Senin, 30 Juni 2014

GAREBEG SEKATEN, MEDIA DAKWAH WALI SANGA DI TANAH JAWA ( 3 )

Seperti yang berlangsung di Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, setiap upacara Garebeg kedua penguasa Kraton itu memberikan sebuah hajad berupa Gunungan, terbuat dari jenis makanan dari ketan dilengkapi beberapa jenis sayuran (hasil bumi).
Bagi Kraton, hajad dalem berupa gunungan tersebut memiliki makna simbolis sangat mendalam, yaitu Sri Sultan maupun Sri Sunan masih merelakan harta kekayaan yang dimilikinya (divisualisasikan dengan Gunungan), diberikan atau dibagikan kembali kepada rakyatnya. Hal ini terlihat, setiap upacara Garebeg, hajad dalem berupa Gunungan diperebutkan atau dibagikan kepada masyarakat di halaman Masjid Besar.
Kembali peristiwa tempo dulu, di zaman kejayaan masing-masing kraton, masyarakat yang diwakili salah seorang pamong desa, setiap tahun asok bulu bekti ke kraton. Ujud bulu bekti itu beraneka ragam, namun sebagian besar berupa hasil pertanian (palawija) di masing-masing desanya. Karena ingin membalas budi baik kepada para kawula, pihak kraton kembali memberikan sesuatu yang disimbolisasikan lewat Gunungan.
Namun ada juga cerita yang menyatakan awalnya Grebeg merupakan sebuah prosesi upacara yang diselenggarakan pihak kraton untuk menangkal segala bencana yang dikhawatirkan akan mengguncang wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Pihak Kasultanan Yogyakarta dan masyarakat sekitarnya percaya, dengan diadakannya upacara ini, maka wilayahnya akan terhindar dari bencana ataupun petaka yang bisa mengancam kehidupan mereka. Acara ini menjadi upacara sakral yang sangat dinanti, untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Seprti diungkapkan Moch. Machin dalam majalah Penyuluh Agama No. 5 tahun 1959, gamelan Sekaten merupakan hasil karya Sunan Kalijaga. Pertama kali menciptakan sebuah Gong yang diberi nama Syahadatain. Semula hanya dibunyikan di halaman Masjid Demak, bertepatan dengan Maulud Nabi. Dicipta pertama kali hanya empat jenis, yaitu Kenong, Kempul, Kendhang, dan Genjur. Kenong berbunyi nong-nong-nong, dan sekarang ditambah bunyi Saron yang berbunyi ning-ning-ning. Kempul memiliki suara pung-pung-pung, Kendhang berbunyi ndang tak-ndang tak-ndang tak. dan Gong/Genjur bersuara ngguuuur.
Bila perangkat kecil Gamelan itu dibunyikan (ditabuh) bersamaan, akan mengumpulkan suara nong-ning (nong kana-nong kene) artinya di sana- di situ-di sini. Pung-Pung, mumpung-mumpung, mumpung masih hidup. Selanjutnya digabung dengan bunyi  kempul, pul-pul berarti segera kumpul ditambah suara Kendhang ndang tak-ndang tak (cepat atau segera), dan ditutup atau diakhiri dengan suara ngguuur, artinya agar segera njegur atau masuk Masjid atau masuk agama Islam. (Moelyono/Luthfie).