Minggu, 30 Agustus 2015

PARA NYAI SAMPAI PSK IMPOR ( 2 )

J.P. Coen, yang beristrikan Eva Ment, perempuan muda Belanda yang disebut-sebut sebagai perempuan dengan perangai tak tercela menyatakan pergundikan harus diberantas. Menurut J.P. Coen, pergundikan mengakibatkan keguguran kandungan, pembunuhan bayi, dan terkadang peracunan suami oleh gundik yang cemburu.
Meski sangat anti pelacuran, pergundikan, dan perzinaan, J.P. Coen dan para penggantinya gagal memberantasnya. Cerita-cerita pernyanyian masih terdengan hingga zaman Belanda paska VOC yang bangkrut pad akhir 1799. Gundik yang paling sohor di Betawimungkin nyai Dasima, tokoh roman sejarah abad ke-19, yang menurut salah satu ceritanya, mati di tangan jago silat Bang Puase atas suruhan istri tua Bang Samiun.
Nyai Dasima kawin dengan Bang Samiun, tukang Sado dari Kwitang, setelah ia kabur dari Tuan Edward, laki-laki Inggris yang sebelumnya menjadikannya istri simpanan tanpa nikah.
Pelacuranpun maju pesat. Menurut budayawan Betawi, Alwi Shahab, pada abad ke-19 di Gang Mangga, dkat stasiun KA Jakarta Kota, ada tempat pelacuran yang populer di kalangan Taipan alias pengusaha kelas kakap. Mereka berbondong-bondong kesana karena banyak Amoy, perempuan Cina yang didatangkan khusus dari Makau.
Dekade 1960-1970-an, lokasi prostitusi bertumbuhan di berbagai sudut Jakarta, mulai di jalan Halimun, di daerah Guntur, Jakarta selatan ; Planet Senen di daerah Senen, Jakarta pusat; sampai kompleks WTS Kebun Sirih di belakang stasiun Jatinegara, Jakarta timur. Saerah "Lampu Merah" Encim Jangkrik di daerah Gedong Panjang Penjaringan, Jakarta utara mungkin juga mulai mulai berdiri pada masa ini.
Setelah hampir 10 tahun berlalu, terbukti sudah bahwa penutupan Lokalisasi Kramat Tunggak tak mengubah apapun. Gubernur Jendral J.P. Coen yang memimpin Batavia dengan tangan besi saja tang sanggup menghilangkan pelacuran, apalagi penguasa Batavia saat ini yang sarat dengan kepentingan dan tekanan politik. (Mulyawan Karim)

Kamis, 23 Juli 2015

PARA NYAI SAMPAI PSK IMPOR ( 1 )

Jakarta adalah salah satu kota Metropolitan dunia yang resminya tak punya daerah "Lampu Merah". Sekitar 16 tahun yang lalu, akhir tahun 1999, pemerintah menutup lokalisasi pelacurana Kramat Tunggak, satu satunya tempat pelacuran yang boleh dianggap resmi.
Hingga akhir hayatnya, akhir tahun 1999, Kramat Tunggak (Kramtung) merupakan lokalisasi paling akbar di ibukota. Luasnya mencapai sekitar 11 hektar dan dihuni tak kuran 1600 Pekerja Seks Komersial (PSK).
Meski lokalisasi yang dikelola Dinas Sosial DKI Jakarta itu sudah tinggal nama, tak berarti prostitusi ikut tumpas sama sekali. Sampai hari ini kupu kupu malam masih gampang ditemui di berbagai kompleks pelacuran gelap, seperti Pela-Pela, Rawa malang, dan Kali Jodo.
PSK yang lebih berkelas mangkal di berbagai tempat hiburan malam yang banyak terdapat di daerah kota, Jakarta Barat. Bahkan, PSK itu tak hanya orang lokal tetapi juga didatangkan dari wilayah Eropa timur, Eropa tengah, maupun daratan Cina.
Usia prostitusi di Jakarta hampir sama tuanya dengan usia kota itu sendiri. "Bisnis Berahi" sudah ada dan berkembang setidaknya sejak awal masa Belanda berkuasa pada abad ke-17 dan 18. Rumah-rumah bordil yang pernah berdiri di bagian luar di luar tembok benteng VOC di daerah Pasar Ikan.
Dalam buku :"Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda Di Batavia VOC (1988), Sejarawan Belanda, Leonard Blusse, mengatakan, rumah-rumah bordil itu biasa didatangi serdadu-serdadu yang ingin berplesiran dengan perempuan-perempuan penghuninya. Hal ini dilakukan karena serdadu kompeni Belanda dilarang membawa perempuan ke dalam barak-barak mereka.
Seperti yang sering terjadi sekarang, sebagian perempuan warga Batavia waktu itu menjadi pelacur bukan atas kehendak sendiri. Sebuah sumber sejarah mengungkapkan, pada 1625 ada seorang perempuan pribumi yang bernama Maria yang mengadukan suaminya, Manuel , karena tiap hari memaksa dirinya dan budak perempuannya mencari nafkah haram dengan menjual diri kepada para laki-laki Belanda.
Pelacuran tumbuh subur di Batavia lama, antara lain, karena kurangnya jumlah perempuan Eropa yang boleh dikawini laki-laki Belanda. Apakah itu para pegawai dan serdadu VOC maupun mereka yang berasal dari golongan Burgher, yaitu pegawai VOC yang sudah keluar dari perusahaan dagang dan menjadi pengusaha mandiri.
Untuk mengatasi krisis perempuan di kota yang baru didirikan tahun 1619, Gubernur Jendral VOC, Jan Pieterzoon Coen (JP Coen) sempat meminta para petinggi VOC di Belanda untuk mengirimkan ke Batavia ratusan anak perempuan berumur 10-12 tahun. Rencananya yang akan diambil adalah gadis-gadis yang berasal dari berbagai rumah yatim piatu di Belanda. Mereka akan dititipkan pada keluarga-keluarga dan dididik di sekolah-sekolah yang dibiayai Kompeni sebelum dikawinkan saat mereka sudah mencapi usia akil balig.
JP Coen berpendapat, ketersediaan perempuan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi VOC jika ingin sukses berdagang di Hindia Timur. "Jika perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan Hindia akan menjadi milik anda," demikian tulis Coen dalam suratnya kepada Heeren XVII (Tuan Tujuh Belas), dewan komisaris VOC.
Sayang, usul pengiriman para istri dari Eropa untuk ikut mengisi koloni Belanda di Batavia tidak disetujui. Mungkin karena ongkosnya terlalu mahal.
Masalah susila lain yang dihadapi JP Coen adalah pergundikan, yang juga marak di Batavia. Hampir semua pejabat VOC bawahannya punya gundik yang disebut Nyai. Awalnya yang favorit dijadikan gundik adalah perempuan blasteran Portugis-Asia, yang sebagian didatangkan dari Malaka, setelah pelabuhan di Semenanjung Melayu tersebut direbut VOC dari tangan Portugis, pertengahan abad ke-17.
Poligami pun jadi hal yang lumrah. Banyak laki-laki Eropa punya dua atau tiga perempuan simpanan. Pergundikan kian marak karena praktek kumpul kebo dilakukan pula oleh para pedagang Cina yang juga datang ke Batavia sendiri dari negeri asalnya

Minggu, 29 Maret 2015

PAKUAN, KOTA TUA YANG HILANG (4)

Kerajaan Sunda Pajajaran mengalami kemunduran sejak Surawisesa digantikan oleh Ratu Sakti (1543-1551). Dibawah kepemimpinan Ratu Sakti, nasib rakyat diabaikan. Yang dipentingkan hanya kesenangan pribadi. Penulis naskah kuno Carita Parahyangan menyindir tajam " Aja timut de sang kawuri polah sang nafa", Artinya, jangan ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikannya.
Ratu Sakti digantikan oleh Prabu Nilakenda (1551-1567). Namun, selama 16 tahun berkuasa keadaannya sudah sedemikian parah. Korupsi dan penyelewengan merajalela. Karena salah urus, tanah Sunda yang subur hanya mengakibatkan kemelaratan dan kelaparan bagi rakyatnya. Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan (Petani menjadi serakah akan makanan sehingga mereka tidak merasa tentram jika tidak menanam sesuatu). Korupsi dan penyelewengan merajalela.
Dalam keadaan seperti itu, nasib pemerintahannya dipertaruhkan dengan membangun proyek-proyek mercusuar seperti memperindah istana berhiaskan emas. Tiap raja dan pengikut setianya menyelenggarakan pesta pora sampai mabuk mabukan. Penulis Carita Parahyangan melukiskan nasib kerajaan Sunda Pajajaran yang sudah berada diambang kehancuran dengan kalimat singkat " Itulah bunga pralaya yang disebut jaman kali atau kaliyuga". Zaman Pralaya adalah jaman kehancuran.
Kerajaan Sunda pajajaran hancur pada tahun 1579, pada akhir masa pemerintahan Ragamulya Suryakencana (1567-1579). Namun, hal itu terjadi karena serbuan Banten dibantu Demak dan Cirebon yang sebelumnya sudah beberapa kali mengalami kegagalan. Ketika pasukan itu berhasil memasuki Pakuan, kratonnya sudah kosong ditinggalkan raja dan pengikut setianya.
Orang-orang Sunda mengobati kesedihannya dengan kalimat singkat : "Pajajaran tidak hilang , tapi ngahyang". (Heri Suganda)

Sabtu, 31 Januari 2015

PAKUAN, KOTA TUA YANG HILANG (3)

Selain sungai-sungai yang mengapitnya. Pakuan dikelilingi benteng yang memanfaatkan keadaan lingkungan alam sekelilingnya berupa  tebing-tebing curam yang terdapat di tiga sisinya. Kecuali salah satu sisi di bagian tenggara yang merupakan lahan datar. Benteng-benteng di kampung Lawang Gintung dan Bantar Peuteuy, menurut Saleh Danasmita terletak pada tebing kampung Cincau yang menurun terjal ke arah Lembah Cipakancilan.
Benteng itu bersambungan dengan tebing gang beton yang terletak di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang jalan Suryakencana, lalu membelok ke arah tenggara sehingga letaknya sejajar. Ia menambahkan, deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dan Jalan Roda sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan di atas lahan bekas benteng.
Benteng itu selanjutnya mengikuti puncak lembah Ciliwung. Danasasmita menambahkan, hal yang sama juga terdpat pada deretan kios dekat simpang Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.. Di bagian ini, benteng itu bertemu dengan dengan benteng kota dalam yang membentang sampai Jero Kuta Wetan dan Dereded, Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung, kemudian melewati komplek perkantoran PAM, lalu menyilang jalan raya Pajajaran. Pada perbatasan kota, benteng itu membelok lurus ke arah barat daya, menembus jalan Siliwangi dan terus mememanjang sampai kampung Lawang Gintung.
Di tempat yang terakhir ini, benteng tersebut bersambungan dengan puncak tebing Cipaku yang curam sampai lokasi yang kini dijadikan Stasiun Kereta Batutulis. Dari tempat ini, batas Pakuan membentang sepanjang jalur rel Kereta api yang menghubungkan Stasiun Bogor dengan Stasiun Sukabumi, melewati jembatan Bondongan sampai tebing Cipakancilan. Tebing sungai itu memisahkan ujung benteng pada tebing Kampung Cincau.
Akan tetapi, benteng yang kokoh bukanlah jaminan sebuah negara bisa tetap dipertahankan. Sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran mewariskan pelajaran bergharga bagi para pengelola negara yang sedang berkuasa. Kerajaan ini mengalami kemunduran sepeninggal Sri Baduga, bukan hanya karena munculnya kekuatan baru dari Cirebon yang dibantu Demak dan Banten yang bercorak Islam. Kerajaan Cirebon dan Banten sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Sunda Pajajaran.