Selasa, 29 September 2009

POLITIK BERAS KERAJAAN MATARAM ( TULISAN PERTAMA )

Sudah sejak lama beras digunakan sebagai komoditas politik. Catatan yang lengkap soal itu setidaknya diketahui semasa Kerajaan Mataram, abad ke-16 - 18 Masehi. Para raja yang berkuasa menyadari beras merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik. Jika terjadi masalah dengan produksi beras, pasti ada pula masalah dengan kekuasaan. Sebaliknya, kerajaan dan raja akan diagung-agungkan bila masalah beras bisa dikendalikan.
Harta, wanita, dan takhta. Tiga hal itulah yang sangat menonjol bila kita membaca dan mendalami Babad Tanah Jawi. Dari awal hingga akhir teks babad, ketiga hal itu selalu ada. Meski demikian, secara parsial dan terpisah-pisah, kita bisa meneliti berbagai aspek yang ada di Kerajaan Mataram, di luar ketiga masalah itu, seperti politik beras dan politik pangan.
Buku
Babad Tanah Jawi yang digunakan untuk membahas politik beras Kerajaan Mataram adalah babad berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh yayasan Lontar. Buku itu hasil penerjemahan Babad tanah Jawi yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1939. Babad ini disusun oleh Raden Ngabehi Yasadipura. Teks ini bertembang macapat dan beraksara Jawa. Penggunaan teks berbahasa Indonesia bisa memunculkan perdebatan karena transliterasi akan memunculkan "jarak" dengan naskah asli.
Pemilihan babad sebagai sumber kajian juga memunculkan perdebatan karena tidak sedikit mengandung mitos dan dongeng. Meski demikian, sejarawan H.J. De Graf berpendapat yang tertulis di
Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai 1800-an.
Sejak awal berdirinya Kerajaan Mataram, beras telah menjadi komoditas politik. Keamanan pasokan beras merupakan salah sendi penyokong kekuasaan Ki Ageng Pemanahan, pendiri Kerajaan Mataram Islam. Pada mulanya, Ki Ageng Pemanahan mengalah mendapat tanah Mataram yang disebutkan masih berwujud hutan ketika mendirikan Mataram dibandingkan dengan daerah lain yang subur. Berkat kepemimpinannya Mataram bisa diubah menjadi kawasan pertanian. Mataram menjadi negeri yang makmur, banyak orang yang datang, sandang pangan murah dan sawah berlimpah.

Apabila penguasa jaman sekarang menggunakan indikator ekonomi, penguasa jaman dulu menggunakan beras sebagai indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran. Sebaliknya, tanda-tanda keruntuhan sebuah rezim juga selalu terkait dengan morat-maritnya pasokan pangan.
Serbuan pasukan Trunajaya dari Madura mengakibatkan Mataram porak poranda. Raja Amangkurat I terpaksa mengungsi hingga wafat. Situasi ini ditandai dengan banyak punggawa kekurangan pangan. Ketika itu hujan belum turun sehingga pangan sangat kurang. Negeri Mataram menjadi negeri yang amat menyedihkan.

Persoalan beras juga menjadi persoalan kewibawaan rezim berikutnya. Masa awal Raja Amangkurat II ketika kerajaan berpindah ibu kota ke Kartasura dirundung oleh masalah kewibawaan karena tak mampu menyediakan beras murah.
Dalam Babad Tanah Jawi itu disebutkan sang raja dirundung kesusahan karena banyak prajurit kecil yang sakit demam. Masalah bertambah lagi, harga pangan sangat mahal. Raja memandang harga pangan yang mahal akan mengakibatkan ia dipandang hina oleh rakyatnya. Kalau situasi tidak pulih, kerajaan akan dipandang rendah.
Adik Amangkurat II, yaitu Pangeran Puger, kemudian melakukan langkah yang kurang lebih kalau sekarang seperti memantau pasar dan kondisi masyarakat. Ia kemudian berganti busana, dari busana kraton ke busana rakyat jelata. Ia menyamar sebagai santri. Puger masuk keluar pasar dan mengemis beras di pasar. Ia juga mendekati pasukan yang diketahui hanya makan gadung dan ubi sebagai pengganti nasi. Puger juga melihat petani yang bersusah payah, tetapi tidak dapat menikmati hasilnya.
Setelah memantau pasar, kemudian ia berdoa. Puger mendapat jalan untuk membuat harga pangan di negerinya kembali murah. Ia berkeliling ke semua pasar untuk menetapkan harga beras yang terbeli oleh masyarakt. Empat puluh hari setelah upaya itu, harga beras kembali murah.
Petani tenang hatinya. Negeri Kartasura telah pulih. Sandang pangan kembali murah.
Di samping fungsi beras dalam konteks stabilitas politik, ramalan-ramalan munculnya kekuasaan juga selalu terkait dengan beras. Kemunculan Raden Mas Said, yang lalu menjadi Mangkunegoro I, disebutkan, bila ia tidak berkuasa, rezeki tanah Jawa akan berkurang. Akibatnya, orang Jawa tidak bisa makan karena tidak ada beras.
Penentuan letak pusat kerajaan juga mempertimbangkan pasokan beras. Saat VOC melalui Mayor JAB Van Hohendorff menyarankan kraton dipindah dari Kartasura ke desa Sala yang kemudian bernama Surakarta Hadiningrat, salah satu perhitungan pemilihan lokasi itu adalah kemudahan pasokan beras. Hohendorff mengatakan, ia memperkirakan, kalau di tempat itu berhasil dibangun negeri, padi dan beras tidak akan mahal lagi. Meskipun sawah di tempat itu tidak lagi menghasilkan, tetapi hasil dari Ponorogo pasti akan mengalir ke tempat itu.

Beras juga digunakan sebagai bagian dari strategi perang. Jauh sebelum Sultan Agung menyerbu Batavia, penaklukan sejumlah daerah oleh Mataram, seperti sejumlah kadipaten di wilayah timur, selalu memperhitungkan pasokan pangan bagi pasukan yang hendak menyerbu ; di samping pengetahuan tentang jalan yang memadai. Pasukan rahasia selalu diminta mencari daerah yang rata, aman, dan beras murah sebelum mereka melakukan penyerbuan. Perhitungan tempat yang dijadikan penyangga pangan selalu dilakukan. Jepara salah satu contoh yang dijadikan tempat untuk penyangga pangan.
Taktik isolasi pasokan logistik juga dilakukan sebagai bagian untuk menaklukan lawan. Pasukan Mataram mengisolasi musuh dari pasokan pangan sehingga musuh hanya makan seadanya akibatnya mereka terserang penyakit. Hal ini dilakukan ketika mengepung pasukan yang berasal dari timur. pasukan lawan tidak lagi makan nasi, tetapi bonggol pisang, umbi kunci, dan makanan yang tidak layak karena pasokan makanan ditutup. Pasukan timur itu mengalamai demoralisasi sehingga malah berkelahi dan saling bunuh.

Cara ini kembali dilakukan ketika penguasa Mataram berkonflik dengan VOC di kartasura. Untuk melawan VOC yang berada di loji, mereka mengisolasi loji hingga pasukan VOC kekurangan beras. Pasukan mereka lesu. Komandan pasukan VOC kemudian memilih menyerah hingga bisa mendapat pasokan pangan.

Jumat, 18 September 2009

MISTERI PEMBONGKARAN GEDUNG PROKLAMASI

Tanggal 17 Agustus 2009 lalu kita bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan ke-64 Indonesia. Peringatan ini mengacu kepada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, di rumah Bung Karno. Di teras depan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta itulah Bung Karno, didampingi Bung Hatta, mengumumkan kepada dunia kemerdekaan Indonesia.
Sayangnya, rumah di jalan Pegangsaan Timur itu - sekarang jalan Proklamasi - sudah tidak ada lagi. Presiden Soekarno membongkar sendiri bangunan yang disebut Gedung Proklamasi itu pada tahun 1960.
Bung Karno tinggal di rumah itu sejak awal jaman Jepang tahun 1942. Ia tinggal di sana hingga awal Januari 1946. Setelah itu, Bung Karno, juga Bung Hatta, sebagai presiden dan wakil presiden, mengungsi dan tinggal di Jogjakarta karena keadaan di Jakarta semakin genting akibat masuknya NICA yang diboncengi tentara Belanda yang mau berkuasa lagi di Indonesia. Rumah itu selanjutnya ditempati Mr. Soetan Syahrir. Soetan Syahrir sebagai Perdana Menteri RI sering pulang balik Jakarta - Jogjakarta.
Ada kisah menarik kenapa Bung Karno sampai tinggal di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Menurut pengamat bangunan cagar budaya Jakarta, Bambang Eryudhawan, waktu itu Bung Karno sebenarnya ingin juga memiliki rumah di daerah Menteng seperti para pemimpin nasional lainnya. Mereka langsung menempati rumah-rumah di daerah elite tersebut setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jepang.
Namun, Bung Karno terlambat datang ke Jakarta dari Bengkulu, tempat dia dibuang Belanda. Sementara para pemimpin perjuangan kemerdekaan lain sudah berada di Jakarta saat Belanda menyerah kepada Jepang pada bulan Maret 1942. Bung Karno dan Ibu Fatmawati baru tiba di Jakarta bulan Juli 1945. Ia tidak kebagian rumah di Menteng dan harus puas dengan jatah rumah di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, yang berada di luar wilayah Menteng. "Namun, Bung Karno tak pernah menyatakan kekecewaanya. Ia bilang, ia senang dengan rumah itu karena mempunyai halaman yang luas".
Sebelumnya, rumah itu milik warga keturunan Belanda bernama Baron Van Asbeck yang mungkin ikut ditawan Jepang. Pada masa akhir jaman kolonial, di rumahnya itu Baron Van Asbeck konon sempat menerima indekos, mondok, beberapa mahasiswa Indonesia. Salah satu diantaranya Moehammad Yamin yang kemudian juga jadi tokoh perintis kemerdekaan.
Saat hadir dalam sidang pleno istimewa Dewan Perancang Nasional (Depernas), 13 Agustus 1960, Presiden Soekarno menyatakan kehendaknya mendirikan Tugu Proklamasi di titik tempat Soekarno-Hatta berdiri saat memproklamasikan kemerdekaan. Untuk itu, Gedung Proklamasi harus dibongkar dan lahannya dijadikan bagian dari taman yang ditengah-tengahnya menjulang Tugu Proklamasi setinggi 17 meter, yang rencananya akan terbuat dari perunggu.. Dikatakan pula, Tugu Proklamasi yang lama, yang sudah berdiri sejak tahun 1946 harus ikut dibongkar untuk digantikan dengan Tugu Proklamasi "yang sebenarnya".
Tugu lama yang dimaksud adalah Tugu Peringatan Satu Tahun Republik Indonesia yang dibangun atas prakarsa Jo Masdani (waktu kecilnya, ia sering bermain-main di halaman rumah jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta sepulangnya dari sekolah) dan para perempuan lain perintis kemerdekaan, seperti Maria Ulfah dan Setyati. Mereka memprotes gagasan pembongkaran tugu yang dianggap sebagai lambang darma bakti wanita Indonesia. Namun, Presiden Soekarno tidak pernah membalas surat protes yang dikirim Jo Masdani dan kawan-kawan.
Bung Karno bersikukuh pada keputusan untuk membongkar Gedung Proklamasi, katanya, di bekas lokasinya akan dibangun gedung yang indah dan megah, sesuai dengan martabat bangsa Indonesia yang besar. Secara lisan, ia memerintahkan Gubernur Soemarmo membongkar Gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta dan Tugu Proklamasi. Keduanya sudah harus rata dengan tanah sebelum tanggal 1 Januari 1956.
Setelah Gubernur Sumarmo melaksanakan perintah lisan tersebut, di tempat itu Bung Karno pada 1 Januari 1946 meresmikan dimulainya pembangunan Tugu Proklamasi, yang lalu dikenal warga Jakarta sebagai Tugu Petir. Tak seperti dibayangkan sebelumnya, tugu itu tak bisa dibilang indah. Hanya berbentuk tiang bulat tinggi yang di puncaknya bertenger lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di bawah tugu itu kemudian dicantumkan tulisan : "Di sinilah Dibacakan Proklamasi pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".
beberapa puluh meter di belakang Tugu Petir lalu dibangun gedung berlantai enam, yang arsitekturnya berkesan biasa-biasa saja. Pembangunan gedung itu dimaksud sebagai tanda dimulainya program "Pembangunan Nasional Semesta Berencana". Warga Jakarta mengenalnya sebagai Gedung Pola, yang ini menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan.
Gedung Proklamasi yang bersejarah musnah sudah. Keasrian tamannya yang luas pun ikut terkubur dengan dibangunnya Monumen Pahlawan Proklamasi Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta. Monumen megah yang diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal 17 Agustus 1980 itu menjadi struktur paling mencolok di atas lahan bekas tempat tinggal Bung Karno tersebut.
Satu-satunya monumen yang masih terkait langsung dengan zaman Revolusi adalah Tugu Peringatan Satu Tahun Republik Indonesia. Setelah ikut jadi korban Bung Karno, monumen sejarah itu dibangun kembali di jaman gubernur DKI Ali Sadikin dan diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1972.
Sulit dipahami kenapa Bung Karno tega menghancurkan rumah bekas tempat tinggalnya sendiri, yang seharusnya juga menjadi bangunan paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Presiden RI pertama itu dikenal sebagai tokoh yang menghargai sejarah. Siapa tidak kenal pada ucapannya "Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah", yang sering disingkat Jasmerah.
Sampai wafatnya, Juni 1970, Bung Karno tidak pernah menjelaskan apa alasan yang mendorongnya untuk membongkar gedung di jalan Pegangsaan timur 56 Jakarta tersebut. namun, astronom senior, Bambang Hidaat, mengatakan, penghancuran Gedung Proklamasi dilakukan Bung Karno mungkin akibat bujukan kaum "kiri" yang ingin menggantinya dengan bangunan lain yang lebih sosialistis. Hal itu ia dengar dari Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) Jendral Soewarto saat berceramah di ITB Bandung akhir Oktober 1965, sebulan setelah peristiwa G 30 S PKI. "Saya tidak tahu kebenarannya tetapi memang waktu itu merupakan periode untuk menenggelamkan karakter Soekarno," tutur Bambang yang merupakan pensiunan Guru Besar ITB Bandung.
Dalam buku "Sejarah Tugu Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia" juga disebutkan, pembongkaran tugu itu - dan juga Gedung Proklamasi-berkaitan dengan maksud PKI untuk menghilangkan bukti-bukti peninggalan sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengganti tanggal 17 Agustus 1945 dengan tanggal 1 Oktober 1965 jika mereka berhasil merebut kekuasan lewat kudeta.
Sayang, kebenaran hal tersebut belum dapat dipastikan. Dengan begitu, alasan sesungguhnya dari pembongkaran Gedung Proklamasi masih tetap menjadi misteri sampai saat ini, delapan windu setelah Dwitunggal Soekarno - Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ( Disadur dari tulisan Mulyawan Karim).

Senin, 14 September 2009

MARDIJKER dan MERDEKA

Merdeka adalah persoalan eksistensi. Salah satunya, eksistensi manusia yang menyadari kediriannya sebagai bagian dari sebuah bangsa. Lalu, apa hakikat bangsa Indonesia yang merdeka ?
Kita mesti memahami jika melongok sejarah bangsa ini sebagai yang pernah terjajah selama lebih kurang 3,5 abad lamanya. Pada masa panjang kolonialisme itu, selain memuat banyak kisah derita kemanusiaan, embrio kita sebagai sebuah "bangsa" pun turut dibangun. Kesadaran sebagai sebuah bangsa, sebagaimana dikatakan Benedict Anderson dalam Imagined Communities, hakikatnya adalah "sesuatu yang terbayang"; dus pengertian bangsa yang dimaksud pada masa kini jika dibenturkan dengan realitas masa lampau boleh jadi menjadi tumpukan (akumulasi) yang "membayangi" masa kini.
Hal ini mengingatkan pada kaum Mardijker. Mereka mulanya adalah kaum Moor dari India dan Afrika yang datang dari Malaka, ikut bersama-sama kapal Portugis ke Batavia. Selain Moor, orang-orang pribumi dari Sulawesi, Bali, dan Melayu pun kemudian digolongkan sebagai Mardijker pula. Para Mardijker inipun dikonversi menjadi penganut Katholik, agamanya orang Portugis. Mereka banyak menetap di wilayah Batavia.
Seiring jatuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, Belanda mengambil alih kekuasaan hingga didirikannya maskapai dagang Belanda VOC pada tahun 1662. Lalu, bagaimana nasib kaum Mardijker? Di bawah kuasa Belanda, mereka dimerdekakan, dibebaskan. "Merdeka." di sini adalah pengertian teologis ketika mereka dibebaskan setelah dikonversi dari Katholik menjadi Protestan. mardijker yang berarti merdeka berarti juga terbentuknya identitas. Dengan terbentuknya identitas, terbangun ikatan emosional sebagai kesatuan manusia Mardijker. Riwayatnya berkembang dengan status yang dimerdekakan. Adakah sebenarnya mentalitas mereka ini sebagai yang terjajah ?
Sebuah kisah di batavia tahun 1715. Cornelis Chalstelijn, seorang tuan tanah di Gambir, Jatinegara, dan Buitenzorg (Bogor), menghibahkan tanahnya kepada para Mardijker. Para Mardijker di-Kristenkan, termasuk suku Jawa, Bali, Bugis, dan Kalimantan ; para wanitanya dijadikan Gundik. Tuan Chalstelijn menghimpun para budak dari berbagai latar belakang ras ini agar seagama dengannya. Walhasil terbentuklah keluarga Mardijker di tanah Serengseng, Depok. Mereka beranak pinak hingga melahirkan keturunan Mardijker, para "bule Depok".
Tuan Chalstelijn memang bijak. Namun, kaum mardijker tetaplah berstatus dimerdekakan. Diatur bagaimanapun, mereka sebenarnya dalam posisi terjajah. Seperti halnya terlihat bagaimana VOC memberdayakan keturunan Mardijker ini sebagai serdadu. Pakaian harus seperti orang Portugis dan diharuskan berbahasa Kreol (campuran Portugis). Atribut ini dicipta sebagai identitas mereka.
Atribut bentukan kolonialisme macam ini galibnya pembentuk mentalitas dan kesadaran identitas sebagai "sekumpulan manusia" yang dialienasikan, sehingga ruang geraknya terkungkung dalam kehilamgan eksistensi identitasnya sebagai yang berstatus dimerdekakan. Misalnya kebijakan Passenstelsel (surat jalan) terapan Pemerintah Hindia Belanda, yang mana di jalanan para Mardijker ini harus mengangkat tangan sembari mengucap "Mardijker" sebagai penunjuk statusnya. Kekonyolan kolonialisme memaksakan kesadaran identitas semacam ini sebetulnya sengaja membangun mental dan keberadaan diri para Mardijker sebagai yang termarjinalkan dalam kehidupan sosial.
Itulah yang membuat para Mardijker hilang kepercayaan diri, minder, dengan identitas yang dilabelisasi sejalan dengan status mereka sebagai yang dimerdekakan itu. Sebagai serdadu Kerajaan Belanda, KNIL, pada masa revolusi fisik, para Mardijker dicap loyal kepada Belanda. Malah orang pribumi seperti Raden Abdoelkadir Widjojoatmodjo, Kolonel KNIL asala Jawa, juga menjadi perwakilan Belanda dalam Perjanjian Renville tahun 1948.
Paska Pengakuan Kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949, para Mardijker ini ditawarkan pilihan menjadi WNI atau bermukim di Belanda. Namun, kecurigaan dan suasana Xenophobia masyarakat Indonesia sudah tersemai : Mardijker lebih loyal kepada Belanda. Itulah kenapa sebagian dari mereka memilih menjadi warga negara Belanda karena khawatir dengan statusnya jika memilih Indonesia. Mentalitas nyaman dan aman menjadi Belanda lebih pada turunan konstruksi masa lalu : Mardijker yang dimerdekakan Belanda.
Kisah macam Mardijker itu ada dalam kronik Indonesia Merdeka. Minoritas seperti mereka sebenarnya adalah juga bagian dari Indonesia yang berhak memiliki Indonesia. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, sebagian dari mereka seakan kehilangan induk dan minder menyadari posisinya dalam lingkungan masyarakat Indonesia. Ikatan emosional yang tercerabut dari akarnya.
Akar ikatan emosional itu dicipta melalui kebhinekaan produk kolonialisme. Kisah tuan Chalstelijn yang berjaa menghimpun orang-orang pribumi dari beragam suku sekilas bagaikan konseptor Bhinneka Tungga Ika. Seperti halnya kebhinekaan ideal Indonesia yang sering diusik penyakit : krisis nasionalisme, rasa memiliki Indonesia. Kita patut waspada sebab Indonesia kini sering kali sakit oleh ancaman disintegrasi : kesukuan, agama, partai politik ....
Pemeo "Indonesia belum merdeka" yang sering kali disuarakan mungkin sekilas seperti semunya kemerdekaan para Mardijker. Semu, karena dibalik pemerdekaan mereka itu, kekuasaan politik sebenarnya menjajah mereka. Namun tentu saja, kemerdekaan Indonesia janganlah disamakan dengan kaum Mardijker yang (di) merdeka (kan) itu.
Di balik kata "Mardijker" yang konon derivasi kata "merdeka", semoga "mentalitas terjajahnya" tidak hidup pada bangsa ini. Tidak minder menjadi Indonesia, seperti keminderan kaum Mardijker itu. Tentunya tidak. Semoga saja. (Disadur dari tulisan Fadly Rahman)

Selasa, 01 September 2009

PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945 (TULISAN KELIMA : HABIS )

Pada pukul 05.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin Indonesia dari golongan tua maupun muda keluar dari rumah Laksamana Maeda. Mereka pulang ke rumah mereka masing-masing setelah berhasil merumuskan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia semalam suntuk. Mereka telah mencapai kesepakatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB di rumah Ir. Soekarno, yaitu di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Sebelumnya Drs. Moehammad Hatta telah berpesan kepada para pemuda yang bekerja di kantor berita dan pers, terutama Boerhanoeddin Moehammad Diah (B.M. Diah) untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Pukul 10.00 WIB rumah Ir. Soekarno telah dipadati sejumlah massa pemuda yang berbaris dengan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan proklamasi kemerdekaan, dr. Moewardi (kepala keamanan Ir. Soekarno) meminta kepada Coedanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan anak buahnya menjaga rumah Ir. Soekarno, sedangkan wakil walokota Jakarta Soewirjo memerintahkan Mr. Wilopo untuk mempersiapkan pengeras suara. Mr. Wilopo dan Nyonopranowo lalu pergi ke rumah Goenawan, pemilik Toko Radio Satria Jalan Salemba Tengah 24 Jakarta untuk meminjam mikrofon dan pengeras suara. Soediro (sekretaris Ir. Soekarno) memerintahkan S. Soehoed (Komandan Pengawal Rumah Ir. Soekarno) untuk menyiapkan tiang bendera. Soehoed lalu mencari sebatang bambu di belakang rumah. Bendera yang akan dikibarkan sudah dipersiapkan oleh Ny. Fatmawati Soekarno. Menjelang pukul 10.00 WIB para pemimpin bangsa Indonesia mulai berdatangan ke lokasi upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tampak antara lain Mr. A.A. Maramis, Ki Hajar Dewantara, Dr. G.S.S.J Ratoelangi, K.H. Mas Mansoer, Mr. Sartono, M. Tabrani, A.G. Pringgodigdo, dan sebagainya. Adapun susunan acara yang telah dipersiapkan dalah sebagai berikut :
  1. Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
  2. Pengibaran Bendera Merah Putih
  3. Sambutan Walikota Soewirjo dan dr. Moewardi
Lima menit sebelum acara dimulai Bung Hatta datang dengan berpakaian putih-putih. Setelah semuanya siap, Latief Hendraningrat memberikan aba-aba kepada seluruh barisan pemuda dan merekapun kemudian berdiri tegak dengan sikap sempurna. Selanjutnya Latief Hendraningrat mempersilahkan Bung karno dan Bung Hatta. Dengan suara yang mantap Bung Karno mengucapkan pidato pendahuluan singkat "saudara-saudara sekalian, saya telah meminta saudara-saudara hadir untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah bangsa kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun gelombang aksi kita untu mencapai kemerdekaan itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak ada henti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya kita tetap menyusun tenaga kita sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan Tanah Air kita dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia. Permusyawaratan itu telah seiya sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang waktunya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara, dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarlah Proklamasi kami :
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 'o5
Atas Nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta

Demikianlah saudara-saudara kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat Tanah Air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara merdeka negara Repoeblik Indonesia merdeka, kekal dan abadi, Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. S. Soehoed mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatkannya pada tali dengan bantuan Coedanco Latief Hendraningrat. Bendera dinaikkan pelan-pelan. Tanpa dikomando, para hadirin spontan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Banyak yang terharu dan menitikkan air mata karena setelah berjuang ratusan tahun untuk merdeka, hari itu bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Setelah pengibaran bendera selesai acara yang terakhir adalah sambutan Walikota Jakarta Soewirjo dan dr. Moewardi. Demikianlah sejarah singkat Proklamasi kemerdekaan Indonesia. (Gunawan, dari berbagai sumber)