Rabu, 15 Oktober 2014

PAKUAN, KOTA TUA YANG HILANG ( 2 )

Kota Pakuan, menurut historiografi Sunda dijadikan pusat  Kerajaan Sunda oleh Maharaja Tarusbawa (669-723 M). Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa Sri Baduga Maharaja berkuasa (1482-1521 M). Dalam tradisi Cirebon, Sri Baduga identik dengan Prabu Siliwangi. Masa mudanya bernama Jayadewata. Ia adalah cucu Prabu Wastukancana (1371-1475 M) yang bertahta di Galuh, daerah yang kini termasuk kabupaten Ciamis. Wilayah kekuasaannya sangat luas meliputi hampir seluruh pulau Jawa. Sebelum meninggal, Wastukencana membagi wilayahnya kepada kedua putranya yang masing-masing dibatasi Sungai Citarum.
Kerajaan Sunda yang terletak di barat diserahkan kepada Susuktunggal (1382-1482 M). Kerajaan Galuh yang berada di timur Sungai Citarum diserahkan kepada Dewaniskala (1475-1482). Ia memilih pusat pemerintahannya di Kawali, daerah yang terletak sekitar 15 km arah kota Ciamis sekarang.
Kedua bersaudara yang berasal dari lain ibu ini hampir saja terlibat konflik karena Dewaniskala melanggar pantangan berat. Perselisihan itu berhasil diakhiri setelah keduanya sepakat turun tahta. Tahta Galuh diserahkan kepada Jayadewata dengan gelar Prabu Dewataprana. Karena menikah dengan Kentring Manik Mayang Sunda, putri Susuktunggal, untuk keduakalinya ia dinobatkan menjadi raja Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharadiraja. Praktis sejak itu kedua kerajaan yang sebelumnya terpisah berhasil dipersatukan kembali.
Sebagaimana mertuanya, Sri Baduga memilih Pakuan sebagai pusat pemerintahannya. Dalam Babad Pajajaran disebutkan, wilayah Pakuan terbagi dua, yakni dalem kitha (kota dalam) dan jawi khita (kota luar). Secara keseluruhan, lokasi kratonnya tidak dilindungi oleh tembok benteng buatan sebagaimana Kraton Mataram dan kraton lain pada umumnya. Meski demikian, benteng Pakuan tidak kalah tangguh. Kota ini diapit oleh dua sungai besar, Ciliwung dan Cisadane, yang di bagian tengahnya mengalir Sungai Cipakancilan.

Kamis, 31 Juli 2014

PAKUAN, KOTA TUA YANG HILANG ( 1 )

Kota Pakuan pada masa lalu merupakan pusat kerajaan Sunda Pajajaran. Namun, dimanakah lokasi bekas kraton tempat raja-raja Sunda bertahta selama lebih dari sembilan abad lamanya ? Kurun waktu yang sangat panjang tersebut tidak mudah dilacak bekas-bekasnya. Pakuan kini sudah berubah menjadi kota Bogor.

Nasib kota tua itu jauh berbeda dibandingkan Trowulan sebagai pusat kerajaan Majapahit. Apalagi dibandingkan kota Romawi Kuno, Pompeii, di Italia selatan yang berhasil diketemukan kembali pada tahun 1748 setelah terkubur selama lebih dari 16,5 abad akibat letusan dahsyat gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi.

Di atas lokasi bekas kota tua tersebut, satu-satunya yang tersisa dan menjadi tonggak bukti keberadaan kerajaan Sunda Pajajaran hanyalah Prasasti Batutulis yang letaknya tidak jauh dari istana Batutulis. Batu prasasti itu merupakan persembahan pada upacara Srada oleh Prabu Surawisesa (1521-1535) setelah 12 tahun ayahandanya Sri Baduga, wafat. Selebihnya situs kota Pakuan hanya bisa direka-reka.

Secara fisik, kota itu sudah lama hilang bak hilang ditelan bumi. Bahkan, ketika orang-orang VOC melakukan ekspedisi pada akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18, mereka gagal menemukannya. Ekspedisi kompeni itu berlangsung beberapa kali, dilakukan oleh Scipio (1687), Adolf Winkler (1690), Ram dan Coups (1701), serta Abraham Van Riebeeck yang tiga kali melakukan ekspedisi pada tahun 1703, 1704, dan 1709.

Beruntung orang-orang Portugis yang sempat berkunjung ke Pakuan pada tahun 1512 dan 1522 sehingga mereka diduga merupakan orang asing pertama yang menjadi saksi. Di sana merek masih sempat menyaksikan kebesaran dan kemegahan/keindahan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang dijuluki Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Dalam laporannya disebutkan, ibukota Pakuan bisa dicapai setelah dua hari menyusuri sungai. Bangunan kratonnya berjejer dan menjulang tinggi, terbuat dari kayu yang ditopang dengan tiang-tiang sebesar drum, tampak indah berhiaskan relief-relief.

Kerajaan Pakuan Pajajaran sangat boleh jadi merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang menjalin kerjasama dengan bangsa lain. Utusannya dua kali berturut-turut mengunjungi Malaka yang saat itu dikuasai Portugis. tahun 1512 dan 1521. Pada tanggal 21 Agustus 1522, kedua pihak mengikat perjanjian di bidang pertahanan dan ekonomi meski hal itu tidak pernah terwujud. Bandar Kalapa yang menjadi pelabuhan utamanya berhasil direbut pasukan Cirebon dan Demak pada tahun 1527. Pasukan Portugis yang datang terlambat berhasil dihancurkan.

Senin, 30 Juni 2014

GAREBEG SEKATEN, MEDIA DAKWAH WALI SANGA DI TANAH JAWA ( 3 )

Seperti yang berlangsung di Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, setiap upacara Garebeg kedua penguasa Kraton itu memberikan sebuah hajad berupa Gunungan, terbuat dari jenis makanan dari ketan dilengkapi beberapa jenis sayuran (hasil bumi).
Bagi Kraton, hajad dalem berupa gunungan tersebut memiliki makna simbolis sangat mendalam, yaitu Sri Sultan maupun Sri Sunan masih merelakan harta kekayaan yang dimilikinya (divisualisasikan dengan Gunungan), diberikan atau dibagikan kembali kepada rakyatnya. Hal ini terlihat, setiap upacara Garebeg, hajad dalem berupa Gunungan diperebutkan atau dibagikan kepada masyarakat di halaman Masjid Besar.
Kembali peristiwa tempo dulu, di zaman kejayaan masing-masing kraton, masyarakat yang diwakili salah seorang pamong desa, setiap tahun asok bulu bekti ke kraton. Ujud bulu bekti itu beraneka ragam, namun sebagian besar berupa hasil pertanian (palawija) di masing-masing desanya. Karena ingin membalas budi baik kepada para kawula, pihak kraton kembali memberikan sesuatu yang disimbolisasikan lewat Gunungan.
Namun ada juga cerita yang menyatakan awalnya Grebeg merupakan sebuah prosesi upacara yang diselenggarakan pihak kraton untuk menangkal segala bencana yang dikhawatirkan akan mengguncang wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Pihak Kasultanan Yogyakarta dan masyarakat sekitarnya percaya, dengan diadakannya upacara ini, maka wilayahnya akan terhindar dari bencana ataupun petaka yang bisa mengancam kehidupan mereka. Acara ini menjadi upacara sakral yang sangat dinanti, untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Seprti diungkapkan Moch. Machin dalam majalah Penyuluh Agama No. 5 tahun 1959, gamelan Sekaten merupakan hasil karya Sunan Kalijaga. Pertama kali menciptakan sebuah Gong yang diberi nama Syahadatain. Semula hanya dibunyikan di halaman Masjid Demak, bertepatan dengan Maulud Nabi. Dicipta pertama kali hanya empat jenis, yaitu Kenong, Kempul, Kendhang, dan Genjur. Kenong berbunyi nong-nong-nong, dan sekarang ditambah bunyi Saron yang berbunyi ning-ning-ning. Kempul memiliki suara pung-pung-pung, Kendhang berbunyi ndang tak-ndang tak-ndang tak. dan Gong/Genjur bersuara ngguuuur.
Bila perangkat kecil Gamelan itu dibunyikan (ditabuh) bersamaan, akan mengumpulkan suara nong-ning (nong kana-nong kene) artinya di sana- di situ-di sini. Pung-Pung, mumpung-mumpung, mumpung masih hidup. Selanjutnya digabung dengan bunyi  kempul, pul-pul berarti segera kumpul ditambah suara Kendhang ndang tak-ndang tak (cepat atau segera), dan ditutup atau diakhiri dengan suara ngguuur, artinya agar segera njegur atau masuk Masjid atau masuk agama Islam. (Moelyono/Luthfie).

Sabtu, 31 Mei 2014

GAREBEG SEKATEN, MEDIA DAKWAH WALISANGA DI TANAH JAWA ( 2 )

Mungkin telah banyak diketahui kata "Sekaten" berasal dari bahasa Arab Syahadatain, artinya dua kalimah syahadah. Yang dimaksud dua kalimah syahadah ini adalah kalimah Asyhadu alla illallah atau "saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah" dan kalimah Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah yang artinya "saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah". 
Sedang simbolisasi syahadatain ini adalah dua perangkat gamelan hasil karya Sunan Kalijaga yang digunakan untuk mengundang orang-orang agar bisa berkumpul. Kedua gamelan itu dulu dibunyikan setiap peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Masjid Demak. Dua perangkat gamelan tersebut diberi nama Kanjeng Kiai Nawawilaga dan Kanjeng Kiai Gunturmadu atau lebih dikenal dengan sebutan Nyai Sekati dan Kiai Sekati.
Sedang "Garebeg" berasal dari Bahasa Jawa kuno garebeg, artinya mengikuti atau ndherekake, yaitu mengikuti miyos dalem, diantaranya para Gusti Bandara Pangeran, abdidalem sipat Bupati, dan beberapa abdidalem yang bertugas.
Di Kasultanan Yogyakarta, perayaan Sekaten ditunjang dengan berlangsungnya pasar malam di Alun-Alun Utara. Dan menjelang puncak upacara Grebegan, di halaman Keben Kraton Yogyakarta banyak pedagang kakilima menjajakan nasi gurih, telur merah, penjual sirih, dan sering terlihat juga penjual pecut.
Dulu setiap berlangsungnya keramaian itu, para kerabat Dalem juga keluar Kraton ikut menyempatkan diri membeli nasi gurih, makan sirih, dan sebagainya.
Menurut kepercayaan yang sampai sekarang masih dilakukan, konon bila memakan daun sirih (nginang), baik laki-laki maupun perempuan akan awet muda.
Sebenarnya hal tersebut hanya simbolisasi. Makan sirih (nginang), kelengkapannya berbagai jenis tumbuhan. Di samping sirih, ada gambir dan injet (adonan kapur). Dengan membiasakan diri memakan daun sirih, dengan sendirinya gigi akan awet, tidak mudah rusak akibat terkena campuran batu kapur. Tempo dulu, bila seseorang sudah lanjut usia namun bentuk giginya masih utuh dan nampak putih bersih, pasti dikatakan awet muda. Lain halnya makna sebut pecut. Yang tertarik membeli pecut berbarengan perayaan Sekaten, sebagian para petani. Konon, bila seorang petani penggarap sawah (penggaru atau ngluku) menggunakan pecut untuk mencambuk kerbau atau sapi yang digunakan untuk menggarap sawah, hewan tersebut akan bertambah kekuatannya dan tidak mudah capai. Dengan demikian, waktu untuk bekerja di sawah dapat lebih lama dan mendapat hasil lebih, seperti yang diharapkan.

Rabu, 30 April 2014

GAREBEG SEKATEN, MEDIA DAKWAH WALISANGA DI TANAH JAWA ( 1 )

Di empat bekas Kerajaan Islam, yaitu Yogyakarta, Surakarta, Demak, dan Cirebon setiap tiga kali dalam setahun diadakan suatu kegiatan yang disebut Sekaten (Di Cirebon namanya Panjang Jimat). Pasar malam merupakan rangkaian dari perayaan Sekaten. Perayaan Sekaten sendiri akan diawali dengan ditempatkannya dua perangkat Gamelan di halaman Masjid Gede untuk kemudian dibunyikan setiap hari. Puncaknya, pada 12 Maulud puncak upacara Garebeg Sekaten, yakni kelaurnya Hajad Dalem berupa Gunungan untuk diperebutkan di halaman Masjid Gede.
Sebenarnya, Garebeg sudah diselenggarakan sejak jaman Kerajaan Islam Demak. Dilestarikan keberadaannya pada jaman Mataram di bawah kekuasaan Panembahan Senopati, sampai era pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Sampai saat ini, Garebeg dilaksanakan tiga kali dalam setahun, yakni setiap awal bulan Syawal, tanggal 10 bulan Besar (Idul Adha) dan tanggal 12 bulan Maulud (bertepatan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Karena itu Garebeg Maulud pelenggaraannya agak berbeda. Sebelumnya diramaikan dengan perayaan Sekaten. 
Berbicara soal Upacara Garebeg Maulud, tidak bisa lepas dari Sunan Kalijaga. Karena upacara tradisional ini merupakan prakarsa beliau. Atas prakarsa Sunan Kalijaga dulu setiap tahun bertepatan dengan peringatan Maulud, di halaman Masjid Demak diselenggarakan Tabligh Akbar oleh para Wali. Tabligh ini berkaitan dengan peringatan maulud Nabi besar Muhammad SAW. Kegiatan tersebut sekaligus diperuntukkan musyawarah para Wali.
Dalam kegiatan tersebut, di salah satu sudut halaman Masjid ditempatkan seperangkat Gamelan hasil karya Sunan Kalijaga. Sedang dibagian lain, dihias dengan dekorasi menarik seperti layaknya orang berpesa atau seperti Pasar malam. Orang yang ingin menyaksikan perayaan tersebut harus lewat sebuah Gapura (pintu gerbang) yang dikatakan sebagai pintu pengampunan. Seperti diuangkapkan Umar Hasyim dalam bukunya "Sunan Kalijaga", kata Gapura berasal dari bahasa Arab Ghofuro, artinya memberi ampun. Orang yang melewati pintu gerbang hendaknya membaca kalimah Syahadat, artinya sudah masuk agama Islam.
Setelah serambi dan halaman Masjid dipadati pengunjung, upacara dimulai dengan diperdengarkan bunyi Gamelan, diiringi irama gending-gending dakwah. pada kesempatan ini para Wali mulai memberikan dakwah perihal kebenaran Agama Islam.

Jumat, 28 Maret 2014

HARRY A. POEZE, 36 TAHUN BERBURU JEJAK TAN MALAKA ( 3 )

Kesempatan menuntaskan misteri Tan Malaka datang tahun 1997 saat Poeze mendapat Sabbathical Leave selama setahun, yang digunakan untuk menulis buku. Bab I, Tan Malaka Verguisd en Vergeten ternyata memerlukan waktu sepuluh tahun untuk diselesaikan, setebal 2.200 halaman.
Poeze menemui pula tokoh-tokoh pada hari-hari terakhir Tan Malaka. Dia berkeliling ke beberapa pedesaan di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur, tempat Tan Malaka bergerilya melawan Belanda.
Napak tilas ditempuhnya di Desa Belimbing yang menjadi markas dan pusat propaganda Tan Malaka bersama 50 anak buahnya. Desa Patje, tempat Tan Malaka ditahan pasukan Divisi Brawijaya pun dia sambangi.
Tempat terakhir Desa Selo Panggung yang menjadi puncak riset Poeze adalah tempat Tan Malaka ditembak mati pasukan Batalyon Sikatan pimpinan Letnan Dua Soekotjo, Tan Malaka tewas pada tanggal 21 Februari 1949.
"Bahkan tubuhnya tak diperlakukan layak. Untung Menteri Bachtiar Chamsyah berjanji mengirim tim forensik ke Desa Selo Panggung untuk mencari sisa jenazah Tan Malaka. Beliau bernasib tragis sebagai Pahlawan Nasional yang namanya timbul tenggelam dalam sejarah, karena keberadaan dia tergantung pada kepentingan penguasa, "tutur Poeze.
Fakta sejarah itu dipersembahkan Poeze untuk masyarakat Indonesia lewat buku yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebanyak enam jilid. Bagi Poeze, Tan Malaka adalah sosok pemimpin kerakyatan yang ideal bagi generasi sekarang.
Harta yang ditinggalkannya hanya sepasang kemeja, topi, celana, tongkat, pensil, dan buku tulis - benda yang menjadi andalan baginya untuk menulis sejarah. Tan Malaka membuktikan harta terbesar sebuah bangsa adalah kekayaan pemikiran yang disajikan lewat guratan pena. (Iwan Santosa)

Selasa, 04 Februari 2014

HARRY A. POEZE, 36 TAHUN BERBURU JEJAK TAN MALAKA ( 2 )

Penelusuran awal itu menjadi dasar skripsi Poeze. Materi itu juga menjadi bahan penulisan buku Dari Penjara Ke Penjara. Poeze lalu melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 hingga S-3. Tan Malaka, yang menurut Poeze adalah "Che Guevara", menjadi obyek penelitiannya.
Penelusuran lebih lanjut dilakukannya di Eropa, Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Arsip di Moskwa, Uni Sovyet, pelbagai kota di Australia seperti Sydney dan Canmerra, serta Washington DC, Amerika Serikat menjadi sumber penelitian.
Arsip Tan Malaka sebagai salah satu tokoh penting tercatat baik di Amerika Serikat dan Australia karena dua negara tersebut menjadi mediator perundingan Belanda-Indonesia pada pasca kemerdekaan.
Setelah menyelesaikan disertasi tahun 1976, Poeze mengunjungi Indonesia dan membangun kontak di Jakarta. Namun misteri Tan Malaka paska Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 masih tertutup kabut gelap.
Kesempatan emas muncul pada tahun 1980 ketika Poeze bertemu dengan Hasan Sastraatmaja, mantan sekretaris Tan Malaka yang dengan antusias membuka pintu bagi penelitian Poeze. Hasan yang bermukim di Jakarta itu lalu memperkenalkan Poeze dengan sejumlah lawan maupun kawan Tan Malaka.
Berbagai tokoh seperti Sultan Hamengkubuwono IX hingga wakil presiden Adam Malik ditemui Poeze. Adam Malik secara terbuka mendukung ide kerakyatan Tan Malaka, meski dia berdiri di kubu Golongan Karya (Golkar).
Perjumpaan Poeze dengan para tokoh 1945 berlanjut, antara lain dengan Jendral Abdul Harris Nasution, Muhammad Natsir (tokoh Masyumi), S.K. Trimurti, tokoh pemberontakan PKI 1948 Sumarsono, serta ratusan tokoh lainnya.
Namun, kesibukan dan tuntutan kerja menghadang upaya penulisan buku pada tahun 1981, saat Poeze ditunjuk menjadi Direktur Penerbitan KITLV Press. Meskipun demikian, dia selalu menyempatkan diri kembali ke Indonesia untuk mengumpulkan data.

Jumat, 31 Januari 2014

HARRY A. POEZE, 36 TAHUN BERBURU JEJAK TAN MALAKA ( 1 )


Ia mendedikasikan 36 tahun lebih sejak tahun 1971 untuk menguak perjuangan dan kematian Tan Malaka. Itulah pengabdian seorang Harry A. Poeze, Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV di Leiden. Karya Penelitian Poeze tentang babak akhir hidup Tan Malaka akhirnya tuntas Maret 2007 melalui penerbitan buku Tan Malaka : Verguisd en Vergeten (Tan malaka : Di hujat & Dilupakan).

Bermula dari rasa ingin tahu saat dia masih menjadi mahasiswa jurusan Sejarah di Amsterdam Universiteit, Belanda, Poeze terpikat pada Sejarah peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20 yang penuh eksotisme Hindia Belanda. Itulah masa yang jadi inspirasi penulis besar, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Bob Nieuwenhuis.
Hindia Belanda kala itu berada dalam pengaruh kuat "Politik Etis" dan mempersiapkan putra-putri penggagas bangsa bernama Indonesia. Dia terpikat pada sebuah nama : Tan Malaka.
Nama besar Tan Malaka berulang kali muncul dalam karya-karya ilmuwan Amerika Serikat, Ruth McVey tentang kelahiran komunis di Indonesia. Rasa penasaran Poeze membawa dia pada awal penelitian mendatangi bekas sekolah dan rumah Tan Malaka di Haarlem, tak jauh dari Amsterdam. 
"Tahun 1971 saya bertemu dengan 12 teman sekolah Tan Malaka yang masih hidup. Mereka sama-sama menempuh pendidikan Guru (Kweek School) di Haarlem. Begitu dalam kesan yang ditinggalkan Tan Malaka. bahkan, dokumentasi surat-surat dua guru dia di Sekolah Fort De Kock di Bukit Tinggi, yang memberi rekomendasi dan dukungan, masih terekam baik di Haarlem," cerita Poeze.
Tan Malaka memang amat pandai karena dialah satu-satunya siswa kulit berwarna di Kweek School yang ditempuhnya tahun 1913-1919. Masa Perang Dunia Pertama ia lalui di Belanda. Bahlan, setelah dia lulus, direktur Kweek School ketika itu khusus meminta warga Belanda di Sumatera Utara memperlakukan Tan Malaka sebgai orang Eropa.