Minggu, 30 Januari 2011

TERLUPAKAN : NASIONALISME ALA PEMUDA (1)

"Lebih baik moesnah daripada didjadjah", "Lebih baik mati tergilas oleh pertempoeran daripada hidoep menjerah serta ditahan oleh tentara imperialis djahanam". Begitulah bunyi ungkapan-ungkapan kemarahan para pemuda saat revolusi kemerdekaan 1945. Ungkapan-ungkapan para pemuda tersebut memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa tidak dapat disangkal apabila dikatakan bahwa pemudalah yang menjadi penghela, pendukung, dan pembela Revolusi Indonesia.
Pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia, para pemuda aktif membangun gerakan bawah tanah dengan cara menyelundup ke dalam organisasi-organisasi bentukan Jepang seperti Heiho, Peta, Seinendan, Kaigun, Barisan Pelopor, bahkan juga menyusup ke Ken Pei Tai (Polisi Rahasia Jepang). Bentuk penyusupan mereka adalah dengan bekerja di lembaga-lembaga Jepang tersebut. Mereka yang bekerja di dalam diwajibkan menanam sel-sel yang akan menjadi tambahan kekuatan para pemuda selain juga untuk mendapatkan informasi tentang siapa yang akan ditangkap pleh Ken Pei Tai. Sementara mereka yang tidak menyusup, aktif merekrut para pemuda dengan mendatangi rumah-rumah atau tempat kerja mereka dan menyebarkan berbagai bacaan untuk menjadi bahan diskusi atau mendirikan organisasi antifasis di bawah tanah.
Di wilayah Jakarta tercatat beberapa organisasi yang aktif menentang pemerintah fasis Jepang, yaitu Barisan Pemuda Gerindo-sayap pemuda dari Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)-Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), Barisan Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Buruh Indonesia, dan Barisan Rakyat (Bara) yang dibentuk setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Selain organisasi-organisasi tersebut, para pemuda juga mendapatkan pendidikan politik di beberapa asrama, yaitu Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 yang dipimpin oleh Soekarni dan Chairoel Saleh serta Asrama Indonesia Merdeka dibawah pimpinan Wikana dengan dibantu oleh D.N. Aidit dan Samsudin. Asrama-asrama itu didirikan oleh Jepang dengan perantaraan beberapa pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Moehammad Hatta, dan Soebardjo. Meskipun didirikan oleh Jepang, namun asrama itu juga menjadi tempat memberikan pelajaran politik antifasis sehingga bagaimanapun kerasnya usaha para pembesar Jepang mempengaruhi para pemuda, perlawanan berupa debat dan kritik terus menerus tetap ada.