Meski demikian, Mataram gagal melihat beras sebagai komoditas untuk diplomasi. ketika Pakubuwana I hendak menguasai kartasura, ia bersekutu dengan dengan VOC. Kesalahan diplomasi Pakubuwana I telah terlihat sejak awal ketika VOC meminta imbal jasa atas partisipasinya dalam penyerbuan di Kartasura.
Permintaan VOC sangat sederhana. Pimpinan VOC menghadap Pakubuwana I dan menyatakan kalau pasukan VOC tidak akan meninggalkannya. Akan tetapi, ia memohon agar diberi beras 1000 koyam setiap tahun untuk memberi makan prajurit VOC yang menjaga Pakubuwana I.
Belum lagi Pakubuwana I menjawab, pimpinan VOC itu menulis surat sebagai tanda kesediaan raja. Raja seperti dipaksa menerima keinginan itu. Tembakan senapan dibunyikan sebagai tanda penghormatan terhadap perjanjian itu. Hal ini tidak disukai para adipati. Mereka sudah menduga sejak awal bahwa pelulusan permintaan itu akan membuat VOC semakin kurang ajar.
Kelak memang permintaan VOC semakin menjadi-jadi dan persoalan kecil itu merepotkan di kemudian hari. Di samping permintaan pasokan pangan, permintaan lain VOC juga semakin banyak. Kita hanya bisa menduga sejak awal hal itu merupakan taktik VOC.
Politik beras yang dilakukan kerajaan Mataram semakin meyakinkan kita betapa beras memang komoditas yang sangat strategis. Setiap penguasa tidak bisa mengabaikan komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras.
Politik harga beras, meski tidak muncul secara eksplisit dalam teks babad, memperlihatkan kepada kita bahwa petani harus diberi hati. Namun, prajurit Kraton dan abdi dalem juga tidak bisa dibiarkan mendapat beras dengan harga mahal. Dalam konteks ini, hanya penguasa yang secara disiplin bisa menjamin produksi beras dan menjaga stabilitas harga yang bisa aman berkuasa.
Presiden Soeharto (almarhum) sebagai anak petani pada jaman Orde Baru memahami hal ini. Produksi beras dijamin dengan ketersediaan pupuk, benih, dan air. Ia juga disiplin dalam mengendalikan harga sehingga harga menguntungkan petani dan konsumen. Ia juga disiplin memantau harga. Pada masa Orde Baru, kantor kepresidenan selalu mendapat data harga setiap hari.
Apabila Soeharto akhirnya jatuh, pelajaran dari Mataram jelas menunjukkan kewibawaan pemerintahan akan hancur begitu harga beras mahal. Penurunan Soeharto terjadi pada saat harga beras melambung tahun 1998.
Pemerintah sekarang cenderung abai dalam disiplin mengelola masalah per-beras-an. Petani tidak lagi mendapat jaminan harga pupuk, benih, dan pasokan air yang memadai. Pengendalian harga yang menguntungkan petani ataupun konsumen tidak mampu dilakukan. harga beras cenderung liar. Spekulasi mudah terjadi.
Pelajaran dari Mataram adalah : pemerintahan yang kuat terlihat dari kedisiplinnya dalam mengelola komoditas beras. ( Disadur dari tulisan Andreas Maryoto )
Permintaan VOC sangat sederhana. Pimpinan VOC menghadap Pakubuwana I dan menyatakan kalau pasukan VOC tidak akan meninggalkannya. Akan tetapi, ia memohon agar diberi beras 1000 koyam setiap tahun untuk memberi makan prajurit VOC yang menjaga Pakubuwana I.
Belum lagi Pakubuwana I menjawab, pimpinan VOC itu menulis surat sebagai tanda kesediaan raja. Raja seperti dipaksa menerima keinginan itu. Tembakan senapan dibunyikan sebagai tanda penghormatan terhadap perjanjian itu. Hal ini tidak disukai para adipati. Mereka sudah menduga sejak awal bahwa pelulusan permintaan itu akan membuat VOC semakin kurang ajar.
Kelak memang permintaan VOC semakin menjadi-jadi dan persoalan kecil itu merepotkan di kemudian hari. Di samping permintaan pasokan pangan, permintaan lain VOC juga semakin banyak. Kita hanya bisa menduga sejak awal hal itu merupakan taktik VOC.
Politik beras yang dilakukan kerajaan Mataram semakin meyakinkan kita betapa beras memang komoditas yang sangat strategis. Setiap penguasa tidak bisa mengabaikan komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras.
Politik harga beras, meski tidak muncul secara eksplisit dalam teks babad, memperlihatkan kepada kita bahwa petani harus diberi hati. Namun, prajurit Kraton dan abdi dalem juga tidak bisa dibiarkan mendapat beras dengan harga mahal. Dalam konteks ini, hanya penguasa yang secara disiplin bisa menjamin produksi beras dan menjaga stabilitas harga yang bisa aman berkuasa.
Presiden Soeharto (almarhum) sebagai anak petani pada jaman Orde Baru memahami hal ini. Produksi beras dijamin dengan ketersediaan pupuk, benih, dan air. Ia juga disiplin dalam mengendalikan harga sehingga harga menguntungkan petani dan konsumen. Ia juga disiplin memantau harga. Pada masa Orde Baru, kantor kepresidenan selalu mendapat data harga setiap hari.
Apabila Soeharto akhirnya jatuh, pelajaran dari Mataram jelas menunjukkan kewibawaan pemerintahan akan hancur begitu harga beras mahal. Penurunan Soeharto terjadi pada saat harga beras melambung tahun 1998.
Pemerintah sekarang cenderung abai dalam disiplin mengelola masalah per-beras-an. Petani tidak lagi mendapat jaminan harga pupuk, benih, dan pasokan air yang memadai. Pengendalian harga yang menguntungkan petani ataupun konsumen tidak mampu dilakukan. harga beras cenderung liar. Spekulasi mudah terjadi.
Pelajaran dari Mataram adalah : pemerintahan yang kuat terlihat dari kedisiplinnya dalam mengelola komoditas beras. ( Disadur dari tulisan Andreas Maryoto )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar