Senin, 29 Juni 2009

SAMIN, KULTUR BERLATAR PERLAWANAN PENJAJAH

"Jangan khawatir, aku akan membantu kamu untuk mengusir Belanda. Hanya syaratnya berat. Aku akan mencari jago trondol (ayam jantan yang kepalanya tidak berbulu) dari timur laut untuk sarana kamu merdeka. Oleh karena itu, kamu lekas pulang, beri tahu anak cucumu agar menyiapkan garam dan menanam kapas karena akan mahal pakaian dan makanan ..."
Kutipan diatas yang aslinya berbahasa Jawa itu merupakan wangsit yang diterima Ki Suro Kidin (menantu Ki Samin Surosentika) pada suatu hari di tahun 1939. Wangsit yang oleh orang Samin kemudian dinamakan aji pameling itu seolah-olah merupakan ramalan akan berakhirnya penjajahan Belanda dan digantikan oleh bala tentara Dai Nippon sejak tahun 1942.
Sepintas terasa bahwa wangsit itu senapas dengan ramalan Jayabaya mengenai kedatangan bangsa Kate (Jepang) yang seumur jagung itu. Apa ada kaitan kedua ramalan tersebut ? Atau mungkin hanya sebentuk koinsidensi ; sesuatu yang terjadi bersamaan namun tidak saling mempengaruhi.
Membicarakan komunitas Samin tidak akan lepas dari gerakan perjuangan melawan penjajah. Dirunut ke belakang, komunitas Samin berawal dari gerakan kultural perlawanan Kyai amin Anom alias Kyai Samin Surosentiko (meninggal di Sawah Lunto, Sumatera Barat, tahun 1914) yang menolak membayar pajak kepada penjajah Belanda.
Penolakan membayar pajak ini, menurut pemahakamn masyarakat Samin, merupakan perang secara damai atau tanpa senjata. Dalam peristilahan mereka, kondisi ini digambarkan sebagai dom sumusup ing banyu (jarum yang menyusup ke air).
Akan halnya Ki Samin Surosentiko, lelaki ini terlahir tahun 1859 di Desa Ploso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan nama R. Kohar. Dia merupakan putra dari R. Surowidjojo (Samin sepuh); salah satu anak R.M Adipati Brotodiningrat, yang pernah berkuasa sebagai bupati di Sumoroto yang termasuk wilayah Tulungagung, Jawa Timur antara tahun 1802-1826.
R. Surowidjojo sering merampok orang kaya yang menjadi antek belanda, kemudian membagi-bagikannya kepada orang miskin. "Robin Hood" Jawa ini kemudian menggunakan sisanya untuk mendirikan gerombolan pemuda bernama "Tiyang Sami Amin" pada thaun 1840.
Nama kelompok ini merupakan julukan R. Surowidjojo, yang diwaktu kecil bernama R. Surontiko. Samin diartikan sebagai sami-sami amin, yang bermakna apabila semua setuju maka dianggap sah.
beberapa pedoman hidup diajarkan oleh Ki Samin Surosentiko. Misalnya orang harus pasrah, sumeleh, sabar, narima ing pandum (ikhlas menerima). Orang jangan srei, drengki (dengki), dahwen, meren (iri), dan jangan semena-mena kepada orang lain.
Ki Samin memiliki andalan, yaitu Kitab Jamus Kalimasada yang ditulis dalam aksara Jawa. Kitab ini sekarang banyak disimpan sesepuh Samin Bojonegoro, Blora, Kudus, Brebes, Pati, dan Lamongan.
Ki Samin Surosentiko meninggalkan dua anak, Karto Kemis dan Paniyah. Paniyah kemudian dinikahi Ki Suro Kidin yang telah disebut diawal tulisan ini dan memiliki delapan anak kandung serta satu anak angkat. Anak angkat itu bernama Kamidin atau dikenal sebagai Surokarto Kamidin.
Surokarto Kamidin memiliki anak lelaki yang bernama Hardjo Kardi, yang hingga saat ini berdomisili di Dusun Jepang, Kecamatan Margomulyo, kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Dusun Jepang berada sekitar tujuh kilometer dari jalan besar jurusan Ngawi-Bojonegoro, tepatnya di Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo.
Menurut Hardjo Kardi, citra negatif yang kadang melekat pada masyarakat Samin mungkin merupakan imbas dari propaganda Belanda pada masa lalu. Diakui, generasi pendahulunya memang tidak mau membayar pajak karena saat itu yang memerintah bukan orang pribumi.
Sikap membangkang untuk membayar pajak ini kemudian dengan sendirinya berubah ketika Indonesia telah merdeka.
"Sak meniko sami taat mbayar pajek, sebab ingkang mrentah lan dipun prentah sami-sami tiyang Idonesia, sanes tiyang manca (Sekarang kami taat membayar pajak, sebab yang memerintah dan diperintah sama-sama orang Indonesia, bukan orang asing)" tutur Hardjo Kardi, ayah tujuh putra dan kakek delapan cucu ini.
mayoritas penduduk samin Bojonegoro bermata pencaharian petani dengan tanaman budidaya seperti Jagung, Kedelai, dan Bawang Merah. Mereka menjalin kemitraan dengan Perhutani. Selain bertani, banyak penduduk Samin yang memelihara sapi, kambing, dan ayam kampung.
Dalam hal keyakinan agama, hardjo Kardi berpendapat bahwa baik Islam, Kristen, maupun agama lainnya itu sama-sama mengarahkan umatnya ke jalan yang baik, tinggal bagaimana penerapannya.
Kelugasan dalam berbicara memang tampak jelas dalam langgam tutur warga masyarakat Samin. Tak jarang jawaban yang didapat pun singkat-sinhkat namun langsung menjawab inti persoalan.
Pola egaliter (kesamarataan) merasuk dalam kehidupan sehari-hari warga komunitas Samin. hardjo Kardi, misalnya sering kali menerima kunjungan para pejabat di rumahnya. Tetapi, dia tidak membeda-bedakan, baik ketika menyambut pejabat maupun menyambut masyarakat awam.
kerukunan dan gotong royong menduduki posisi penting dalam pemahaman mereka. demikian pula saling mengingatkan merupakan hal yang baik.
"Tiyang lali saged dielingke ning nek nglali niku angel ( orang yang lupa itu dapat diingatkan, tetapi kalau sengaja lupa itu yang sulit)" ujar Hardjo Kardi berfilsafat.
Meski tinggal di kawasan pedesaan, perkembangan sosial politik pun tak lepas dari pengamatannya. Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya Samin, sikap apa adanya selalu dia tampilkan, termasuk ketika menjelang Pemilu 2004.
Karena diberi tahu bahwa pemilu itu bersifat bebas dan rahasia maka dia tidak mau menunjukkan pilihannya kepada siapapun yang menanyakan hal tersebut. Dia mempersilahkan warganya untuk memilih sesuai pilihannya.
Dia mengaku pernah mendapat wangsit mengenai persyaratan yang sebaiknya dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar masa pemerintahnnya berjalan lancar.
Syaratnya begini " Presiden ingkang sakniki niku syarate kebo bule sing sungune dongkrok lan pitik walik setunggal, dipun beleh teng riko (Presiden yang sekarang itu syaratnya harus menyembelih kerbau putih yang tanduknya mengarah ke bawah dan ayam berbulu terbalik.
Sampeyan napa saged neruske pesen niki ? tanyanya yang berart apakah anda bisa meneruskan pesan ini
( Cyprianus Anto Saptowalyono)

TUJUH PRASASTI DARI RATU BOKO : RATU BOKO DULU BERNAMA WALAING

Kraton Ratu Boko di sisi utara pegunungan Sewu selama ini kalah pamor dibandingkan dengan Candi Prambanan. Padahal kedua peninggalan purbakala dari jaman Hindu ini hanya berjarak 3 kilometer. Candi Prambanan letaknya strategis, karena berada di pinggir jalan raya Yogya-Solo. Masyarakat yang melintasi jalan tersebut seolah-olah ditarik untuk melirik candi yang ramping menjulang ke langit itu.
Keadaan sebaliknya terjadi pada Kraton Boko. Tempatnya berada diatas bukit kapur. Untuk mencapainya orang harus menaiki tangga batu atau menyusuri jalan aspal mendaki jika memakai kendaraan bermotor. Keadaan lingkungan Ratu Boko ini sudah berubah banyak setelah diresmikan oleh Menparpostel menjadi kawasan wisata pada tanggal 10 April 1997 yang lalu.
Banyak orang menduga-duga hubungan antara Kraton Ratu Boko dengan Candi Prambanan. Salah satunya adalah legenda dara ayu Loro Jonggrang yang menjalin hubungan kasih dengan Bandung Bondowoso. Raden Bandung, demikian tokoh ini sering disebut, berasal dari Kraton Ratu Boko. Sebagai putra mahkota, ia mengharapkan akan mempunyai permaisuri yang cantik. Pilihannya jatuh kepada kembang desa Prambanan bernama Loro Jonggrang. Namun, ternyata Loro Jonggrang menolak kesempatan ini. Alasannya, raja yang berkuasa di Kraton Ratu Boko, yaitu ayah Bandung Bondowoso, terkenal sangat jahat. Kabar-kabarnya senang membunuh manusia.
Loro Jonggrang mengajukan syarat dibuatkan candi dengan seribu patung dalam semalam. Permintaan ini merupakan siasat untuk menolak pinangan Raden Bandung Bondowoso. Tanpa dinyana Raden Bandung Bondowoso hampir berhasil meluluskan permintaan yang mustahil tersebut. Dengan bantuan jin, tuyul, bekrakan, dan segala jenis makhluk halus, ia berhasil menyelesaikan pembuatan candi dengan 999 arca. Tinggal satu arca saja.
Loro Jonggrang lalu melakukan muslihat dengan memukul lesung yang menyiratkan matahari sudah terbit. Akibatnya bala bantuan Raden Bandung Bondowoso yang berupa makhluk halus penghuni gelapnya malam ini lari terbirit-birit. Maklum saja, mereka sangat alergi terhadap terangnya sinar matahari. Pembuatan candi menjadi terhenti. Raden Bandung Bondowoso menjadi marah sekali. Untuk melampiaskan emosinya, ditenungnya Loro Jonggrang menjadi arca keseribu. Terwujudlah sudah permintaan Loro Jonggrang akan sebuah candi dengan seribu arca.
Cerita rakyat Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso ini ternyata juga mengandung data-data sejarah hubungan kepurbakalaan Kraton Ratu Boko dengan candi Prambanan. Hubungan ini tersingkap setelah Dr. J.C. De Casparis meneliti prasasti Siwagerha. Prasasti ini bercerita tentang raja muda bernama Dyah Lokapala. ia telah menang dan dinobatkan di istana Medang dengan nama Rakai Kayuwangi.
Menurut Boechari, yang menyerang Rakai Kayuwangi adalah Rakai Walaing Pu Kumbhayoni. Rakai Walaing ini kita kenal dari tujuh prasasti yang ditemukan di bukit Ratu Boko, yaitu satu dari desa Pereng, satu dari desa Dawangsari, tiga dari pendopo teras Kraton Ratu Boko, dan dua buah tidak diketahui asalnya. Semuanya bernahasa Sansekerta, dengan huruf Jawa kuno. Satu prasasti berangka tahun 773 Saka (856 Masehi), sedang prasasti Pereng berasal dari tahun 784 Saka (25 Januari 863 Masehi).
Rakai Walaing merasa lebih berhak atas tahta Mataram daripada Rakai Pikatan yang memerintah pada waktu itu. Ia adalah cicit dari adik rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sementara Rakai Pikatan hanyalah menantu raja. Maka dapatlah difahami mengapa Rakai Walaing berusaha untuk merebut kekuasaan. Rakai Pikatan inilah yang mendirikan Candi Prambanan.
Perang perebutan tahtapun terjadi antara Rakai Pikatan melawan Rakai Walaing yang berlangsung sampai satu tahun. Anak bungsu Rakai Pikatan bernama Rakai Kayuwangi / Dyah Lokapala sebagai pemimpin pasukan yang gagah berani berhasil memukul mundur Rakai Walaing. Ia mengungsi ke atas bukit Ratu Boko dan membuat benteng pertahanan disana. Di dalam prasasti Siwagerha tempat ini digambarkan sebagai tempat pengungsian berupa beratus-ratus batu. Karena strategisnya lokasi disana, Rakai Kayuwangi kesulitan untuk mengempurnya.
Rakai walaing sempat mendirikan berbagai bangunan untuk lingga bagi Siwa dalam berbagai aspeknya, sebagai upaya magis untuk memperoleh kemenangan. Ia juga membuat silsilah untuk menunjukkan bahwa ia berhak atas tahta kerajaan Mataram. Akhirnya, Rakai kayuwangi berhasil juga menggempur benteng pertahanan di bukit Ratu Boko ini. Prasasti yang memuat silsilah Rakai Walaing Pu Kumbhayoni itu sengaja dirusak untuk menghilangkan nama ayah, kakek, dan buyutnya. Setelah kalah Rakai Walaing kembali ke Sumatera, karena ibunya berasal dari sana, dan menjadi raja Sriwijaya.
Prasasti Pereng memperingati pendirian lingga, karena kemenangan Pu Kumbhayoni yang terjadi di daerah Walaing. Pendirian lingga itu biasanya dilakukan di tempat dimana kemenangan itu diraih. Rakai Walaing mendirikan lingga di dataran Ratu Boko. Maka bisa disimpulkan bahwa Walaing adalah nama dataran Ratu Boko pada jaman dulu.

Kamis, 25 Juni 2009

LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN 1006 : KERAJAAN MATARAM KUNO PINDAH KE JAWA TIMUR ?

Hubungan letusan Gunung Merapi, Jawa Tengah tahun 1006 dengan perpindahan Kerajaan Mataram Kuno (Hindu) ke Jawa Timur menjadi perdebatan yang menarik segera setelah bencana "Wedhus Gembel Merapi" tahun 1994 lalu. Bahkan hingga sekarang di kalangan sejarawan perdebatan itu masih berlangsung.
Seperti yang dikemukakan oleh Djoko Dwiyanto (Darimana Asal Angka Tahun 1006 Diperoleh ? 13 Desemeber, 1994) menyangsikan angka 1006 sebagai momen runtuhnya Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah sehingga kemudian pindah ke Jawa Timur. Sementara itu pendapat kedua, Sari Bahagiarti (1994 a dan b) dengan mensitir Van Bemmelen (1949) dan Zen (1971 dan 1972) menyatakan bahwa tahun 1006 Gunung Merapi meletus hebat dan menghancurkan sebagian tubuh Gunung Merapi yang melongsor ke barat daya membentuk perbukitan Gendol di sebelah selatan kota Muntilan, Magelang. Akibat letusan besar itu Kerajaan Mataram kuno (Hindu) pindah ke Jawa Timur.
Data kepurbakalaan berdarkan prasasti yang dijumpai di candi-candi pada masa kejayaan kerajaan Hindu dan Budha di Jawa Tengah, peling tidak mulai dari 732 M sampai dengan 928 M (Miksie, 1990). Dinasti Sanjaya-Hindu memegang tampuk kerajaan sampai tahun 180. Kerajaan kemudian diambil oleh Dinasti Syailendra-Budha hingga 928 (929 M ?). Di dalam prasasti itu tidak ada keterangan terjadinya letusan Gunung Merapi pada 928-929 M atau 1006 M. Informasi perpindahan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur ini sesuai dengan pendapat Djoko Dwiyanto (1994) yang mengacu kepada prasasti Sanguran 850 Saka.
Menurut Newhall dkk (1995) angka 1006 didapat dari batu prasasti tahun 1041 yang disebut "Calcuta Stone". Batu prasasti ini diketemukan di Jawa Timur dan berisi cerita tentang kehidupan Raja Erlangga. Di dalam prasasti itu terdapat kata "maha pralaya" atau "prahara" dan "ekarnawa" pada tahun 928 Saka atau 1006 M. Prasasti ini mungkin ada hubungannya dengan Prasasti Sangguran tahun 850 Saka danPrasasti Turyyan tahun 851 Saka (Djoko Dwiyanto, 1994).
Kata-kata "mahapralaya" atau "prahara" diterjemahkan sebagai keadaan yang balau atau kalang kabut. Sementara dari kata "ekarnawa" digambarkan bahwa seluruh Jawa pada saat itu seperti suatu laut, banyak orang binasa. Oleh H. kern (1913), keadaan tersebut diinterpretasikan sebagai suatu perang besar.
Berdasarkan pada kata-kata "the whole Jawa looked like one (milk) sea at that time" Van Hinloopen Labberton (1922) menginterprestasikan kata "ekarnawa" sebagai suatu gemuruh aliran air, banjir atau gelombang pasang air laut. Nama Erlangga diartikan sebagai orang yang terhindar dari (banjir) air. Penyebab keadaan itu mungkin karena erupsi Gunung Merapi. "A white milk sea" terjadi karena diaduk atau dikocok pada awalnya. Ini mengandung arti bahwa pada awalnya Jawa dalam keadaan kacau balau sebelum raja baru Erlangga muncul. Disini Berg (lihat Bommelen, 1971) sependapat dengan Van Hinloopen Labberton bahwa nama "Erlangga" diterjemahkan sebagai "orang yang dapat lolos dari bencana (banjir)".
Penerjemah keempat prasasti "Calcuta Stone" adalah Prof. Poerbatjaraka (1941) dan diterima oleh Casparis (1975) yang menyatakan bahwa raja pendahulu Erlangga telah meninggal karena perang dengan raja Wara-Wari dari Lwaran pada tahun 1017 M, bukan 1006 M. Digambarkan pada saat itu seluruh Jawa laiknya seperti lautan yang terguncang. Selama ini kata-kata "milk sea" atau"ocean of disaster" oleh para ahli geologi dan gunung api dipandang sebagai endapan abu berwarna putih yang tersebar luas akibat letusan dahsyat Gunung Merapi. Interprestasi Van Hinloopen Labberton dan Van Bemmelen ternyata tidak benar karena istana kerajaan telah berpindah di delta Brantas, Jawa Timur pada tahun 1006 M. Jadi hal itu tidak mungkin karena letusan Gunung Merapi (Buchari, 1976). Sementara itu masyarakat Jawa Timur mempercayai bahwa mereka bukan berasal dari Jawa Tengah, dan Raja Erlangga juga dari Bali (Newhall dkk, 1995). Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bahwa kerajaan di Jawa Timur dapat saja berasal dari Bali.
Berdasarkan komposisi batuan penyusunnya, yaitu andesit amfibol dan letaknya perbukitan Gendol lebih merupakan bagian dari pegunungan Menoreh di Kulon Progo daripada Gunung Merapi (Wirakusumah dkk, 1980 dan 1989). Sutikno Bronto, 1994 mendukung pendapat Wirakusumah dkk tersebut dengan alasan :
  1. Batuan perbukitan Gendol sudah sangat lapuk menjadi tubuh tanah dengan ketebalan lebih dari lima meter. Tanah setebal itu tidak pernah dijumpai di tubuh Gunung Merapi yang tua sekalipun. Bila dibandingkan dengan endapan longsoran Gunung Galunggung di Jawa barat yang berumur sekitar 4000 tahun (Sutikno Bronto, 1989) hanya membentuk tanah lapul setebal 1-2 meter. Padahal daerah Galunggung itu secara kualitatif mempunyai kelembaban dan curah hujan lebih tinggi daripada Merapi, sehingga prses pelapukan juga lebih cepat.
  2. Di puncak Gunung Sari, salah satu gunung di perbukitan Gendol terdapat kuburan tua atau tempat yang dikeramatkan, ditandai adanya batu berukir yang sudah berserakan dan tidak terawat lagi. Pola ukuran pada batu tersebut nampaknya mirip dengan Candi Borobudur (walaupun hal ini masih diperlukan penelitian lebih lanjut oleh ahli arkeologi). Jika anggapan ini benar maka perbukitan Gendol sudah lebih dulu ada pada saat Candi Borobudur dibangun (850 M, Pemda Jawa Tengah, 1982, Dumarcay, 1986).
Dua hal tersebut diatas menunjukkan bahwa pembentukan perbukitan Gendol jauh lebih tua dari tahun 1006 dan secara geologis dapat merupakan bagian dari Pegunungan Kulon Progo.
Diantara analisis umur mutlak dengan metode Carbon-14 terhadap contoh kayu terarangkan di dalam endapan awan panas salah satunya menghasilkan umur 980 tahun lalu. Umur ini nampaknya mendekati angka 1006 M, dan merupakan endapan awan panas yang menimbun Candi Pendem di Dusun Kajangkoso, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Candi Pendem itu terletak di lereng barat laut sejauh 10 Km dari puncak Gunung Merapi.
Apabila benar terjadi letusan besar pada tahun 1006 M maka kemungkinan endapan awan panas akan tersebar secara luas. Namun kenyataannya endapan awan panas di Kajangkoso ini hanya tersebar terbatas di sepanjang lembah aliran Sungai Senowo (lama). Sekalipun endapan menimbun Candi Pendem, tetapi dengan jarak luncur hanya sekitar 10 Km dan mengarah ke barat laut maka diperkirakan dampaknya juga tidak akan meluas jauh ke barat dan selatan sehingga menyebabkan perpindahan kerajaan Mataram Kuno (Hindu) ke Jawa Timur.
Maka dapat disimpulkan letusan Gunung Merapi pada tahun 1006 M, apalagi sampai melongsorkan lereng baratnya membentuk perbukitan Gendol adalah tidak benar. Sementara perpindahan puusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur masih perlu penelitian lebih lanjut dari para Sejarawan. (Disadur dari tulisan Sutikno Bronto).

Selasa, 23 Juni 2009

DARI MAJAPAHIT KE DEMAK

Agama Islam telah berkembang di pusat Kerajaan Majapahit. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya Makam Tralaya. Dan menurut ahli pembaca prasasti, Drs. M.M. Sukarto Kartoatmojo (Almarhum) Islam masuk ke Majapahit secara damai (Penetration Pacifique). Sedangkan penaklukan Majapahit oleh penguasa Demak yang dipimpin Pati Unus (Pangeran Sabrang Ing Lor) dan kemudian menguasainya hanya sebuah ekspansi biasa, mengingat kerajaan Majapahit sudah guncang sebelumnya lewat Perang Paregreg (Perang Saudara).
Menurut Hasan Djafar, Majapahit runtuh pada tahun 1519 karena dikuasai oleh Pati Unus dari Demak. Pati Unus meninggal tahun 1521. Ia terkenal lewat penyerbuannya
ke Malaka yang berusaha membebaskan Kerajaan Islam tersebut dari kekuasaan Portugis.
Sebuah legenda yang bisa juga dikaitkan dengan runtuhnya Majapahit adalah raibnya pusaka Majapahit Kyai Ageng Condong Campur dan munculnya Kyai Ageng Sengkelat. Keduanya berujud keris. Kyai Ageng Condong Campur keris berluk lima dengan sogokan sampai di ujung. Sementara Kyai Ageng Sengkelat adalah keris berluk 13 yang dibuat atas pesanan Kanjeng Sunan Ampel Denta. Keris ini dibuat oleh Empu Supa dari Cis yang konon dipercaya sebagai Cis (untuk menggiring unta) milik Nabi Muhammad SAW. Raibnya keris Condong Campur ini membawa sebuah firasat akan hancurnya Majapahit.

Dikupas oleh Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam "Integrasi dan Disintegrasi Majapahit" bahwa hancurnya Kerajaan Majapahit disebabkan beberapa hal, antara lain meninggalnya Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1363 Masehi. Meninggalnya Gajah Mada ini membuat generasi penerus kurang mendapat perhatian dan pendidikan karena hampir semua jabatan penting dipegang oleh Gajah Mada. Oleh karenanya ketika ia meninggal generasi muda merasa canggung dan kurang percaya diri. Situasi masayarakat yang tidak percaya diri itu masih ditambah dengan timbulnya Perang Paregreg antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi antara tahun 1404-1406 Masehi. Perang Paregreg amat sangat melemahkan persatuan dan terjadi dengan hebatnya (reg-reg = noreg, Jawa;horeg = guncang).
Terjadinya perebutan kekuasaan atas tahta Majapahit antara Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi memperburuk situasi di Majapahit. Dalam Perang ini Bhre Kertabhumi gugur dan Ranawijaya menjadi pewaris yang sah dan berkuasa kembali.
Menurut Drs. M.M. Sukarto Kartoatmojo, tercerai berainya Majapahit pada pokoknya berlangsung antara tahun 1389-1525 Masehi. Akibat kehancuran yang sangat hebat akhirnya Majapahit jatuh untuk selama-lamanya. Kapan Majapahit jatuh, menurut pakar prasasti ini tidak dapat dikatakan secara pasti karena proses berlangsung secara perlahan.
Menurut Babad Tanah Jawa, Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi yang dilambangkan dengan sengkalan "Sirna Ilang Kertaning Bumi".
Mengenai tokoh Gajah Mada sendiri, yang terpenting dari semangatnya adalah mengenai Sumpah Palapa. Sumpah Palapa ditengarai sebagai upaya penyatuan seluruh Nusantara dibawah naungan Majapahit. Sumpah Palapa yang termuat dalam kitab Pararaton berbunyi : "Sira Gajahmada-patih amangkubhumi tan ayun amukti palapa, sira Gajahmada : "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa" (Beliau Gajahmada menjadi patih amangkubhumi tidak bermaksud akan menikmati palapa, beliau Gajahmada berkata : "Apabila sudah kalah nusantara saya menikmati palapa, kalau sudah kalah Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Baoi, Sunda, Palembang, Tumasik, waktu itulah saya menikmati palapa". Perkataan Palapa sendiri sampai sekarang mengundang berbagai perdebatan mengenai arti kata/maknanya.
Dr. Poerbatjaraka mengatakan Palapa berasal dari kata 'Alap' berarti menikmati hasil daerah. Dr. Vd Tuuk mengatakan berasal dari 'Lapa' berarti beristirahat. r. Crucq mengatakan Palapa berarti cuti. Sementara Prof. Dr. C.C. Berg berpendapat Palapa berasal dari kata lapa (lapar) dan diartikan semacam brata (tapa brata) atau merupakan praktik mesu diri bermati raga (menyiksa diri).
Pendapat yang amat menarik dan masuk akal serta kelihatannya menggugurkan semua pendapat dikedepankan oleh Karsana, seorang guru bantu SD di Lumajang (sekitar tahun 1929) yang mengatakan Palapa (Jawa kuno) sama dengan Plapah (Jawa baru). Plapah sampai sekarang masih dijual di pasar Jawa Timur dan berarti bumbu-bumbu. Untuk ramuan bumbu, yang terpenting adalah garam. Dengan demikian Patih Gajah Mada menjalani tapa mutih, artinya tidak makan garam. Dengan demikian makna palapa, apabila Gajah Mada bersumpah tan amukti palapa (tidak menikmati palapa), yang dimaksud adalah akan melakukan tapa mutih sebelum kesatuan nusantara tercapai. Kehebatan Gajah Mada menenggelamkan ketenaran raja dan sayang tidak diikuti regenerasi dengan baik. Akibatnya setelah Gajah Mada wafat, penggantinya tidak percaya diri dan membuat situasi masyarakat menjadi kacau. (Disadur dari tulisan Sugeng W.A.).

Sabtu, 06 Juni 2009

JEJAK KEJAYAAN KERAJAAN SAMUDERA PASAI

Situs Samudera Pasai terletak di desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera Geudong, sekitar 20 kilometer dari Lhokseumawe ibukota Kabupaten Aceh Utara. Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, Afrika utara mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Mynmar), Ibnu Battutah mendarat di tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibukota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1270 Masehi.
Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari dari kerajaan Islam Peurelak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan tahta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh wafat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi sebuah kerajaan dengan nama Samudera Pasai. Dalam kisah perjalannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilahkan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297-1326 Masehi ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, "Ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama".
Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000 - 10.000 bahara setiap tahuannya, selain komoditas lain seperti sutra, Kapur Barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengelarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang Dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di Pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan Mubalig Islam yang datang Ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai. Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijogo memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai demikian juga Musafir Eropa, Marcopolo.
Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peningalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat. Makam Sultan Malikussaleh berada di mulut pintu masuk ke cagar budaya Samudera Pasai. Sekitar satu kilometer dari makam itu terdapat lokasi yang dahulunya adalah istana Kerajaan Pasai. Di atas tanah seluas lebih lima hektar, aura kebesaran Kerajaan Samudera Pasai masih sangat terasa. Di lokasi itu juga terdapat makam Peut Ploh Peut (44), ulama yang meninggal karena dieksekusi Raja Bakoi, salah satu raja di Pasai. Raja menganggap ke-44 ulama itu sebagai lawan politiknya dan memerintahkan agar mereka dibunuh. Akibat tindakannya yang sewenang-wenang, rakyat menjuluki dia Raja Bakoi, yang menurut masyarakat setempat berarti pelit. ( Disadur dari tulisan Doty Damayanti )