sekaligus menjawabnya. yang jelas sampai sekarang hal tersebut masih menjadi misteri atau kontroversi walaupun tidak setajam Supersemar.
Penyusunan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di rumah Laksamana Maeda dilakukan oleh tiga tokoh golongan tua, yaitu Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo. Sementara itu tokoh golongan muda yang menyaksikan sekaligus menjadi saksi penyusunan teks proklamasi adalah Soekarni, B.M Diah, Sayoeti Melik, dan Soediro. Hadirin yang hadir malam di rumah Laksamana Maeda berjumlah 30 orang, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moehammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Dr. Moehammad Amir, Dr. Boentaran, Martoarmojo, Harsono Tjokroaminoto, Mr. I Goesti Ketoet Poeja, Mr. A. Abbas, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Johanes Latuharhary, Ki bagoes Hadji Hadi Koesoemo, Mr. Teoekoe Moehammad Hasan, Ki Hadjar Dewantara, R. Otto Iskandardinata, Fr. KRT Radjiman Wediodiningrat, Mr. Soetardjo Kartohadikoesoemo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, R. Soekardjo Wirjopranoto, Dr. GSSJ Ratulangi, B.M Diah, Soekarni, Chaeroel saleh, Sayoeti Melik, Anang Abdoel hamidhan, Andi Pangerang, Andi Soeltan daeng Radja, Semaoen Bakry, Soediro, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Dr. Samsi Sastrosidagdo. Pukul 04.30 dini hari tanggal 17 Agustus 1945 teks proklamasi kemerdekaan Indonesia selesai disusun. Bung Karno lalu membacakan naskah proklamasi yang masih berupa konsep tersebut kepada hadirin yang hadir di rumah Laksamana Maeda tersebut sekaligus meminta kepada hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Pendapat tersebut disokong oleh Moehammad Hatta dengan mengambil contoh Declaration Of Independence Amerika Serikat. Namun pendapat Hatta tersebut ditentang keras oleh para pemuda karena beralasan sebagian tokoh tua yang hadir merupakan "budak-budak Jepang." Soekarni selaku tokoh golongan muda lalu mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Soekarni juga mengusulkan bahwa kata wakil-wakil bangsa Indonesia diganti dengan kalimat atas nama bangsa Indonesia.
Setelah usulan Soekarni disetujui maka Soekarno meminta kepada sayoeti Melik untuk mengetik naskah proklamasi tulisan tangan Soekarno tersebut dengan disertai perubahan-perubahan yang disepakati, yaitu :
  1. Kata tempoh diganti tempo
  2. Kata wakil-wakil bangsa Indonesia diganti dengan kata Atas nama bangsa Indonesia
  3. Dalam hal tanggal dari Djakarta, 17-8-05 menjadi Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Selanjutnya timbul persoalan mengenai tempat diselenggarakannya proklamasi kemerdekaan. Soekarni mengusulkan di Lapangan IKADA yang telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat kota Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah proklamasi. Namun Soekarno menganggap Lapangan IKADA adalah salah satu lapangan umum yang bisa menimbulkan bentrok antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Ia kemudian mengusulkan agar pelaksanaan pemacaan naskah proklamasi kemerdekaan dilaksanakan di rumahnya jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta dan ternyata disetujui oleh hadirin.

Kamis, 27 Agustus 2009

PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945 (TULISAN KETIGA)

Berita tentang kekalahan Jepang ternyata diketahui oleh sebagian golongan muda melalui radio siaran luar negeri. Pada tanggal 15 malam, Mr. Soetan Syahrir menyampaikan berita tersebut kepada Bung Hatta sekaligus menanyakan kapan kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan. Bung Hatta berjanji kepada Syahrir bahwa ia akan menanyakan hal tersebut kepada Gunseikanbu. Setelah Bung Hatta yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu maka diambil keputusan untuk segara mengundang anggota PPKI. Golongan muda yang sudah mengetahui berita menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 malam mengadakan rapat di Lembaga Bakteriologi jalan Pegangsaan Timur, Jakarta pada pukul 20.30 WIB dipimpin oleh Chairoel Saleh. Keputusan rapat para pemuda malam itu tegas, yaitu "kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak dapat digantungkan kepada orang dan negara lain. Segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan Jepang harus diputuskan dan sebaliknya diharapkan adanya perundingan dengan golongan muda agar mereka diikutsertakan dalam pernyataan proklamasi." Keputusan rapat pemuda di Lembaga Bakteriologi itu kemudian disampaikan kepada Ir. Soekarno di rumahnya Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta oleh Darwis dan Wikana. Mereka menyampaikan keputusan rapat para pemuda agar Ir. Soekarno segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu hadiah dari Jepang. Di rumah Bung Karno juga hadir golongan tua lainnya seperti Drs. Moehammad Hatta, dr. Boentaran, dr. Samsi, Mr. Achmad Soebardjo, dan Iwa Kusumasumantri. Tuntutan Wikana yang disertai ancaman bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika Ir. Soekarno tidak menyatakan proklamasi menimbulkan ketegangan. Bung Karno dan Bung Hatta mengatakan kepada Darwis dan Wikana bahwa kemerdekaan Indonesia harus dibicarakan terlebih dahulu dengan wakil-wakil PPKI terlebih dahulu, tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Mereka tidak dapat menerima keinginan para pemuda yang menginginkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus 1945 atau keesokan harinya. Sekitar pukul 24.00 WIB, Darwis dan Wikana meninggalkan rumah Ir. Soekarno dengan perasaan marah karena keinginan para pemuda tidak dapat dikabulkan oleh golongan tua. Mereka kemudian pergi ke tempat rapat semula, yaitu di Lembaga Bakteriologi. menanggapi penolakan tersebut, golongan muda kembali mengadakan rapat di asrama Baperpi jalan Cikini 71, Jakarta. Selain dihadiri oleh peserta rapat sebelumnya, rapat ini juga dihadiri oleh para tokoh pemuda lainnya seperti Soekarni, Joesoef koento, dr. Moewardi dari barisan pelopor, dan Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta Syu. Rapat dinihari tanggal 16 Agustus 1945 tersebut menghasilkan keputusan untuk "menculik/menyingkirkan Ir. Soekarno dan Drs. Moehammad Hatta keluar kota dengan tujuan menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang dan memenuhi tuntutan para pemuda untuk memerdekakan Indonesia secepatnya. Guna menghindari kecurigaan pihak Jepang maka Shudanco Singgih mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut. Rencana penculikan Ir. Soekarno dan Drs, Moehammad Hatta berjalan dengan lancar. Soekarni, yoesoef koento, dan Shudanco Singgih pada tanggal 16 Agustus 1945 dinihari (sekitar pukul 04.30 WIB) membawa Ir. Soekarno dan Drs. Moehammad Hatta ke Rengasdengklok (sebuah kota kawedanan di pantai utara kabupaten Karawang, Jawa Barat). Tempat yang dituju merupakan sebuah tempat dimana markas kompi PETA pimpinan Cudanco Soebeno berada. Alasan penculikan yang dikemukakan kepada Ir. Soekarno dan Drs. Moehammad Hatta adalah keadaan Jakarta sangat genting sehingga keamanan kedua tokoh tersebut terancam. Sehari penuh Soekarno dan Moehammad Hatta berada di Rengasdengklok. Kewibawaan yang sangta besar dari kedua tokoh tersebut menyebabkan para pemuda segan untuk melakukan penekanan lebih lanjut. Namun, dalam suatu pembicaraan berdua dengan Ir. Soekarno, Shudanco Singgih beranggapan Ir. Soekarno bersedia untuk menyatakan proklamasi segera setelah kembali ke Jakarta. Oleh karena itu, pada tengah hari Singgih kembali ke Jakarta untuk menyampaikan rencana proklamasi kepada kawan-kawannya.
Sementara itu di Jakarta para anggota PPKI yang diuandang rapat pada tanggal 16 Agustus 1945 memenuhi undangan dan berkumpul di gedung Pejambon 2 (sekarang gedung Departemen Luar Negeri). Akan tetapi rapat tersebut tidak dapat dihadiri pengundangnya, yaitu Soekarno-Hatta karena sedang berada di Rengasdengklok. Satu-satunya jalan untuk mengatasi hal tersebut, yaitu mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta adalah melalui Wikana yang bersitegang dengan Soekarno pada tanggal 15 Agustus 1945 malam. Terjadi perbincangan antara Ahmad Soebardjo (golongan tua) dengan Wikana (golongan muda). Perbincangan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta. Karena adanya kesepakatan itu, maka Joesoef Koento dari golongan muda bersedia mengantarkan Mr. Ahmad Soebardjo bersama sekretarisnya, Soediro ke Rengasdengklok. Rombongan ini tiba di Rengasdengklok pada pukul 18.00 WIB. Setelah berbincang-bincang dengan Soekarno-Hatta, Ahmad Soebardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan pada keesokan harinya (tanggal 17 Agustus 1945) selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB. Dengan adanya jaminan tersebut, maka Komandan Kompi PETA Rengasdengklok Chudanco Soebeno bersedia melepaskan Ir. Soekarno dan Drs. Moehammad Hatta kembali ke Jakarta.