Sabtu, 31 Desember 2011

MENYUSURI MATA RANTAI KRATON MATARAM : KOTAGEDE, KERTA, PLERET & KARTOSURO ( 2 )

Dibawah kekuasaan Sultan Agung, Kraton Mataram mengalami masa kejayaan. Tatkala Sultan Agung berkuasa di Kraton Mataram, Sultan Agung berkuasa untuk memajukan Mataram lebih dari yang telah dicapai pendahulunya. Demi pertimbangan keamanan dan kenyamanan memerintah sebuah kraton, pertama-tama yang dilakukan Sultan Agung adalah memindahkan pusat kraton. Sultan Agung memindahkan pusat pemerintahan Mataram dari Kotagede ke Kerta. Menurut Dr. H.J. De Graaf (Puncak Kekuasaan Mataram) 1990;109) dikatakan bahwa rintisan pembangunan Kerta sebagai pusat pemerintahan Kraton Mataram dimulai tahun 1613 dan selesai dibangun tahun 1622. Dengan demikian, sewaktu Kraton Kerta belum jadi, raja (Sultan Agung Hanyokrokusumo) tetap tinggal di Kotagede.
Tentang pusat pemerintahan Mataram di Kerta, disebutkan bahwa Kraton Kerta dikelilingi pagar kayu disusun dalam bentuk menyerupai Wajik. Di kedua sisi terdapat balai panjang yang ramping dan di dekatnya ditanam pohon beringin berbentuk payung. Tetapi sekarang yang tersisa dari Kraton Kerta hanyalah sebuah Ompak. Kerta terletak di Dusun Kanggotan, Wonokromo, Pleret, Bantul. Sebenarnya keberadaan Kraton Kerta tidaklah lama, sebab tidak lama kemudian pusat pemerintahan Mataram kembali dipindah ke Pleret. Pusat pemerintahan Mataram di Pleret pada akhirnya lebih dikenal dan dikenang daripada Kerta.
Perpindahan pusat pemerintahan Kraton Mataram dari Kerta ke Pleret tercatat tahun 1643. Pembangunan Kraton Pleret memakan waktu cukup lama. Dimulai setelah pindah dari Kerta kira-kira butuh waktu sekitar 6-7 tahun. Pleret sebenarnya merupakan kraton yang unik karena sekelilingnya berupa air. Bila mau masuk kraton harus melalui jembatan. Pleret berasal dari kata Paleret yang artinya tanggul air dengan dasar miring dimana air meluncur kebawah.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung di Pleret inilah Kraton Mataram mencapai puncak kejayaan. Tak hanya berpikir tentang keamanan dan keberlangsungan kraton semata. Bukti dari semua itu bisa dilihat dari karya seperti : Sastra Gending, Kitab Ni Cruti, dan Niti Castra, Kaligrafi, Perhitungan Tahun Jawa dan perayaan Sekaten. Di samping itu, hasil karya Sultan Agung yang sampai sekarang menjadi "monumen" adalah makam Imogiri (makam raja-raja Mataram).
Peninggalan kraton Pleret yang kini masih tersisa sebagian besar berupa nama-nama desa atau tempat tertentu. Nama-nama peninggalan Kraton Pleret yang sekarang masih bisa dijumpai misalnya : Kedaton (pusat kraton), Keputren (tempat tinggal putri-putri raja di luar kraton), Kauman (tempat tinggal para kaum), Gerjen ( tempat tinggal pera penjahit busana kraton), Demangan (tempat kediaman para Demang), Segoroyoso (laut buatan guna latihan perang). Sementara yang berupa bangunan bangunan hanya tinggal Sumur Gemuling (sumur untuk kepentingan mencuci benda-benda pusaka kraton). Letak Sumur Gemuling adalah di Kedaton sebelah barat yang kini berada di tengah persawahan. Oleh masyarakat setempat, Sumur Gemuling tersebut dibuatkanrumah beratap dengan maksud supaya tidak lekas musnah.

Selasa, 29 November 2011

MENYUSURI MATA RANTAI KRATON MATARAM : KOTAGEDE, KERTA, PLERET & KARTOSURO ( 1 )

Kraton Mataram yang dimaksud disini adalah Kraton Mataram Baru (Mataram Islam), bukan Kraton Mataram Lama (Mataram Hindu). Pertumbuhan dan perkembangan Kraton Mataram sampai sekarang ini masih meninggalkan berbagai misteri. Yang paling "misterius" pertama-tama mengenai ramalan Sunan Giri bahwa di tlatah Mataram kelak akan lahir raja besar.
Ramalan Sunan Giri itu sendiri diucapkan kala Kraton Mataram belum "lahir" melainkan baru sebatas tanah perdikan yang dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijoyo (Sultan Pajang) kepada Ki Gede Pamanahan dan Ki Panjawi dapat membinasakan Arya Penangsang. Ki Panjawi mendapat daerah Pati, Jawa Tengah sedangkan Ki Gede Pamanahan mendapat hadiah Tanah Mentaok (Mataram).
Lepas dari kemisteriusan ramalan Sunan Giri, memang pada akhirnya Kasultanan Pajang runtuh bersamaan dengan berdirinya Kraton Mataram. Menurut catatan sejarah, Kraton Mataram berdiri tahun 1577 dengan pusatnya di Kotagede. Raja Mataram pertama adalah Raden Mas Danang Sutowijoyo (Panembahan Senopati). Panembahan Senopati adalah putra Ki Gede Pamanahan).
Selama memerintah Mataram yang berpusat di Kotagede, Panembahan Senopati membangun tempat-tempat khusus untuk mengendalikan roda-roda pemerintahan. Mulai dari Benteng Istana, tempat peribadatan (Masjid) dan pusat keramaian kota (Pasar). Hubungan antara Raja dengan rakyat bisa dikatakan harmonis, terbukti sampai sekarang tempat-tempat yang dibangun masa itu tetap ada dan bisa terlacak. Dalam tradisi kerajaan-kerajaan Jawa, salah satu penanda keharmonisan raja dengan rakyat bisa dilihat dari jejak dan bekas kerajaan yang ditinggalkan.
Bekas peninggalan Kraton Mataram yang berpusat di Kotagede yang sampai sekarang masih bisa dilihat adalah : Masjid, Istana, Makam Hastarenggo, Batu Gilang, dan Batu Gateng. Benteng pertahanan dan pasar. Masjid dan Istana Kraton terletak di satu komplek. Makam Hastarenggo, berdekatan dengan tempat Batu Gilang dan Batu Gateng. Beteng pertahanan meliputi sekitar wilayah sekeliling istana. Beteng tersebut sekarang sudah tidak utuh lagi, hanya sebagian saja yang masih nampak bekas-bekasnya. Sedangkan pasar hingga sekarang masih berfungsi sebagai tempat kegiatan ekonomi. Pasar tersebut sampai sekarang dinamai Pasar Kotagede.
Menurut cerita, Batu Gilang konon merupakan batu yang digunakan untuk membenturkan kepala Ki Ageng Mangir (putra menantu Panembahan Senopati). Pada saat itu Ki Ageng Mangir mengadakan pemberontakan terhadap Kraton Mataram. Untuk menaklukkan Ki Ageng Mangir, Panembahan Senopati mempergunakan cara halus, yakni dengan cara "memikat" Ki Ageng Mangir melalui putrinya, Pembayun. Ki Ageng Mangir memang terpikat oleh kecantikan Pembayun dan berniat mengawininya. Pada saat Ki Ageng Mangir sowan kehadapan Panembahan Senopati itulah, Kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan ke Batu Gilang. Jenazah Ki Ageng Mangir dimakamkan di Kotagede, separoh tubuh di dalam kompleks istana (sebagai menantu) separoh tubuh lainnya di luar kompleks istana (sebagai musuh atau pemberontak Mataram)
Sedangkan Batu Gateng, konon merupakan alat permainan Raden Ronggo (putra Panembahan Senopati) yang terkenal sakti Mandraguna. Masih menurut cerita, Raden Ronggo merupakan putra Panembahan Senopati dengan Nyi Roro Kidul. Maka tidak mengherankan jika kesaktian Raden Ronggo melebihi orang kebanyakan. Kisah hubungan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul diceritakan dalam buku Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senopati (Dr. H.J. De Graaf, 1987, Jakarta : Pustaka Grafitipers).
Sewaktu Panembahan Senopati pergi ke Lipura bersama lima orang pengikutnya, ia tidur diatas batu berwarna indah. Ketika itu Ki Juru Mertani menyusul dan mendapatkan Panembahan Senopati sedang tertidur. Oleh Ki Juru Mertani dibangunkanlah Panembahan senopati, untuk segera melakukan sesuatu sesuai dengan "wisik" yang diterimanya saat tidur. Ki Juru Mertani pergi ke Gunung Merapi, sedang Panembahan Senopati pergi ke Laut Selatan. Di sinilah kemudian terjadi pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul. Banyak hal didapat Panembahan Senopati dari Ratu Kidul tentang bagaimana mengelola sebuah kerajaan. Ratu Kidul pun berjanji untuk selalu menjaga dan melindungi Kraton Mataram. Imbalannya Panembahan Senopati dan anak turunnya "harus" memperistri Ratu Kidul.
Sejak saat itulah Panembahan Senopati berkuasa di Kraton Mataram dengan tambahan "ilmu" dari Ratu Kidul. Diyakini pula bahwa hingga sekarang Kraton Mataram (sebelum maupun sesudah pecah) selalu berada dalam perlindungan Ratu Kidul. Panembahan Senopati bertahta di Kraton Mataram selama 24 tahun. Panembahan Senopati wafat tahun 1601. Kraton Mataram kemudian dikuasai Panembahan Krapyak dan Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Minggu, 30 Oktober 2011

SIAPA PENDIRI CANDI-CANDI ITU ? ( 2 )

Hubungan antara seni dan religi dalam agama Hindu dan Buddha sangatlah erat. Para pelajar tersebut belajar dari kitab-kitab peraturan untuk membuat kuil dan kelengkapannya seperti arca dan relief. Kitab-kitab itu secara umum disebut Vastusastra.
Disamping mempelajari Vastusastra, mereka mengunjungi pusat-pusat kesenian agama dan berbagai kuil di India. Kemudian mereka membuat replika bangunan suci, dan hasilnya sangatlah terpengaruh oleh pengetahuan dan kemahiran si pembuat. Replika-replika tersebut kemudian dibawa pulang untuk dijadikan contoh candi yang akan mereka dirikan di Indonesia. Oleh karena itu, para peneliti candi hingga sekarang belum pernah menemukan naskah vastusastra di Jawa dan tempat-tempat lain di Indonesia.
Gaya India utara pada candi Bhima khususnya terlihat pada atap candi yang menjulang tinggi, dan tingkatan-tingkatan (lapisan-lapisan) atapnya tidak terlihat. Demikian pula atap candi Bhima dihias dengan relung-relung palsu dengan gambaran muka manusia di tengahnya. Motif ini disebut motif kudu di India selatan dan di India utara disebut motif Gavaksa (go-aksa).
Candi tertua yang ada di Indonesia adalah candi-candi di komplek Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Hal yang menarik perhatian dari candi-candi ini adalah bahwa walaupun candi-candi di komplek Dieng berasal dari satu masa, gaya setiap candi sangat berbeda. Misalnya Candi Bhima di komplek tersebut mempunyai gaya kuil India utara, sedangkan candi-candi lainnya mempunyai gaya India selatan.
Sementara itu, candi-candi seperti Candi Arjuna, Candi Puntadewa, Candi Subhadra, Candi Srikandi, dan sebagainya di komplek yang sama mempunyai gaya India utara. Walaupun begitu, terlihat ada beberapa perbedaan ciri di antara candi-candi tersebut. Dengan demikian, candi-candi di komplek Dieng bisa menjadi salah satu bukti peranan para silpin (seniman) Indonesia, walaupun tidak menuntup kemungkinan adanya campur tangan para penguasa daerah itu.
Contoh kedua adalah Candi Borobudur. Beberapa adegan pada relief candi Borobudur menggambarkan kehidupan sehari-hari di Jawa. Misalnya orang-orang yang sedang berjualan di pasar, orang menanam padi di sawah, memanen, dan memikul padi, dukun menolong kelahiran bayi, dan sebagainya.
Di samping itu, diatas relief Mahakarmawibhanga yang dipahat di kaki candi Borobudur yang tertutup, di atas panil terdapat tulisan (inskripsi) berupa kata-kata petunjuk untuk para seniman, yang akan memahat adegan di panil-panil tersebut. Petunjuk ditulis dengan aksara Jawa kuno (bukan Deva-nagari). Kalaupun ada kata-kata Sansekerta, itu tidak ditulis secara benar, maksudnya tidak diberi akhiran kasus tertentu.
Misalnya untuk pemahatan kata surga hanya ditulis "Swargga" tanpa embel-embel akhiran (ber) kasus. Sebab, bila inskripsi tersebut ditulis oleh seniman India, maka kalau yang digambarkan di surga harus diberi akhiran kasus lokatif, yakni jadi "Swargge"; atau makhluk surga kata swargga harus diberi akhiran kasus genitif, dan sebagainya. Petunjuk tanpa akhiran kasus, bagi seniman Jawa kuno tidak masalah, demikian pula aksara Jawa kuno adalah aksara mereka.
Berbeda bagi silpin atau seniman India, petunjuk tanpa akhiran kasus akan membuat mereka kesulitan, adegan apa yang harus mereka gambarkan di panil itu. Terlebih aksara Jawa kuno bukanlah aksara yang mereka kenal.
Demikianlah, ada dua contoh yang dapat membuktikan bahwa yang mendirikan candi-candi di Jawa bukan orang India, tetapi orang Jawa sendiri. Mungkin dapat ditambahkan disini, ketika mengadakan penelitian di sekitar candi-candi, ahli arkeologi tidak pernah menemukan sisa-sisa "Kampung Keling". Apabila benar orang-orang India yang mendirikan candi-candi di Indonesia, tentunya hal itu akan memakan waktu lama, dan mereka dengan sendirinya akan menetap di sekitar candi yang sedang dibangunnya tersebut. Lewat tulisan singkat ini diharapkan tidak lagi terjadi mispersepsi mengenai siapa pendiri candi-candi di Indonesia (Hariani Santiko)

Jumat, 30 September 2011

SIAPA PENDIRI CANDI-CANDI ITU ?

Sisa-sisa ritual agama Hindu dan Buddha banyak tersebar di beberapa pulau di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sisa-sisa ritual tersebut kebanyakan berupa bangunan suci yang disebut Candi, kemudian ada pula beberapa kolam suci yang disebut Patirthan, dan beberapa goa pertapaan.
Kehadiran candi-candi sangat menarik perhatian. Bentuknya unik, mirip dengan bangunan kuil Hindu di India, serta terbuat dari batu andesit, batu padas, dan beberapa dibuat dari batu bata. Pertanyaan yang sering muncul adalah apa fungsi candi-candi itu ? Apakah hanya untuk memuja Dewa ataukah ada fungsi lain.
Sementara itu, juga ada yang beranggapan bahwa candi adalah makam raja-raja pendirinya. Suatu anggapan yang tidak tepat. Demikian pula ada pertanyaan, siapakah pendiri candi-candi itu ? karena mirip dengan kuil-kuil India, serta merta ada anggapan bahwa pendirinya adalah orang-orang India yang "menaklukkan" raja-raja Indonesia dahulu kala. Ini pun suatu anggapan yang-sekali lagi- tidak tepat.
Candi dan sisa-sisa ritual agama Hindu-Buddha lainnya telah diteliti, dari segi keagamaan, arsitektural, fungsinya dan lain sebagainya, oleh para ahli arkeologi yang mengkhususkan diri untuk mempelajari hal-hal tersebut. Salah satu hasil penelitian mereka akan dipaparkan disini, yaitu tentang siapa pendiri candi-candi tersebut.
Hubungan dagang antara India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah lama terjadi. Hubungan yang bermotif komersial ini kemudian berkembang ke arah hubungan yang bersifat keagamaan. Hal itu dimungkinkan karena awal hubungan dagang India-Indonesia ini waktunya hampir bersamaan dengan perkembangan agama Buddha yang mewajibkan para pendetanya untuk menyebarkan agama tersebut.
Salah satu usaha para Biksu tersebut adalah ikut kapal-kapal pedagang India. Kehadiran para Biksu di kapal-kapal dagang ini dibuktikan oleh penemuan arca-arca Buddha di situs-situs yang dekat dengan alur perdagangan misalnya arca Buddha dari Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad ke-2 Masehi. Di Kota Bangun (Kutai) ditemukan pula arca-arca Buddha gaya Gandhara yang diperkirakan berasal dari abad 2-3 Masehi. Demikian pula sebuah arca Buddha di Bukit Siguntang, Palembang, dari masa yang sama dengan kedua arca dari daerah Sulawesi tersebut.
Berbeda dengan pendeta Buddha, pendeta agama non Buddha, yakni agama Veda dan Hindu, tidak menyebarkan agamanya seperti halnya para Biksu, tetapi mereka datang atas undangan para raja yang memerlukan pertolongan untuk melaksanakan suatu upacara agama. Salah satu contohnya terdapat dalam prasasti yang disebut Yupa dari tepi sungai Muarakaman. Para Wipra (Pendeta ahli Veda) pernah diundang oleh raja-raja Kutai untuk menjalankan upacara agama di sebuah lapangan suci (Ksetra) yang disebut Vaprakeswara.
Di samping pendeta-pendeta India secara aktif menyebarkan agamanya di Indonesia, terdapat orang-orang Indonesia yang pergi ke India untuk belajar agama. Hal ini disebutkan minimal oleh dua buah prasasti. Bahkan, menurut salah satu prasasti itu, seorang raja Sriwijaya telah minta kepada raja dari dinasti Pala untuk membuatkan asrama untuk tempat tinggal para pelajar Indonesia tersebut di Nalanda, India. Para pelajar inilah yang memegang peranan penting dalam pendirian candi-candi di Jawa.

Kamis, 25 Agustus 2011

IKWAL PENULISAN SEJARAH DAN PERISTIWA G 30 S ( 3 )

Surat kabar Washington Post dan laporan Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA) mengenai Peristiwa G 30 S menyebut pembantaian massal yang terjadi saat itu sebagai yang terburuk di dunia setelah era Stalin dan Nazi Jerman. Namun pembantaian tersebut tidak tercakup dalam buku pelajaran Sejarah Indonesia di sekolah.
Buku pelajaran Sejarah tidak akan berubah karena dilihat sebagai bagian dari indoktrinasi. Maka, tidak akan pernah ditulis hubungan dekat dan berlangsung lama antara Soeharto dan Syam Kamaroezaman, "Biro Khusus" PKI, Letnan Kolonel Oentoeng, dan Brigjen Soepardjo, mereka adalah motor Peristiwa G 30 S.
Ikhwal peran PKI sendiri menjadi lebih jelas dalam telegram rahasia Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Marshall Green, 5 Oktober 1965. Ia minta petunjuk Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengenai langkah yang akan ditempuhnya, antara lain menyebarkan informasi bahwa PKI bersalah, berkhianat, dan bertindak brutal.
Agar semua lancar, Duta Besar Marshall Green menyarankan Amerika Serikat segera membantu kebutuhan Angkatan Darat. Dalam telegram sebelumnya, masih pada hari yang sama, Marshall Green mengatakan, inilah saatnya Angkatan Darat menghantam PKI. "Sekarang atau tidak akan pernah lagi." Esoknya, melalui telegram rahasia, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Ball menjawab, Radio Amerika Serikat VOA (Voice of America) mulai menyebarkan informasi "PKI yang salah".
Laporan CIA kepada Presiden Johnson, 6 Oktober 1965, menyebut tokoh-tokoh PKI telah melarikan diri atau bersembunyi. Kebijakan partai tidak mendukung G 30 S. Anggota partai yang mendukung G 30 S dicap melakukan petualangan.
Sejarah memang akan membuktikan kebenarannya. Namun, apa yang benar bagi pejabat belum tentu demikian bagi rakyat. Kebenaran hanya diketemukan dalam kejujuran, sementara kekuasaan menggoda pejabat Indonesia tidak jujur (Maruli Tobing)

Minggu, 31 Juli 2011

IKWAL PENULISAN SEJARAH DAN PERISTIWA G 30 S ( 2 )

Rezim militer Soeharto yang berkuasa dengan senjata selama 32 tahun membakukan Peristiwa G30S sebagai bentuk pengkhianatan PKI dengan melakukan kudeta. Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soeharto berhasil menggagalkannya. Menyelamatkan bangsa dan negara. Marxisme-Leninisme dan Komunisme kemudian diharamkan di Indonesia.
Pemahaman demikian berubah menjadi indoktrinasi dan ditanamkan sejak bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Di tempat bekerja diselenggarakan program P4. Di luar jalur ini di cap subversi. Maka, seorang mahasiswa di Yogyakarta diganjar hukuman tujuh tahun hanya karena menjual buku karya Pramoedya Ananta Toer.
Namun, sejarah yang disebut sebagai bukti kesaktian Pancasila itu tidak menjelaskan Proklamator dan pencetus Pancasila, Bung Karno, yang dipreteli kekuasaannya dan dikenai status tahanan rumah. Status yang melekat hingga akhir hayatnya.
Peristiwa G 30 S menurut Orde Baru adalah rangkaian kekejian PKI. Sebaliknya, penyiksaan dan pembantaian massal terhadap lebih kurang satu juta rakyat Indonesia yang dituduh anggota dan simpatisan PKI dan organisasinya dilarang diungkapkan.
Kematian mereka tidak perlu diingat, apalagi dipersoalkan. Demi mempertahankan "Pancasila", khususnya sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, mereka layak dibantai. Rumah, lahan, dan harta benda mereka dirampas. Istri atau anak-anaknya layak diperkosa. Puluhan ribu orang ditahan dan disiksa selama bertahun-tahun tanpa proses hukum.
Tidak cukup hanya itu saja, hingga sekarang anak dan cucu eks tahanan politik kehilangan haknya sebagai warga negara, termasuk dalam memperoleh pekerjaan di lingkungan pegawai negeri, polisi maupun TNI.
Sejarah G 30 S yang "didongengkan" rezim diktator Soeharto bukan konflik antar faksi dalam tubuh Angkatan darat. Keterlibatan "oknum" militer hanya karena "dipengaruhi" PKI. Termasuk prajurit yang menembak mati para Jendral-nya.
Sebaliknya, sebagai tentara pejuang, Angkatan darat telah menunjukkan prestasinya menumpas PKI, pengkhianat bangsa. Bukti kesetiaan tentara menjaga dan menyelamatkan keutuhan bangsa dan negara. Soal pemberontakan PRRI/Permesta yang dimotori oleh para perwira militer, itu dianggap angin lalu.
Peristiwa G 30 S PKI menjadi sumber legitimasi militer menguasai pemerintahan. Sipil yang selama ini hanya melahirkan perpecahan dan gontok-gontokan menjadi warga negara kelas kambing. Dwifungsi ABRI kemudian disebut sebagai tuntutan sejarah, yang harus dilaksanakan secara konsekuen.
Maka, mutasi nasional dilakukan di segala lapisan dan sektor. Militer memegang jabatan mulai dari Lurah hingga Presiden, manajer Koperasi Unit Desa (KUD) hingga direktur utama BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Seorang sersan dianggap lebih tepat memimpin KUD ketimbang sarjana ekonomi.

Kamis, 30 Juni 2011

IKWAL PENULISAN SEJARAH DAN PERISTIWA G 30 S ( 1 )

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya, kata Bung Karno di masa lalu. Satu hal yang niscaya dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun, rekonstruksi peristiwa masa lalu terbuka bagi multi-interpretasi dan manipulasi. Maka, pemahaman sejarah kerap jadi masalah dan sumber malapetaka.
Obyektivitas sejarah hanyalah suatu idaman dan kemasan. Kekuasaan dan selera pejabat jauh lebih menentukan, bagaimana peristiwa masa lalu harus ditulis dan diinterpretasikan. Dalam hal ini sejarah menjadi mirip indoktrinasi. Harus putih dan bersih. Noda hitam hanya perbuatan pengkhianat, musuh bangsa, dan subversi.
Mataram di bawah Sultan Agung Hanyokrokusumo, misalnya, merupakan peristiwa kepahlawanan. Embrio bangkitnya "Kesadaran Nasional" menentang penjajah. Sementara kekejaman dan penindasan penguasa Mataram terhadap rakyat dianggap tidak relevan sebagai fakta sejarah.
Pemahaman kita mengenai peristiwa G 30 S berada pada tataran demikian. Beberapa waktu yang lalu Menteri Pendidikan Nasional meminta Kejaksaan Agung menarik buku pelajaran sejarah yang terlanjur di beredar di sekolah menengah pertama dan atas. Alasannya, penulis buku menghilangkan nama PKI di belakang akronim G 30 S.
Bagi Mendiknas, masalah ini serius, bahkan dianggap memutarbalikkan "fakta" sejarah. Hal yang membahayakan generasi muda bangsa. Kejaksaan Agung masih meneliti buku tersebut. Bukan mustahil penulisnya dipidana.
Lantas, bagaimanakah seharusnya sejarah G 30 S ditulis ?

Selasa, 31 Mei 2011

TERLUPAKAN : NASIONALISME ALA PEMUDA (4)

Arti dari itu semua adalah bahwa wacana (discourse) tentang nasionalisme populer muncul dari kalangan pemuda dan menjadi pendorong berdirinya negara Indonesia. Wacana itu muncul dari pengalaman konkret para pemuda dari berbagai kelompok maupun kelas sosial yang bersama-sama menghimpun kekuatan untuk mengusir kekuatan fasis dan imperialis dari wilayah yang kemudian mereka namakan bangsa Indonesia.
Dalam bukunya, Java in a Time of Revolution : Occupation and Resistence, 1944-1946, terbitan Cornell University Press. 1972, maupun dari edisi Indonesianya, Revolusi Pemuda Terbitan Sinar Harapan, 1988, Ben Anderson menguraikan bahwa "Organisasi-organisasi Pemuda yang terbentuk di masa pendudukan adalah hasil dari situasi krisis. Lembaga ini bukanlah sebuah jejak untuk menapaki karier atau bagian dari siklus kehidupan. Organisasi-organisasi itu diciptakan bagi satu momen sejarah ke depan, yaitu sejarah terbentuknya sebuah bangsa".
Pengalaman mereka di dalam organisasi-organisasi tersebut memungkinkan para pemua membangun rasa solidaritas, rasa persaudaraan, serta kekuatan massa diantara mereka sendiri yang dalam kenyataannya berasal dari berbagai daerah, kelompok budaya, agama maupun kelas sosial. Pentingnya kelompok-kelompok ini terletak bukan pada pengaruhnya terhadap pemerintahan pendudukan, melainkan pada identitas-identitas politik yang mereka ciptakan, yang menjadi sangat berarti setelah berakhirnya perang itu.
Bahkan menurut Ben Anderson, gerakan bawah tanah yang dijalankan para pemuda paling tepat dilihat sebagai kerangka pemikiran ketimbang sebagai organisasi atau bahkan kelompok-kelompok. Ia mencerminkan kemauan yang tumbuh di pihak pemuda metropolitan untuk menganggap diri sebagai pemikir pikiran-pikiran berbahaya. Jika seseorang merasa terhina oleh penderitaan yang dialami sebagian besar penduduk, oleh kelaparan yang merajalela, oleh perilaku menjijikkan aparat pemerintah dalam menyusun daftar penduduk yang akan dijadikan Romusha dan menjalankan setoran wajib beras bagi Jepang, seseorang itu sudah dapat dianggap berada dalam gerakan bawah tanah.
Rasa solidaitas dan persatuan terbangun untuk bukan saja menghadapi kekuatan asing di Tanah Air mereka, tetapi juga untuk sebuah cita-cita akan negeri yang baru, yang merdeka dan bebas dari segala bentuk penindasan. Barangkali benar pernyataan Soekarno bahwa "Di tangan pemudalah terletak masa depan bangsa Indonesia". (BI PURWANTARI)

Kamis, 31 Maret 2011

TERLUPAKAN : NASIONALISME ALA PEMUDA (3)

Langkah para pemuda memperjuangkan kemerdekaan negerinya seringkali tidak sejalan dengan pemikiran para pemimpin nasional. Ketika berita kekalahan demi kekalahan pasukan fasis di Eropa maupun kapitulasi Jepang sampai ke telinga para pemuda, mereka segera menyusun rencana untuk mempercepat tercapainya kemerdekaan. Beberapa pemuda, yaitu Trimurti, Chaeroel Saleh, Pandoe, Adam Malik, Wikana, B.M. Diah, Soepeno, Soekarni, mendesak para pemimpin nasional yang sedang di Jakarta untuk-dengan atau tanpa izin Jepang-mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan. Desakan ini disambut dengan senyuman dan peringatan agar tidak percaya kabar angin tentang situasi di Eropa.
Namun, para pemuda tetap bergerak mempersiapkan kemerdekaan. Bagi mereka, kemerdekaan tidak dapat ditunda. Oleh karena itu mereka memutuskan para pemimpin yang berpengaruh harus dilepaskan dari cengkeraman Jepang agar tidak ditangkap Jepang karena mengikuti rencana pemuda. Maka terjadilah "penculikan" Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Jepang masih berusaha mencegah dibacakannya proklamasi dengan mengirimkan utusan untuk mengembalikan kedua pemimpin nasional ke Jakarta agar pertumpahan darah dapat dicegah. Balasan pemuda adalah proklamasi tidak dapat diganggu gugat lagi. Kedua pemimpin tidak akan diserahkan ke Jepang dan pertumpahan darah hanya dapat dicegah jika Jepang tidak merintangi pembacaan proklamasi.
Perundingan dengan Jepang diadakan lagi dan Jepang tetap tidak mau membiarkan proklamasi dilakukan, sementara pihak Indonesia yang diwakili dua pemuda (Soekarni dan Chairoel Saleh) tetap akan melakukannya. Di bawah ancaman Jepang, naskah proklamasi ditulis dan ditandatangani Soekarno-Hatta. Pada saat itu saluran komunikasi, seperti radio sepenuhnya dikuasai Jepang dan dijaga dengan senjata. Oleh karena itu, naskah proklamasi yang telah diperbanyak disebarkan dari mulut ke mulut dan dari orang ke orang. Proklamasi pun dibacakan.
Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda masih terus aktif membangun gerakan, terutama untuk mengusir Jepng dan Sekutu.

Minggu, 27 Februari 2011

TERLUPAKAN : NASIONALISME ALA PEMUDA (2)

Organisasi massa yang cukup besar dengan anggota-anggota yang berasal dari beberapa daerah dan didirikan atas inisiatif Soekarno setelah ia dipulangkan ke Jawa oleh Jepang adalah PUTERA (Poesat Tenaga Rakjat).
Tujuan pendirian ini untuk menanamkan jiwa kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia. Upaya ini mendapat sambutan dari rakyat dan semangat kemerdekaan menggelora. Pemerintah Jepang ketakutan dengan perkembangan organisasi ini sehingga setelah 10 bulan berdiri, lembaga ini dibubarkan dan diganti dengan Djawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Meskipun Soekarno masih memimpin organisasi ini, namun karakternya bukan lagi sebagai PUTERA sehingga tidak banyak yang terlibat didalamnya.
Setelah PUTERA dibubarkan, selain membentuk Djawa Hokokai, Jepang juga mendirikan Angkatan Muda, Seinendan, dan Keibodan. Kegiatan aktif para pemuda anti fasis membentuk sel-sel baru itu bertujuan menghalangi semakin meluasnya semangat perang untuk Jepang di kalangan untuk Jepang di kalangan anggota organisasi-organisasi bentukan Jepang. Pendirian organisasi tidak hanya terjadi di Jakarta. Barisan Rakyat Indonesia (BRI) misalnya dibentuk di Solo, Yogyakarta, dan Purwodadi. Maksud pendiriannya sebagai kedok membantu Jepang selama masa pendudukan, sedangkan di dalam organisasi ini para pengurusnya berusaha menghimpun para pemuda lain dan menyusun kekuatan massa. Mereka memperbanyak sel-sel dan kader-kader baru, baik di daerah perkotaan maupun perkampungan dan sekolah-sekolah.
Gerakan bawah tanah yang dilaksanakan para pemuda itu bukannya tidak menuai penderitaan atas diri mereka. Beberapa yang akhirnya diketahui sebagai mata-mata ditangkap oleh Ken Pei Tai, disiksa, dan dipenjarakan, bahkan ada yang dihukum mati. Banyak lagi lainnya yang berhasil lolos sebelum sempat ditangkap, segera dikirim menjauh, masuk ke kampung-kampung membaur dengan rakyat biasa. Penangkapan dan pemenjaraan terjadi di seluruh wilayah, baik Jakarta maupun Jawa Tengah Selatan, dan Jawa Timur.

Minggu, 30 Januari 2011

TERLUPAKAN : NASIONALISME ALA PEMUDA (1)

"Lebih baik moesnah daripada didjadjah", "Lebih baik mati tergilas oleh pertempoeran daripada hidoep menjerah serta ditahan oleh tentara imperialis djahanam". Begitulah bunyi ungkapan-ungkapan kemarahan para pemuda saat revolusi kemerdekaan 1945. Ungkapan-ungkapan para pemuda tersebut memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa tidak dapat disangkal apabila dikatakan bahwa pemudalah yang menjadi penghela, pendukung, dan pembela Revolusi Indonesia.
Pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia, para pemuda aktif membangun gerakan bawah tanah dengan cara menyelundup ke dalam organisasi-organisasi bentukan Jepang seperti Heiho, Peta, Seinendan, Kaigun, Barisan Pelopor, bahkan juga menyusup ke Ken Pei Tai (Polisi Rahasia Jepang). Bentuk penyusupan mereka adalah dengan bekerja di lembaga-lembaga Jepang tersebut. Mereka yang bekerja di dalam diwajibkan menanam sel-sel yang akan menjadi tambahan kekuatan para pemuda selain juga untuk mendapatkan informasi tentang siapa yang akan ditangkap pleh Ken Pei Tai. Sementara mereka yang tidak menyusup, aktif merekrut para pemuda dengan mendatangi rumah-rumah atau tempat kerja mereka dan menyebarkan berbagai bacaan untuk menjadi bahan diskusi atau mendirikan organisasi antifasis di bawah tanah.
Di wilayah Jakarta tercatat beberapa organisasi yang aktif menentang pemerintah fasis Jepang, yaitu Barisan Pemuda Gerindo-sayap pemuda dari Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)-Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), Barisan Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Buruh Indonesia, dan Barisan Rakyat (Bara) yang dibentuk setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Selain organisasi-organisasi tersebut, para pemuda juga mendapatkan pendidikan politik di beberapa asrama, yaitu Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 yang dipimpin oleh Soekarni dan Chairoel Saleh serta Asrama Indonesia Merdeka dibawah pimpinan Wikana dengan dibantu oleh D.N. Aidit dan Samsudin. Asrama-asrama itu didirikan oleh Jepang dengan perantaraan beberapa pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Moehammad Hatta, dan Soebardjo. Meskipun didirikan oleh Jepang, namun asrama itu juga menjadi tempat memberikan pelajaran politik antifasis sehingga bagaimanapun kerasnya usaha para pembesar Jepang mempengaruhi para pemuda, perlawanan berupa debat dan kritik terus menerus tetap ada.