Senin, 14 September 2009

MARDIJKER dan MERDEKA

Merdeka adalah persoalan eksistensi. Salah satunya, eksistensi manusia yang menyadari kediriannya sebagai bagian dari sebuah bangsa. Lalu, apa hakikat bangsa Indonesia yang merdeka ?
Kita mesti memahami jika melongok sejarah bangsa ini sebagai yang pernah terjajah selama lebih kurang 3,5 abad lamanya. Pada masa panjang kolonialisme itu, selain memuat banyak kisah derita kemanusiaan, embrio kita sebagai sebuah "bangsa" pun turut dibangun. Kesadaran sebagai sebuah bangsa, sebagaimana dikatakan Benedict Anderson dalam Imagined Communities, hakikatnya adalah "sesuatu yang terbayang"; dus pengertian bangsa yang dimaksud pada masa kini jika dibenturkan dengan realitas masa lampau boleh jadi menjadi tumpukan (akumulasi) yang "membayangi" masa kini.
Hal ini mengingatkan pada kaum Mardijker. Mereka mulanya adalah kaum Moor dari India dan Afrika yang datang dari Malaka, ikut bersama-sama kapal Portugis ke Batavia. Selain Moor, orang-orang pribumi dari Sulawesi, Bali, dan Melayu pun kemudian digolongkan sebagai Mardijker pula. Para Mardijker inipun dikonversi menjadi penganut Katholik, agamanya orang Portugis. Mereka banyak menetap di wilayah Batavia.
Seiring jatuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, Belanda mengambil alih kekuasaan hingga didirikannya maskapai dagang Belanda VOC pada tahun 1662. Lalu, bagaimana nasib kaum Mardijker? Di bawah kuasa Belanda, mereka dimerdekakan, dibebaskan. "Merdeka." di sini adalah pengertian teologis ketika mereka dibebaskan setelah dikonversi dari Katholik menjadi Protestan. mardijker yang berarti merdeka berarti juga terbentuknya identitas. Dengan terbentuknya identitas, terbangun ikatan emosional sebagai kesatuan manusia Mardijker. Riwayatnya berkembang dengan status yang dimerdekakan. Adakah sebenarnya mentalitas mereka ini sebagai yang terjajah ?
Sebuah kisah di batavia tahun 1715. Cornelis Chalstelijn, seorang tuan tanah di Gambir, Jatinegara, dan Buitenzorg (Bogor), menghibahkan tanahnya kepada para Mardijker. Para Mardijker di-Kristenkan, termasuk suku Jawa, Bali, Bugis, dan Kalimantan ; para wanitanya dijadikan Gundik. Tuan Chalstelijn menghimpun para budak dari berbagai latar belakang ras ini agar seagama dengannya. Walhasil terbentuklah keluarga Mardijker di tanah Serengseng, Depok. Mereka beranak pinak hingga melahirkan keturunan Mardijker, para "bule Depok".
Tuan Chalstelijn memang bijak. Namun, kaum mardijker tetaplah berstatus dimerdekakan. Diatur bagaimanapun, mereka sebenarnya dalam posisi terjajah. Seperti halnya terlihat bagaimana VOC memberdayakan keturunan Mardijker ini sebagai serdadu. Pakaian harus seperti orang Portugis dan diharuskan berbahasa Kreol (campuran Portugis). Atribut ini dicipta sebagai identitas mereka.
Atribut bentukan kolonialisme macam ini galibnya pembentuk mentalitas dan kesadaran identitas sebagai "sekumpulan manusia" yang dialienasikan, sehingga ruang geraknya terkungkung dalam kehilamgan eksistensi identitasnya sebagai yang berstatus dimerdekakan. Misalnya kebijakan Passenstelsel (surat jalan) terapan Pemerintah Hindia Belanda, yang mana di jalanan para Mardijker ini harus mengangkat tangan sembari mengucap "Mardijker" sebagai penunjuk statusnya. Kekonyolan kolonialisme memaksakan kesadaran identitas semacam ini sebetulnya sengaja membangun mental dan keberadaan diri para Mardijker sebagai yang termarjinalkan dalam kehidupan sosial.
Itulah yang membuat para Mardijker hilang kepercayaan diri, minder, dengan identitas yang dilabelisasi sejalan dengan status mereka sebagai yang dimerdekakan itu. Sebagai serdadu Kerajaan Belanda, KNIL, pada masa revolusi fisik, para Mardijker dicap loyal kepada Belanda. Malah orang pribumi seperti Raden Abdoelkadir Widjojoatmodjo, Kolonel KNIL asala Jawa, juga menjadi perwakilan Belanda dalam Perjanjian Renville tahun 1948.
Paska Pengakuan Kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949, para Mardijker ini ditawarkan pilihan menjadi WNI atau bermukim di Belanda. Namun, kecurigaan dan suasana Xenophobia masyarakat Indonesia sudah tersemai : Mardijker lebih loyal kepada Belanda. Itulah kenapa sebagian dari mereka memilih menjadi warga negara Belanda karena khawatir dengan statusnya jika memilih Indonesia. Mentalitas nyaman dan aman menjadi Belanda lebih pada turunan konstruksi masa lalu : Mardijker yang dimerdekakan Belanda.
Kisah macam Mardijker itu ada dalam kronik Indonesia Merdeka. Minoritas seperti mereka sebenarnya adalah juga bagian dari Indonesia yang berhak memiliki Indonesia. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, sebagian dari mereka seakan kehilangan induk dan minder menyadari posisinya dalam lingkungan masyarakat Indonesia. Ikatan emosional yang tercerabut dari akarnya.
Akar ikatan emosional itu dicipta melalui kebhinekaan produk kolonialisme. Kisah tuan Chalstelijn yang berjaa menghimpun orang-orang pribumi dari beragam suku sekilas bagaikan konseptor Bhinneka Tungga Ika. Seperti halnya kebhinekaan ideal Indonesia yang sering diusik penyakit : krisis nasionalisme, rasa memiliki Indonesia. Kita patut waspada sebab Indonesia kini sering kali sakit oleh ancaman disintegrasi : kesukuan, agama, partai politik ....
Pemeo "Indonesia belum merdeka" yang sering kali disuarakan mungkin sekilas seperti semunya kemerdekaan para Mardijker. Semu, karena dibalik pemerdekaan mereka itu, kekuasaan politik sebenarnya menjajah mereka. Namun tentu saja, kemerdekaan Indonesia janganlah disamakan dengan kaum Mardijker yang (di) merdeka (kan) itu.
Di balik kata "Mardijker" yang konon derivasi kata "merdeka", semoga "mentalitas terjajahnya" tidak hidup pada bangsa ini. Tidak minder menjadi Indonesia, seperti keminderan kaum Mardijker itu. Tentunya tidak. Semoga saja. (Disadur dari tulisan Fadly Rahman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar