Jumat, 29 Mei 2009

PEMBANTAIAN TERHADAP ORANG-ORANG CINA DI BATAVIA 10 OKTOBER 1740 ( TULISAN KEDUA )

Gubernur Jendral Adrian Valckenier pada tanggal 10 Oktober 1740 akhirnya memerintahkan untuk membunuh orang-orang Cina yang ada dalam penjara Batavia. Hal ini diikuti pembantaian yang dilakukan tentara dan pegawai VOC di pemukiman Cina. Alhasil beratus-ratus rumah dan gedung musnah dimangsa api. Maklum, orang Cina ketika itu termasuk golongan menengah yang mendominasi sektor perdagangan dan industri. Tak ayal sampai beberapa lama roda ekonomi di Batavia lumpuh.
Untungnya, pembantaian itu tidak mengusik Kaisar Cina Cin Lung yang berkuasa dari tahun 1736-1790. Sehingga hubungan VOC dan Cina tetap baik. Akan tetapi pengaruh peristiwa itu sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemerintah Belanda sendiri tidak tinggal diam. Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier akhirnya diperiksa dan ditahan di Stadshuis Batavia dari tahun 1742-1750.
Belanda kemudian menunjuk Baron Van Imhoff sebagai Gubernur Jendral pada tahun 1743. Dia kemudian membujuk orang-orang Cina untuk kembali dan membuka usaha di Batavia. Disini mereka ditempatkan dalam sebuah kampung yang sekarang dikenal sebagai kawasan Glodok, Jakarta Barat. Di perkampungan ini tentara VOC secara rutin menjaga keamanan mereka agar tidak terjadi lagi pembantaian atau pembunuhan terhadap etnis Cina.
Tidak itu saja, Baron Van Inhoff yang berkuasa sampai tahun 1750 kemudian melarang pembangunan rumah dari bahan bambu dan atap rumbia. Rumah model ini yang dimiliki orang Cina memang cepat sekali terbakar ketika terjadi peristiwa pembantaian. Selain itu dia juga mendatangkan petani dari Belanda untuk membuka dan mengelola perkebunan di sekitar Batavia, seperti Bogor, Karawang, dan daerah Priangan lainnya.
Beberapa tahun setelah peristiwa oktober kelabu 1740, orang-orang Cina kembali mendominasi sektor perdagangan dan industri di Batavia. Mereke mencoba menghapus kejadian memilukan yang menelan korban ratusan jiwa etnis Cina tersebut. Sejatinya peristiwa itu dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk Cina yang mengkhawatirkan pembesar VOC lainnya. Memang ketika itu ada 4000 orang Cina yang bermukim di Batavia.
Mereka melihat diantara orang-orang Cina pendatang itu, tidak semuanya jago dagang dan berkebun, tetapi ada diantara mereka yang menganggur. Angka pengangguran yang tinggi menyebabkan mencuatnya tindak kriminalitas, seperti pencurian, perampokan dan pembunuhan yang korbannya tidak hanya warga pribumi namun juga Belanda.
Pimpinan VOC kemudian membuat aturan yang membatasi kedatangan orang-orang Cina di Batavia. Selain itu juga memperketat peran orang Cina baik yang sudah lama menetap maupun yang baru datang. Ketentuan ini membuat resah orang Cina, dimana mereka kemudian membentuk laskar-laskar sipil. Dari sini syak wasangka antara VOC dan warga Cina semakin kental, sehingga timbul konflik antara tentara Belanda dengan laskar sipil Cina. Sampai akhirnya pada tanggal 10 Oktober 1740, Gubernur Jendral Adriaan Valckenier memerintahkan pembunuhan terhadap warga Cina di batavia. (U. Widyanto)

Selasa, 26 Mei 2009

PEMBANTAIAN TERHADAP ORANG-ORANG CINA DI BATAVIA 10 OKTOBER 1740 ( TULISAN PERTAMA )

Pembunuhan terhadap orang-orang Cina tidak hanya terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru saja, namun juga di masa VOC Belanda. Hal itu terjadi pada tanggal 10 Oktober 1740, ketika Gubernur Jendral Valckenier berkuasa di Batavia. Dia memerintahkan tentara Kompeni Belanda untuk membunuh orang-orang Cina yang ada di dalam penjara dan rumah sakit.
Tidak hanya itu, tentara dan pegawai VOC ternyata bertindak sewenang-wenang dan di luar batas peri kemanusiaan. Mereka merampok serta membakar rumah dan toko-toko orang Cina. Banyak sekali orang Cina di Batavia yang dibunuh, dianiaya, dan diperkosa. Alhasil kota Batavia dan sekitarnya menjadi kacau balau karena ada perlawanan dari warga Cina. Dalam sejarah, peristiwa itu dikenal sebagai "Pembantaian Orang-Orang Cina" dan orang Belanda menakannya Chinezenmoord.
Akar penyebab terjadinya peristiwa yang memilukan itu karena meledaknya jumlah orang Cina di Batavia. Memang sejak Jan Pieters Zoon Coen menjadi Gubernur Jendral dan merebut Batavia, ia mengimbau agar orang-orang Cina membangun kota tersebut. Tak ayal, ada 800 orang Cina yang bermukim di sini, dan diantara mereka ada yang diberi pimpinan atau kepala sendiri yang diberi pangkat Kapten (Kapitein der Chineze atau Kapten Orang-Orang Cina).
Gubernur Jendral setelah Jan Pieters Zoon Coen juga memberi kesempatan luas bagi kiprah orang-orang Cina. Di masa Jacques Specx, orang Cina sangat puas atas penerimaan VOC, sehingga ketika akan mengakhiri jabatannya sebagai Gubernur Jendral VOC, masyarakat Cina menganugerahinya medali emas.
"Sebagai tanda terima kasih dan kenangan selalu. Kami warga Cina Batavia membuat medali ini untuk Jacques Specx, Gubernur Jendral di Hindia Timur tokoh terkemuka dan pelindung kami", demikian tulisan yang terdapat dalam medali emas tersebut.
Namun peningkatan jumlah penduduk Cina membuat khawatir para pembesar VOC lainnya. Mereka melihat diantara orang-orang yang pendatang itu, tidak semuanya jago dagang dan berkebun, tapi ada diantara mereka yang menganggur. Tak heran bila kemudian bermunculan kasus pencurian, perampokan, dan pembunuhan. Para penganggur ini tidak hanya menyerang warga pribumi tetapi juga warga Belanda.
Pimpinan VOC kemudian membuat aturan yang membatasi kedatangan orang-orang Cina di Batavia. Bisa dipahami karena pada abad ke-17, diperkirakan ada 4000 orang Cina di batavia. Akan tetapi orang Cina menggunakan segala macam cara untuk lolos dari aturan tersebut, ada yang menyogok pegawai VOC ada pula yang membuat kekacauan.
VOC lalu membuat aturan untuk menangkap orang-orang Cina yang tidak mempunyai pekerjaan atau mata pencaharian, baik yang sudah memiliki ijin menetap apalagi yang tidak mempunyai surat tersebut. Kondisi panas tersebut menyebabkan terjadinya syak wasangka antara orang-orang Cina dan Kompeni Belanda.
Ada kabar yang menyatakan bahwa orang-orang Cina yang ditahan dikirim sebagai budak ke Ceylon (Srilangka). Desas-desus itu menyebutkan mereka dipekerjakan sebagai pengupas kulit kayu manis dan banyak yang mati sehingga dibuang ke laut oleh VOC. Tak ayal warga Cina membentuk kelompok-kelompok atau laskar yang terdiri dari 50-100 orang. kabar lain menyebutkan bahwa orang Cina sudah bersatu untuk menyerbu VOC.
Di Tangerang pecah konflik terbuka antara pasukan VOC dengan laskar Cina. Dan pada tanggal 8 Oktober 1740, warga Cina yang tinggal di pinggir kota mulai menyerang Batavia. Pembesar Belanda marah dan punya alasan logis, mereka kemudian melakukan penyerangan terhadap warga Cina di Batavia dan daerah pinggiran. Terjadilah pembantaian massal orang Cina.

Selasa, 19 Mei 2009

MISTERI WANGSA SYAILENDRA

Tidak saja Mataram Kuno yang hingga kini masih misterius, baik tempat maupun wilayahnya, tetapi Wangsa Syailendra yang diperkirakan membangun Candi Borobudur pun hingga kini masih menjadi misteri. Dari catatan beberapa ahli, Wangsa Syailendra dianggap suatu wangsa Sriwijaya yang telah menaklukkan sebagian Jawa.
Menurut keterangan Coedes dan N.J Kroom (Sejarawan Belanda), sumber tertulis dalam prasasti Ligor yang berangka tahun 775 Saka, muka B, menggambarkan suasana kemenangan seorang raja bergelar Sri Maharaja, karena ia adalah keluarga Syailendra. Sisi A prasasti itu berisi 10 syair Sansekerta yang memperingati pendirian tempat suci Mahayana oleh raja Sriwijaya. Baik Kroom maupun Coedes menyamakan raja Sriwijaya yang dimuat di muka A dengan raja Syailendra yang disebut di muka B, dan kemudian menyimpulkan bahwa Syailendra memerintah Sriwijaya pada tahun 775 dan memerintah di Jawa pada tahun yang sama.
Teori Majumdar menyebut bahwa Syailendra berasal dari India. Kemudian K.A. Nilakanta Sastri pada tahun 1935 berpendapat bahwa karena gelar Syailendra berarti "Raja Gunung " yang biasa dipakai Ciwa dan wangsa Padnya di India selatan menyatakan diri sebagai keturunan Dewa dan memakai gelar "Minankita Sailendra", maka wangsa Syailendra mungkin berasal dari India selatan. Sementara menurut catatan ENI mengutip Coedes, Syailendra berasal dari Jawa.
Coedes cenderung pada pendapat bahwa raja-raja gunung ini mungkin merupakan suatu kebangkitan kembali pemakaian gelar raja-raja Funan, karena sedikit banyak menjalin hubungan nyata dengannya, dengan tujuan untuk menuntut kekuasaan politik dan teritorial yang terkandung dalam gelar itu. Pandangan mereka tentang sejarah diikuti sejumlah ekspedisi di daratan Indocina. Pada tahun 767 Babad di Vietnam mengatakan Gubernur Cina di Tonkin diserang pasukan yang terdiri atas orang Jawa dan orang-orang Pulau Selatan.
Pada tahun 774 sebuah Candi Cham dihancurkan pelaut-pelaut asing berwajah mengerikan, hitam, dan buruk. Kemudian pada tahun 787 penyerbu-penyerbu dari laut yang diduga berasal dari Jawa menghancurkan bangunan lain.
Pada pertengahan kedua abad ke-7 Wangsa Syailendra dari Jawa menuntut kekuasaan atas Kamboja. Tetapi bukti yang menyatakan wangsa itu berasal dari Funan sangat kurang, sehingga tidak ada alasan lain untuk menduga bahwa wangsa ini berasal bukan dari Jawa.
Menurut penulis Sudiyono, di Jawa sendiri tidak menunjuk adanya dokumen tertulis antara prasasti Purnawarman abad ke-5 dan prasasti Sansekerta tahun 732 di tempat suci Ciwa di Canggal, sebelah tenggara Borobudur. Prasasti Sansekerta ini menyebut bahwa seorang Raja Sanjaya mendirikan sebuah lingga di Kunjarakunja di Pulau Jawa yang kaya akan padi-padian dan emas. Karena Jawa tidak menghasilkan emas, dicoba menyamakannya dengan suatu tempat di Semenanjung Melayu. Tetapi Stutterheim menunjukkan bahwa Kunjarakunja itu adalah nama tempat Sanjaya mendirikan tempat suci.
Sanjaya Raja pendiri Kerajaan Mataram Kuno itu muncul juga dalam prasasti berikutnya yang diketemukan Stutterheim di Kedu, Jawa Tengah. Catatan berharga berangka tahun 907 ini berisi daftar pengganti-penggantinya yang memerintah kemudian. Delapan raja berturut-turut semua memakai gelar Sri Maharaja. Sanjaya yang digantikan oleh Pancapana Panangkaran yang memerintah tahun 778, digambarkan sebagai seorang Syailendra pada prasasti Kalasan yang memperingati pendirian candi sebagai tempat suci bagi Dewi Budha, yaitu Dewi Tarra.
Dari catatan orang-orang Cina dikatakan antara tahun 742 dan 755 ibukota "Ho-Ling" (Mataram) dipindahkan agak ke Timur oleh raja "Ki-yen" yang disamakan dengan Gajayana, pendiri sebuah tempat suci di Dinyo, Jawa Timur, pada tahun 760. Sejak itu telah dicapai kesimpulan bahwa Syailendra yang Budha telah mengusir Wangsa Sanjaya yang Siwa dari Jawa Tengah.
Jadi daftar raja-raja pada prasasti Balitung itu bukan catatan raja-raja pengganti wangsa yang sama, tetapi suatu catatan raja-raja Jawa Tengah yang diatur secara berurutan. Ini menunjukkan bahwa sepanjang bukti sejarah yang berkeping-keping yang ada, Syailendra muncul sebagai raja yang berkuasa di Jawa sekitar pertengahan abad ke-8 dan selama masa masa pertengahan kedua abad itu meluaskan kekuasaannya ke bagian tengah pulau itu. Sementara pada waktu yang sama ia mencoba memperkuat pengawasannya atas bagian Semenanjung Indocina.
Kini kerajaan kuno Mataram ada di Jawa Tengah dan Sanjaya sebagai rajanya disimpulkan sebagai Maharaja atau Syailendra. Lagipula Syailendra penganut Siwa bukan Budha. Lalu apakah Syailendra berkuasa di Jawa atau di Sriwijaya, dan apakan Syailendra Budha atau Siwa, hingga saat ini tampaknya masih misterius.
Dari catatan Stutterheim cucu Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahan Mataram dari Poh Pitu di Jawa Tengah ke Watugaluh, daerah antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis di Jawa Timur, maka berakhirlah pemerintahan Mataram di Jawa Tengah. Mpu Sindok seolah-olah merupakan pendiri dinasti baru, meskipun ia sendiri masih tetap tidak mau melepaskan hubungan dengan raja-raja yang memerintah di Jawa Tengah sebelumnya. pemindahan ini menurut ahli geologi juga lantaran akibat meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1006 (Sugeng WA)

Jumat, 08 Mei 2009

JAMAN PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA 1942 - 1945 (TULISAN KEDUA)

D. Penerapan Politik Penjajahan Jepang Di Indonesia
  1. Membekukan kekuatan-kekuatan politik bangsa Indonesia. Pelanggaran terhadap aturan tersebut sanksinya sangat berat dan Pemerintah Militer Jepang menerapkan garis politik dan sistem Fasisme sebagai satu-satunya yang harus dianut. Sebagai doktrin politik, Jepang mempropagandakan Gerakan 3 A ( Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia ) yang dipimpin oleh Mr. Syamsudin (seorang nasionalis Indonesia yang kurang terkenal). Propaganda Jepang lewat Gerakan 3 A tersebut tidak berhasil karena rakyat Indonesia sudah sangat kecewa terhadap Jepang.
  2. Membentuk Komisi Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara tanggal 8 November 1942 tetapi komisi ini juga mengalami kegagalan.
  3. Membentuk sebuah badan bernama PUTERA ( Pusat Tenaga Rakyat ) pada tanggal 9 Maret 1943 yang dipimpin oleh 4 Serangkai ( Ir. Soekarno, Drs. Moehammad Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan H. Mas Mansoer ). Awal tahun 1944 PUTERA dibubarkan karena Jepang curiga badan tersebut dimanfaatkan oleh para pimpinan Indonesia untuk memberi pengertian cita-cita kemerdekaan kepada rakyat Indonesia.
  4. Membentuk badan dengan nama Jawa Hookokai ( Himpunan Kebaktian Jawa ) yang merupakan badan setengah resmi dalam susunan Pemerintah Militer Jepang. Badan ini merupakan peleburan dari Tonarigumi (RT), Fujinkai (Organisasi Wanita), Kakyo Sokai (Golongan Cina), dan Tai Iku Kai (Perkumpulan Olahraga). Tugas badan ini adalah mengumpulkan segala kebaktian rakyat Indonesia kepada Jepang. Para tokoh pergerakan nasional Indonesia diberi jabatan tinggi di pemerintahan sehingga mereka merasa tidak bebas dan komunikasinya dengan rakyat dibatasi.
  5. Membentuk organisasi-organisasi kepemudaan yang bersifat setengah militer untuk membantu tentara Jepang melawan tentara Sekutu, yaitu Seinendan (Barisan Pemuda) dan Kaibodan (Barisan Bantu Polisi).
  6. Membentuk tentara bantuan, yaitu Heiho (Membantu Jepang di medan perang) dan PETA (Pembela Tanah Air).
  7. Dibentuknya MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) yang nantinya diubah namanya menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) untuk menarik hati umat Islam dan mengimbangi kekuatan kaum nasionalis sekuler. MIAI adalah organisasi bercorak politik yang diijinkan berdiri oleh Pemerintah Militer Jepang di Indonesia.
E. Penderitaan Rakyat Indonesia
Rakyat Indonesia dipaksa untuk menuruti segala keinginan Jepang karena sikap kejam dari Kempetai (Polisi Militer Jepang). Kewajiban-kewajiban kepada Jepang adalah :
  1. Keharusan menyetor padi
  2. segala perhiasan dirampas Jepang dengan alasan untuk dana perang
  3. Romusha (Kerja Paksa/Kerja Rodi) untuk keperluan militer Jepang dengan tugas membuat jalan, lapangan terbang, goa perlindungan, jembatan, dan lain-lain. Para Romusha selain dipekerjakan di Indonesia juga dipekerjakan di negara-negara jajahan Jepang seperti Burma/Mynmar dan Malaysia
  4. Jugun Ianfu (wanita yang dipekerjakan untuk memenuhi kebutuhan seks para serdadu Jepang). Para wanita Jugun Ianfu ini berasal dari berbagai kawasan yang menjadi jajahan Jepang seperti Indonesia, Philipina, Korea.


F. Perlawanan Terhadap Jepang Oleh bangsa Indonesia
  1. Perlawanan Bawah Tanah, dipimpin oleh Mr. Soetan Syahrir dan Mr. Amir Syarifoeddin, yaitu dengan sabotase terhadap kepentingan Jepang, penerangan kepada rakyat tentang kemerdekaan, dan mencari berita luar negeri tentang perkembangan Perang Dunia II.
  2. Perlawanan Politik, dilakukan oleh kaum nasionalis yang diwujudkan dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) tanggal 22 Juni 1945.
  3. Perlawanan Sosial, muncul dari kelompok agama khususnya Islam sebab penghormatan kepada Tenno Heika (Kaisar Jepang) setiap hari dengan jalan membungkukkan badan ke arah timur dianggap sebagai penyimpangan agama karena kiblat umat Islam adalah kearah Ka'bah (barat). Pimpinan perlawanan sosial antara lain Tengkoe Abdoel Djalil dari Aceh, K.H. Zaenal Moestafa dari Tasikmalaya dan H. Mandrias dari Indramayu.
  4. Perlawanan Militer, dilakukan oleh kelompok PETA (Pembela Tanah Air) dengan pimpinan perlawanan antara lain Soepriyadi di Blitar, Jawa Timur dan Teuku Hamid di Aceh.


G. Dampak-Dampak Pendudukan Jepang Bagi Bangsa Indonesia
  1. Dampak Negatif
  • Korban jiwa rakyat Indonesia akibat Romusha
  • Penderitaan rakyat Indonesia akibat seluruh sumber daya alam diangkut oleh Jepang dengan alasan untuk persiapan Perang Asia Timur Raya
  • Rusaknya mental karena korupsi demi memenuhi kebutuhan akan pangan dan kemiskinan
  • Hilangnya harta benda karena keharusan menyerahkan seluruh hak milik rakyat guna modal perang
  • Sebagian wanita Indonesia dijadikan sebagai Jugun Ianfu oleh Jepang
  1. Dampak Positif
  • Pendidikan bagi bangsa Indonesia (sekolah terbuka untuk semua golongan/umum)
  • Rasa kebangsaan berkembang pesat
  • Mengetahui sistem pemerintahan yang baik karena dilibatkannya bangsa Indonesia dalam pemerintahan termasuk dapat menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan.
  • Perkembangan bahasa Indonesia yang pesat karena bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa resmi di kantor, sekolah, dan buku-buku.
  • Pendidikan militer terhadap pemuda-pemuda Indonesia baik dalam PETA maupun HEIHO. Ini merupakan modal penting merebut kemerdekaan. Perwira-perwira didikan Jepang nantinya banyak yang menduduki jabatan militer paska kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945.

Kamis, 07 Mei 2009

JAMAN PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA 1942 - 1945 (TULISAN PERTAMA)

A. Masuknya Kekuasaan Jepang Di Indonesia
Jepang pada awal abad ke-20 memperoleh kemajuan pesat di berbagai bidang berkat Restorasi Meiji (Modernisasi Jepang yang dicanangkan oleh Kaisar Mutsuhito / Meiji) setelah Politik Isolasi Jepang (1638-1868) berakhir. Politik Isolasi Jepang berakhir setelah armada Angkatan Laut Amerika Serikat dibawah pimpinan Laksamana AL Perry berhasil memaksa Jepang membuka isolasinya terhadap dunia luar.
Akibat kemajuan yang dicapai Jepang pada awal abad ke-20, industrialisasinya berkembang dengan pesat serta diikuti pertumbuhan penduduk yang pesat pula. Hal tersebut ternyata menimbulkan masalah karena wilayah Jepang kecil, tandus, dan kebanyakan berupa pegunungan sehingga tidak menguntungkan bagi pertanian. Jepang berusaha memecahkan masalah tersebut dengan dua cara, yaitu :
  1. Memperluas industrialisasi
  2. Melaksanakan Emigrasi (Perpindahan Penduduk)
Kebijakan Pemerintah Jepang diatas nantinya melahirkan Politik Imperialisme. Amerika Serikat dan Australia menutup negaranya bagi emigrasi orang Jepang (The White Policy) karena khawatir akan dampak buruk bagi ketenagakerjaan mereka. Jepang lalu melakukan politik ekspansi dengan jalan merebut wilayah-wilayah di sekitar Jepang antara lain Semenanjung Korea dan Cina.
Kemenangan Jepang atas Rusia dalam Perang jepang-Rusia tahun 1905 memberikan semangat untuk melakukan politik imperialisme dan peperangan. Disamping itu usaha lain dilakukan dengan jalan melaksanakan hubungan persahabatan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya (Semangat atau Gerakan Pan Asia). Gerakan Pan Asia berdasarkan pada dokumen rahasia (Tanaka Memorial) yang disampaikan kepada kaisar Hirohito. Tanaka Memorial menjadi suatu doktrin dengan nama Hakko I Ciu dan merupakan dasar lahirnya propaganda Jepang menguasai Asia. Doktrin tersebut berisi "Jepang memikul tugas suci memimpin bangsa-bangsa di Asia Timur dan akan disusun dalam suatu lingkungan Persemakmuran Asia Timur Raya".
Amerika Serikat menyatakan bahwa ekspansi Jepang itu dengan sebutan Bahaya Kuning, oleh karena itu Amerika Serikat bersama-sama dengan sekutunya membentuk Front ABCD ( Amerika Serikat, British/Inggris, Cina, dan Dutch/Belanda). Menghadapi kenyataan tersebut, Jepang lalu melakukan propaganda Pan Asia serta persemakmuran bersama Asia Timur Raya untuk menghapus imperialisme dan segala pengaruh Barat di Asia Pasifik dengan gerakan De-Eropanisasi. Propaganda Jepang berhasil meyakinkan bangsa-bangsa Asia sehingga mereka mau menerima kedatangan Jepang sebagai saudara tua yang akan membebaskan mereka dari penjajahan bangsa Barat.

B. Meletusnya Perang Pasifik
Tanggal 8 De
sember 1941 Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii yang kemudian disusul dengan serangan kilat ke Asia Tenggara sehingga membuat Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda bertekuk lutut. Pecahlah Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya antara Jepang melawan tentara Sekutu.

C. Serangan Jepang Ke Indonesia
Serangan Jepang Ke Indonesia dimulai pada tanggal 10 Januari 1942 dan dalam waktu singkat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat ditandatangani penyerahan tanpa syarat Belanda kepada Jepang. Dalam upacara ini Jepang diwakili oleh Letjen Imamura sedangkan Belanda diwakili oleh Letjen Ter Poorten. Pemerintahan sipil Belanda di Indonesia/Hindia Belanda sudah terlebih dahulu mengungsi ke Australia.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia di pengasingan seperti Ir. Soekarno, Dr. A.K. Gani, Dr. M. Isa, Nuntji A.R, dan A.S. Sumadi melihat situasi tersebut lalu mengadakan pertemuan /perundingan di palembang, Sumatera Selatan. Pertemuan para tokoh tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut :
  1. Kerjasama dengan pihak Jepang dengan semboyan "Nippon Indonesia" adalah sama-sama
  2. Melakukan gerakan bawah tanah
  3. Menjaga persatuan segenap pemimpin pergerakan nasional
Dalam perkembangannya sikap Jepang yang pada awal masuk ke Indonesia simpatik berubah menjadi tidak menyenangkan sehingga membuat kecewa bangsa Indonesia yang pada awalnya sangat bersimpati kepada Jepang.