Senin, 30 April 2012

PELAJARAN DARI MAJAPAHIT ( 1 )

Majapahit adalah negara besar, lebih luas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Armada lautnya kuat. Rakyatnya makmur. Tak ada kabar busung lapar. Perempuan Bali bebas ke pasar telanjang dada tanpa takut kena razia. Yang menarik, para pemeluk bermacam agama bisa hidup rukun. 
Pelajaran sejarah hanya menyebut Majapahit sebagai kerajaan Hindu. Padahal, saat itu masyarakat Majapahit sudah amat beragam. Hindu sendiri terdiri dari tiga agama besar. Agama Brahma, agama Wishnu, dan agama Syiwa. Lalu ada Budha, Tantrayana, Syiwa Budha dan Budha Bhairawa. Semua mendapat tempat di Majapahit tanpa diskriminasi.
Penganut Animisme juga banyak. Oleh pemeluk agama lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama asli warisan nenek moyang. Kerajaan besar ini amat toleran dengan keberagaman karena belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu. Sebelum era Majapahit, agama sering dimanfaatkan untuk saling bunuh guna merebut kekuasaan. Sebab, saat itu belum ada KPU, Pemilu, dan Pilkada. Untuk bisa berkuasa, orang harus tega membunuh lawan politiknya.
Puncak saling bunuh terjadi pada jaman Singasari. Ke Arok membunuh tuannya, Akuwu Tumapel Tunggul Ametung, lalu mengawini jandanya, Ken Dedes. Kemudian ia mengangkat dirinya sebagai Akuwu, sebelum menjadi Raja Singasari dan akhirnya terbunuh. Saling bunuh diantara elite politik pun berlanjut. Alasannya amat mistis, yaitu adanya kutukan Empu Gandring si pembuat keris. Para pengikut agama Syiwa, Wisnu, Brahma, Buddha, dan Tantrayana ikut saling membunuh demi kekuasaan duniawi.
Sebelumnya, perseteruan sengit juga pernah terjadi antara kerajaan Sumatera yang Buddha dan kerajaan Jawa yang Hindu. Kerajaan Buddha menang dan sempat beberapa generasi menguasai Jawa. Para penganut Hindu menyingkir ke Jawa Timur. Inilah yang membuat Buddha berkembang di Jawa. Pelajaran dari kerajaan ini membuat Majapahit menjadi negara besar, terbuka, dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap agama yang amat baru dan aneh.
Di era Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan, sebagian masih eksis hingga kini. Agama Katholik Roma yang berumur 14 abad sedanga mengalami puncak kejayaan. Islam yang lahir pada abad ke-t Masehi juga tumbuh pesat. Kemaharajaan Ottoma menunjukkan hegemoninya di Timur Tengah, Afrika Utara bahkan sebagian Eropa. Tarekat Rahib Katholik banyak berdiri. Saat itulah seorang Rahib sempat berkunjung ke Majapahit.
Orang bule dengan agama baru yang aneh ini di Majapahit diterima dengan baik. Setelah kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi. Saat itu, selain menguasai sebagian Eropa, pengaruh Islam juga melebar sampai India, daratan Cina, Semenanjung Malaya, dan Aceh. Setelah masyarakatnya menganut Islam, Kerajaan Pasai tumbuh sebagai kekuatan alternatif di Nusantara. Pasai menjadi makmur dan kuat. Mereka lalu tidak mau setor upeti ke pusat.
Bagi Majapahit, tidak setor upeti bukan urusan agama. Ini murni soal soal kenegaraan dan uang. Pasai perlu diberi pelajaran tanpa membawa bawa agama. Armada laut dikirim. Dengan mudah Pasai ditaklukkan. Lalu, seperti biasa, harta rampasan dibawa pulang, termasuk perempuan, para putri Pasai. Namun, perempuan hasil rampasan ini tidak diusik sedikit pun, apalagi direndahkan martabatnya.

Sabtu, 31 Maret 2012

KAPITEIN SO BENG KOEN, PERINTIS BATAVIA YANG TERLUPAKAN

Batu nisan Tionghoa (Bongpay, dalam dialek Hokkian) menyembul di tengah perumahan kumuh yang dibelah Gang Taruna yang sempit disisi jalan Pangeran Jayakarta. Sepintas tidak ada yang istimewa karena tak ubahnya pemakaman Tionghoa yang dirambah menjadi perumahan seperti di kawasan Karang Anyar dekat jalan Lau Tze, Jakarta Pusat.
Pada bagian tengah nisan tertulis dua karakter Tionghoa berbunyi Ming dan Jia. Pada batu peringatan di sebelah nisan tersebut barulah tertulis riwayat orang yang dikuburkan dalam bahasa Belanda bertarikh (1619-1640) : " Kapitein So Beng Koen " atau kerap disebut Sobengkong.
So Beng Koen adalah Kapitein Tionghoa pertama di Batavia sekaligus perintis perekonomian pada awal abad ke-17. Tian Li Tang, aktivis paguyuban Kota Tua Jakarta, menjelaskan, Beng Koen adalah tokoh yang diandalkan gubernur jendral pertama Jan Pieter Zoon Coen, saat gagal membuka Batavia sebagai pusat perdagangan.
Jan Pieter Zoon Coen dengan berbagai cara berhasil mendorong Beng Koen pindah ke Batavia dari Banten. Kalau Beng Koen dan 400 orang Tionghoa tidak pindah, bisa dipastikan ekonomi Batavia tidak bisa berkembang," katanya.
Pada nisan berbahasa Belanda tertulis sekilas riwayat Beng Koen yang disebut sebagai handelaar (pedagang).
Adolf Heuken dalam Historical of Jakarta menulis "Beng Koen adalah pimpinan komunitas Tionghoa di Jakarta. Dia memiliki kedudukan sejajar dengan para Kapitein lainnya seperti dari suku Bugis, Bali, Makassar, India, dan Mardijkers, dan kelompok etnis lain yang mengembangkan kota Batavia. Hubungan antar etnis demikian erat dan tercatat Beng Koen memiliki dua istri wanita Bali yang memberinya dua putra".
Heuken mencatat, Beng Koen mencetak uang tembaga, saudagar kapal, kontraktor, pedagang, dan juga memegang lisensi penyelenggaraan judi di Batavia.
Beng Koen adalah sobat dari Jan Pieter Zoon Coen dan sering berperan sebagai diplomat dalam hubungan antara Belanda dan pihak Banten-Inggris. Dia juga mengembangkan perdagangan antara Formosa (Taiwan) dengan Batavia pada masa akhir Dinasti Ming.
Rai Pranata, aktivis Kota Tua Jakarta, menjelaskan, keturunan So Beng Koen akan membangun perkumpulan dan merevitalisasi kawasan makam. Wilayah itu pada abad ke-17 adalah taman dari kediaman Beng Koen. Apakah situs ini akan menjadi ikon Jakarta seperti nama Kapten Yap Ah Loy, kapten Tionghoa pertama di Malaysia - menjadi salah satu simbol Kuala Lumpur ? Entahlah waktu yang akan menentukan (Iwan Santosa)

Rabu, 29 Februari 2012

MENYUSURI MATA RANTAI KRATON MATARAM : KOTAGEDE, KERTA, PLERET & KARTOSURO ( 4 )

Jika diurut mata rantai pada awal perkembangan hingga masa suramnya, jelas bisa ditarik kesimpulan bahwa sebuah kerajaan dan kekuasaan di dunia ini memiliki batas-batas tertentu dan tidak bersifat abadi. Mataram yang semula berupa hutan (Mentaok) dan dirintis pembangunanannya oleh Ki Gede Pemanahan pada awalnya hanya sebuah "Kabupaten" dibawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang dikuasai oleh Sultan Hadiwijaya.
Rintisan Ki Gede Pemanahan berkembang pesat sejak dilanjutkan oleh putranya, Panembahan Senapati. Panembahan Senapati merupakan raja pertama Kraton Mataram yang berpusat di Kotagede. Kala itu kekuasaan Pajang sudah runtuh dan "wahyu" kraton telah berpindah ke bumi Mataram. Mataram dengan pusat pemerintahannya di Kotagede berkembang pesat menjadi kerajaan besar melanjutkan "tradisi" kebesaran kerajaan di tanah Jawa seperti Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, dan Pajang.
Puncak kebesaran Mataram semakin nyata tatkala Sultan Agung Hanyokrokusumo bertahta dengan pusat pemerintahan di Kerta dan Pleret. Sampai sekarang peninggalan kebesaran Kraton Mataram, baik yang berpusat di Kotagede maupun Kerta-Pleret masih bisa dibuktikan. Kotagede sekarang ini merupakan wilayah kecamatan di Kodya Yogyakarta. Sedangkan Kerta-Pleret terletak di Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta. Sebagian peninggalan Kraton Mataram seperti Istana Kotagede, Masjid Kotagede, Makam Hastarenggo, Batu Gilang serta Batu Gateng, dan Pasar Kotagede masih bisa dilihat keberadaannya.
Sedangkan peninggalan di Kerta hanya berupa Ompak (Batu) karena dipindahkan ke Pleret. Sedangkan yang merupakan peninggalan Kraton Pleret berupa nama-nama dusun, pohon beringin, dan Sumur Gemuling. Mata rantai Kraton Mataram, dari Kotagede, Kerta, Pleret, dan Kartosuro memang bernilai sejarah tinggi. Meski tidak semua peninggalan bisa dilihat sekarang, karena sebagian telah musnah karena peperangan dan gempa bumi. (Haryadi)

Minggu, 22 Januari 2012

MENYUSURI MATA RANTAI KRATON MATARAM : KOTAGEDE, KERTA, PLERET & KARTOSURO ( 3 )

Setelah Sultan Agung wafat, tahta kraton dipegang oleh Sunan Amangkurat I (putra Sultan Agung Hanyokrokusumo yang nama aslinya Raden Mas Jibus). Pada masa pemerintahan Amangkurat I inilah situasi kraton mengalami masa surut. Kraton Pleret diserang oleh Trunojoyo sekitar tahun 1677. Karena serangan pasukan Trunojoyo, Amangkurat I melarikan diri, hendak minta perlindungan VOC di Batavia. Tetapi belum sampai ke Batavia, Amangkurat I wafat di daerah Ajibarang, tepatnya di Tegalarum. Karena itu Amangkurat I dikenal juga sebagai Sunan Tegalarum.
Upaya merebut kraton Pleret dari tangan Trunojoyo dapat dilakukan oleh Pangeran Puger. Setelah merebut kraton Pleret, Pangeran Puger memaklumkan diri sebagai penerus raja Mataram bergelar Susuhanan Alaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama. Sementara itu, kakak Pangeran Puger, Amangkurat II yang merasa memiliki hak untuk meneruskan tahta kraton menempuh cara lain. Untuk menghindari perselisihan dengan adindanya, Amangkurat II membangun pusat pemerintahan baru di Kartosuro.
Secara resmi Amangkurat II naik tahta tahun 1680. Namun sebelumnya sempat terjadi perselisihan juga dengan Pangeran Puger. Perselisihan itu "dimenangkan" Amangkurat II atas bantuan VOC Belanda. Kraton Pleret sendiri saat itu sudah rusak, porak poranda akibat peperangan dengan Trunijoyo. Kondisi Kraton Pleret semakin parah tatkala meletus perang. Hingga sekarang tidak ada tempat "berarti" yang ditinggalkan kraton Pleret yang bisa menandai bahwa daerah tersebut dahulu bekas kraton besar.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika penguasa beralih kepada Amangkurat III terjadilah perselisihan dengan Belanda. Sebab menurut Belanda, Amangkurat III bekerja sama dengan Untung Surapati berusaha melawan Belanda. Atas taktik Belanda, akhirnya diadulah Amangkurat III dengan Pangeran Puger. Atas bantuan Belanda akhirnya pangeran Puger bisa duduk berkuasa kembali bergelar Paku Buwono I pada tahun 1706.
Sampai pada tahap ini, Kraton Mataram (baru) masih dapat dikatakan "utuh". Artinya belum terjadi pembagian kekuasaan. Keberadaan Kraton Mataram di kemudian hari dilanda kerusuhan, mulai dari pemberontakan bangsa Cina kepada Belanda sampai pada keinginan Pangeran Mangkubumi untuk naik tahta. Kraton Mataram akhirnya dibagi dua sesuai dengan Perjanjian Giyanti yang ditandatangani tahun 1655.
Perjanjian Giyanti berisi : Mataram dibagi dua bagian. Bagian timur untuk Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan Surakarta (Solo). Sedangkan bagian barat untuk Pangeran Mangkubumi bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.