Jumat, 31 Desember 2010

MERAH PUTIH & KEMERDEKAAN MALAYSIA (2)

Kecewa dengan melemahnya peran politik Melayu, KMM mendirikan Partai Kesatuan Melayu Malaya (PMKM) di Ipoh pada tanggal 17 Oktober 1945. Misi mereka tetap non kooperasi dan anti penjajahan. Pada Konggres I PMKM di Ipoh, 3 Desember 1945-yang sangat luar biasa dan sangat penting bagi sejarah Malaysia dan Indonesia-Konggres memutuskan bergabung dengan Indonesia dan bendera PMKM adalah Merah Putih.
Kemudian muncul gerakan Malayan Union (Malaya Bersatu), satu gagasan kolonial Inggris menghadapi gerakan kiri PMKM. Misinya membujuk elite feodal Malaya agar tetap di bawah kendali penjajahan Inggris. Gerakan kanan ini kemudian menjelma menjadi United Malays National Organization (UMNO), organisasi yang memilih gerakan lembut menghadapi Inggris.
Dalam PMKM terdapat unsur radikal kiri dan Islamis. Mereka beranggapan, demi perjuangan mengusir penjajah, perasaan perkauman dengan keturunan Cina dan India tidak dipermasalahkan. Bagi UMNO, perasaan perkauman menjadi penting agar daulat raja tetap eksis di tanah Melayu. Perbedaan lainnya dengan PMKM adalah UMNO melihat bergabung dengan Indonesia bukan jalan terbaik bebas dari penjajahan Inggris dan (ketika itu) menolak Merah Putih sebagai bendera partai sebagaimana bendera PMKM.
Untuk menghadapi gerakan kanan UMNO, pemimpin PMKM membentuk koalisi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) gabungan berbagai organisasi nasionalis dan Islam, dimana PMKM berada didalamnya. Putera lalu mendirikan partai baru, Hizbul Muslimin. Akibat provokasi Inggris dan pihak kanan, Hizbul Muslimin tetap dianggap sebagai gerakan kiri radikal. Lima bulan setelah Hizbul Muslimin berdiri, tujuah pemimpinnya ditangkap Inggris dengan UU Keamanan Dalam Negeri.
Selanjutnya UMNO memang menjadi organisasi dominan berkat bimbingan Inggris dan dominasi pemimpin kanan Melayu. Persekutuan Tanah Melayu merdeka tanggal 31 Agustus 1957 dan lalu menjadi Malaysia dengan memasukkan Sabah dan Serawak (1963), lagi-lagi berkat Inggris.
Gerakan kiri pra UMNO menjadi "tidak penting" dalam sejarah pergeraan kebangsaan Malaysia. Gerakan nasionalis tidak lagi menjadi rujukan para elite politik Malaysia, seolah-olah bagian kelam pergerakan nasional rakyat Malaya.
Para pemimpin Malaysia sekarang tidak memiliki akses sejarah semacam itu karena dibesarkan dan dididik dalam wawasan kebangsaan dalam iklim koloni Inggris. Mungkin mereka tidak tahu proses penolakan dan penerimaan "Merah Putih" pada bendera UMNO sebagaimana juga "Merah Putih" pada bendera nasional Singapura (Zulhasril Nasir)

Selasa, 30 November 2010

MERAH PUTIH & KEMERDEKAAN MALAYSIA (1)

Fakta sejarah menunjukkan hubungan kedua bangsa yang kini dikenal sebagai nation-state Indonesia dan Malaysia sebenarnya pernah erat. United Malays National Organization (UMNO) memakai bendera Merah Putih dengan lambang Keris warna kuning ditengahnya. Bendera tidak sekedar hubungan warna. Ia memiliki sejarah yang menurut pejuang Malaya, Ahmad Boestaman, dicapai dengan darah.
Pejuang kemerdekaan Malaysia lainnya ada banyak. Mereka sebagian besar keturunan Minangkabau dan sebagian lagi keturunan Bugis. Sebagai pejuang anti penjajahan Inggris, mereka aktif di Kesatuan Melayu Muda (KKM), Partai Kesatuan Melayu Malaya (PKMM), dan di Partai Komunis Malaya (PKM). Ibrahim Jacob dan Ahmad Boestaman adalah pemimpin kemerdekaan yang paling dikenal di Semenanjung Malaya. Keduanya sangat terinspirasi oleh gelora kemerdekaan Indonesia dan dua pemimpin besar Indonesia : Tan Malaka dan Soekarno.
KKM didirikan di Kuala Lumpur, April 1939 oleh Ibrahim Jacob bersama Hasan Haji Manan, Idris Hakim, M. Isa Mahmud, dan Abdoellah Kamil (mantan besan Soeharto). Partai Komunis Malaya mendirikan Tentara Anti Jepang Rakyat Malaya (Malayan People's Anti Japanese Army) dan KKM bersama Ibrahim Jacob ikut Gyu Gun, milisi bentukan Jepang. Seperti Jaman pendudukan Jepang di Indonesia, Letnan Kolonel Ibrahim Jacob menamai pasukannya dengan PETA (Pembela Tanah Air). Ibrahim bersama Dr. Boerhanoeddin Helmi juga mendirikan KRIS (Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung).
Bagi KRIS merdeka adalah untuk bersatu dengan Indonesia. Ibrahim bersama Boerhanoeddin Helmi menemui Soekarno-Hatta di Singapura tanggal 8 Agustus 1945 yang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Dalat, Saigon, Vietnam Selatan untuk menemui Laksamana Terauchi. Dengan mengibarkan bendera Merah Putih saat menyambut Soekarno dan Hatta, keduanya menyatakan bahwa Semenanjung Malaya tidak dapat dipisahkan dari Indonesia Raya ( M. Salleh Lamry 2006:51 .
Mereka bertemu Soekarno dan Hatta lagi di Taiping, Perak, sekembalinya dari Dalat, 13 Agustus 1945. Kesepakatan yang dicapai adalah Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan 24 Agustus 1945 dan Semenanjung Malaya adalah bagian dari Indonesia Raya. Ternyata Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Soekarno Hatta tidak pernah menjelaskan ikhwal kesepakatan Taiping. Meski demikian, Soekarno pada tahun 1960-an menampung pejuang nasionalis Malaya di Jakarta saat konfrontasi dengan Malaysia.

Jumat, 22 Oktober 2010

DIBALIK PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI 1945 : NASKAH BERSEJARAH ITU TAK PERNAH DISIMPAN (3)

Prosesi bersejarah yang telah ditunggu lebih dari 300 tahun tersebut memang berjalan sangat singkat. Tak ada protokol atau korps musik. Bahkan tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara.
Namun yang lebih ironis, naskah teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang masih berupa konsep tulisan tangan Bung Karno ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh pemerintah. Naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan bernama Boerhanoedin Moehammad Diah yang menemukan draft Proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik.
Pada tanggal 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari. Tidak hanya itu, Iwan Satyanegara dan banyak sumber di internet juga mengisahkan mengenai Bendera Pusaka Sang Merah Putih. Warna putih bendera pusaka itu berasal dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto. Meski demikian, kebenaran kabar ini juga belum terungkap.
Hal menarik juga terjadi setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, nama Soekarno-Hatta baru diabadikan sebagai nama sebuah obyek pada tahun 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka. Bahkan, hingga memasuki tahun milenium, 2000, di Jakarta tidak terdapat satu pun nama jalan Soekarno-Hatta.
Yang lebih ironis, gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun sebab, baru 1986 Pemerintah memberikan gelar Proklamator secara resmi kepada mereka. (A. Rizky D. Polii)

Kamis, 30 September 2010

DIBALIK PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI 1945 : NASKAH BERSEJARAH ITU TAK PERNAH DISIMPAN (2)

Namun, naskah singkat yang dibacakan Soekarno, dan terkenal hingga saat ini, bukanlah naskah proklamasi yang disiapkan oleh BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) atau Dokuritsu Junbi Cosakai, yang kemudian berganti nama menjadi PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Linkai. Teks Proklamasi tersebut telah ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta atau Jakarta Charter).
Namun, teks 22 Juni 1945 tersebut belakangan lebih dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Jika akhirnya Piagam Jakarta tersebut yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia akan memiliki lebih banyak Proklamator.
Alasannya, teks Proklamasi alias Piagam Jakarta itu ditandatangani Soekarno, Moehammad Hatta, Achmad Soebardjo, Soekarni, dan Sajuti Melik. Nama terakhir adalah adalah tokoh pemuda yang mengetik naskah konsep Proklamasi yang ditandatangani Soekar-Hatta dan dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Deklarasi kemerdekaan Indonesia sendiri hampir saja gagal dilaksanakan. Alasannya, pada tanggan 17 Agustus 1945 pukul 08.00 pagi ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya. Dia terkena gejala Malaria Tertiana, suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah Proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
"Pating greges," keluh Bung Karno setelah dibangunkan dr. Soeharto, dokter kesayangannya, sebagaimana diceritakan Sejarawan Iwan Satyanegara. Kemudian darahnya dialiri Chinineurethan Intramusculair dan menenggak pil Brom Chinine. Kemudian Bung Karno tidur lagi.
Sejam kemudian, atau sekitar pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. "Demikianlah saudara-saudara ! Kita sekalian telah merdeka !", ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati.
Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya dan melanjutkan istirahatya karena masih meriang/sakit.

Selasa, 31 Agustus 2010

DIBALIK PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI 1945 : NASKAH BERSEJARAH ITU TAK PERNAH DISIMPAN (1)

Tahun ini (2010), perayaan HUT Kemerdekaan RI terasa sedikit istimewa. Alasannya, perayaan HUT RI kali ini terjadi di bulan Ramadhan. Nuansa Ramadhan tersebut juga terjadi saat Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 silam. Tidak hanya Ramadhan, peristiwa bersejarah untuk bangsa Indonesia itu juga diwarnai sejumlah kejadian yang jarang diangkat ke permukaan.
Hal yang mungkin belum banyak diketahui adalah pemilihan tanggal 17 menjadi hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa tanggal 17 tersebut terungkap saat Soekarno dan Moehammad Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdengklok, sebuah kota kecil di Karawang, oleh sejumlah pemuda (Soekarni, Singgih, dan Yoesoef Koento), sehari sebelum Proklamasi.
Para pemuda itu mendesak Soekarno-Hatta segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia mengingat Jepang baru saja dihantam Bom Atom oleh Sekutu. Melalui perdebatan panjang, Soekarno akhirnya memberikan alasan mengapa ia menyiapkan tanggal 17 sebagai hari Proklamasi.
"Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di saigon (Vietnam), saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17,"katanya singkat. "Mengapa tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?" tanya tokoh pemuda saat itu Soekarni.
"Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik,"jawab Soekarno.
"Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jum'at, hari Jum'at itu Jum'at Legi, Jum'at yang berbahagia, Jum'at suci. Al Qur'an diturunan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 Raka'at, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia," ujar Soekarno sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984;61).
Menariknya, tanggal 17 Agustus menjadi semakin sakral buat Indonesia mengingat di tanggal tersebut sejumlah pencetus pilar Indonesia menutup mata. Pada tanggal itu, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman, tutup usia, tepatnya 17 Agustus 1938 (sebagian sumber menyebut 1937). Di tanggal itu, pencetus ilmu Bahasa Indonesia, Herman Neubronner Van Der Tuuk, juga meninggal dunia, tepatnya 17 Agustus 1894.
Pada hari Jum'at, 17 Agustus 1945 sekitar pukul 10.00, saat bulan Ramadhan, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akhirnya diumumkan di rumah Bung Karno, jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Menariknya, dalam naskah asli itu tanggal pembuatan yang tertulis adalah 17-8-'05. Tahun '05 tersebut ternyata merujuk pada tahun Jepang, tepatnya 2605.

Jumat, 30 Juli 2010

KALENDER PRANATA MANGSA

Pranata Mangsa adalah pedoman petani selama puluhan bahkan ratusan tahun. Jauh sebelum Kalender Saka ada berkat pengaruh Hindu, Kalender Hijriyah berkat pengaruh Islam, dan Kalender Masehi karena pengaruh Barat (Kristen), bangsa Indonesia telah mengenal adanya Kalender yang disebut Pranata Mangsa. Pranata Mangsa terbagi menjadi 12 Mangsa (Mongso : bahasa Jawa), yaitu :
  1. Mangsa Kasa (22 Juni - 1 Agustus). Alam : Kemarau, Angin timur laut. Hama : Kepinding tanah, Kepik Hijau, Belalang. Petani : mengolah tanah (Palawija)
  2. Mangsa Karo (2 Agustus - 22 Agustus). Alam : Kemarau, Angin utara. Hama : Kepinding tanah, Belalang, Kepik Hijau. Petani : Menyiapkan Padi Gogo
  3. Mangsa Ketiga (25 Agustus - 17 September). Alam : Kemarau, Angin timur laut. Hama Kutu, Ulat. Petani : Tanam Padi Gogo
  4. Mangsa Kapat ( 18 September - 12 Oktober ). Alam : Hujan mulai turun, Angin barat laut. Hama Walang Sangit, Kepik Hijau, Tikus. Petani : Tanam padi umur pendek.
  5. Mangsa Kalima ( 13 Oktober - 8 November ). Alam Musim Hujan, Angin barat laut. Hama : Tikus, Shonte, Puthul. Petani : Tanam padi umur pendek
  6. Mangsa Kanem ( 9 November - 21 Desember ). Alam : Musim Hujan, Angin barat laut. Hama : Tikus, Ulat Jati, Ulat Besi, Burung. Petani : Tanam benih yang diponjo
  7. Mangsa Kapitu ( 22 Desember - 2 Februari). Alam : Banyak Hujan, Angin kencang. Hama : Trips, Walang Sangit, Pengerek batang. Petani : Memperbaiki alat pertanian.
  8. Mangsa Kawolu ( 3 Februari - 28/29 Februari). Alam : Jarang hujan, Angin barat daya. Hama : Uret, Trips, Pengerek batang. Petani : Mengolah tanah sawah.
  9. Mangsa Kasongo ( 1 Maret - 25 Maret ). Alam : Jarang hujan, Angin selatan. Hama : Belalang, Walang Sangit. Petani : Musim Tanam padi.
  10. Mangsa Kasadasa ( 26 Maret - 18 April ). Alam : Mareng, Angin timur laut. Hama : Belalang, Penyakit daun, Pengerek batang. Petani : Merawat tanaman Padi.
  11. Mangsa Desta ( 19 April - 11 Maret ). Alam Mareng, Angin timur laut. Hama : Belalang, Kutu, Wereng. Petani : Tanam kacang-kacangan.
  12. Mangsa Sadha ( 12 Mei - 21 Juni ). Alam : Kemarau, Angin timur laut. Hama : Ulat, Kutu, KepikPenyakit. Petani : Sawah Bero.
Seiring dengan perubahan alam, Kalender Pranata Mangsa bisa dikatakan tidak dipakai lagi oleh para petani Indonesia saat ini. Apa yang menjadi patokan atau ciri selama ratusan tahun dalam dua belas Mangsa tersebut sekarang tidak sesuai lagi karena adanya "Global Warming atau pemanasan global" yang menyebabkan iklim berubah-ubah begitu cepat. Dulu kalau bulan April - Oktober pasti musim kemarau dan bulan Oktober - April pasti musim hujan. Tetapi sekarang tidak berlaku. Bulan Juli yang seharusnya musim kemarau ternyata hujan masih turun, demikian pula sebaliknya. Mudah-mudahan manusia segera menyadari kesalahan ini sehingga alam akan kembali bersahabat dengan kita.

Rabu, 23 Juni 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (8)

Setelah Jaka Tingkir menjadi Raja Pajang dengan gelar Hadiwijaya, ajaran Manunggaling Kawula Gusti dijadikan agama resmi kerajaan. Ketika seorang raja yang suka bertapa muncul di Mataram, yaitu Panembahan Senapati, lebih-lebih pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo ajaran itu berkembang pesat. Sultan Agung mengarang buku 'Sastra Gending' yang berisi ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Penggantinya, yaitu Amangkurat I merasa dirinya Allah sehingga ia memerintah sesuka hatinya bahkan bekerjasama dengan Belanda yang menjadi musuh ayahnya. Pangeran Alit, adik kandungnya sendiri, Bupati Cakraningrat I dari Madura, dan 43 selir Amangkurat I dibunuh tanpa penyelidikan akan kesalahan apa yang diperbuatnya, gara-gara dituduh meracun selir kesayangannya Ratu Malang. Juga keluarga Pangeran Pekik dibunuhnya pula. Sebanyak 6000 ulama ahli Sunni murid-murid Sunan Giri Kedhaton dibantai di alun-alun dihadapan Amangkurat I. Mereka dituduh menimbulkan keresahan pada masyarakat karena tidak sepaham dengannya. Apakah itu balas dendam Sidi Jinnar ??? (Babad Tanah Jawa)
Pernah terjadi di jaman kemerdekaan (1965 ?), satu group kethoprak merekam dan menyebarkan kaset berjudul Siti Jenar, dengan dialog-dialog yang jelas antipati kepada para Walisanga. Untung Kejaksaan Agung RI melarang peredaran kaset yang menghebohkan itu.
Kesimpulan dari tulisan-tulisan diatas adalah :
  1. Perjuangan para Walisanga dalam mensiarkan agama Islam di Jawa ternyata penuh tantangan dan permasalahan, tetapi semua dilaksanakan dengan dasar kebijaksanaan, musyawarah (ramah-tamah), dialog (tukar pikiran) dalam muker Walisanga
  2. Perbedaan pendapat bukan menjadi halangan/pertentangan tetapi bahkan sebagai keseimbangan, saling asah-asuh-asih, saling koreksi, dan mengingatkan, mendorong demi kesatuan dan persatuan
  3. Prinsip pokok syiar agama Islam dilaksanakan dengan damai, menghormati jasa penguasa yang berjasa memberikan kesempatan syiar agama Islam walaupun berbeda agama (Majapahit)
  4. Tragedi Siti Jenar mengungatkan kita untuk berhati-hati dalam memahami ajaran Manunggaling Kawula Gusti, yang sampai sekarang masih berkembang dan diminati, bahkan dipelajari secara ilmiah
  5. Sampai sekarang umat banyak sekali yang menziarahi makam para Walisanga, baik Walisangan periode I - V. Mereka datang dari seluruh Indonesia, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya mereka membukakan iman kita ke jalan yang lurus dan benar (Drs. Budiono Herusatoto, B.Sc)

Minggu, 06 Juni 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (7)

Syekh Siti Jenar dan Ajarannya
Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang atau Syekh Sidi Jinnar. Sidi = tuan, Jinnar = orang yang kekuatannya seperti api. Konon Syekh ini berasal dari Persia.
Alkisah, saat Sunan Bonang sedang mewejang Sunan kalijaga ilmu tingkat tinggi yang sangat rahasia, yang tidak mungkin dipahami oleh orang awam, Sunan Bonang mengajak Sunan Kalijaga ke tempat yang jauh dan sepi, di tengah rawa-rawa di tepi pantai utara yang tidak pernah dijamah oleh manusia. Di tengah perjalanan ternyata perahu yang mereka naiki bocor, sehingga oleh Sunan Kalijaga ditambal dengan tanah liat. Saat Sunan Bonang berpesan mewanti-wanti kepada murid terpilihnya jangan sampai salah faham, karena bisa salah kedaden bila pemahamannya keliru. Kesalahan fatal memahami ilmu tersebut si murid bisa mengaku dirinya sebagai Allah. Saat mewejang Sunan kalijaga tersebut Sunan Bonang merasakan ada getaran sihir di perahu itu. Ternyata ada seseorang yang menyamar diri dengan ilmu sihir bersembunyi di dalam perahu tersebut. Sunang Bonang memeriksa tanah liat yang digunakan oleh Sunan kalijaga untuk menambal perahu yang bocor. Ternyata dalam tanah liat tersebut terdapat seekor cacing, dan cacing tersebut diambil dan berubah menjadi Syekh Sidi Jinnar yang belum dikenalnya. Setelah berkenalan Sidi Jinnar dinasehati bahwa "sihir dilarang dalam agama Islam". Dan Sidi Jinnar menjawab "mohon bimbingan", sehingga akhirnya Sidi Jinnar berguru kepada Sunan Bonang. Ia kemudian berguru pula kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri, bahkan akhirnya diterima sebagai anggota Walisanga.
Sidi Jinnar membuka perguruan dan muridnyapun banyak pula, salah seorang diantaranya terkenal sebagai Ki Ageng Pengging, ayah Jaka Tingkir yang kemudian menjadi menantu Sultan Trenggana (Raja Kerajaan Islam demak), dan kemudian setelah Kerajaan demak hancur karena perebutan tahta antar keluarga, Jaka Tingkir merebut kekuasaan dan memindahkan kerajaan ke Pajang, dan bergelar Sultan Hadiwijaya.
Wejangan Sunan Bonang terhadap Sunan Kalijaga ternyata terbukti, yakni dengan menyimpangnya ajaran Sidi Jinnar dari ajaran Islam. Sidi Jinnar lama kelamaan meninggalkan Shalat berjama'ah bersama para wali di Masjid Demak, bahkan tidak melakukan Shalat sama sekali dan mengakui dirinya itu Allah.
Para Wali kemudian bersidang dipimpin oleh Sunan Giri sebagai Mufti atau pimpinan para ulama. Kemudian mengutus Santri Kodrat dan Santri Malang Sumirang untuk memanggil Sidi Jinnar di goa tempat Sidi Jinnar menyepi.
Ketika pesan panggilan ke Masjid Demak diutarakan, jawaban Sidi Jinnar dari dalam goa : "Sidi Jinnar tidak ada yang ada hanya Allah" Utusan kembalilah kepada para Wali.", teriaknya. Utusan-pun kembali ke Demak untuk melapor. dan makin kuat dugaan para wali bahwa Sidi Jinnar telah sesat, dan kedua santri Sunan Giri itu diutus kembali untuk memanggil Allah ke Demak. kali ini Sidi Jinnar menjawab : "Allah tidak ada yang ada Sidi Jinnar". Utusan kembali ke Masjid Demak melapor. Sunan Giri menyuruhnya kembali supaya Sidi Jinnar datang menghadap. Diskusipun berlangsung seru. "Gusti dan kawula itu sama. Allah adalah aku sendiri, tidak ada gunanya menjalankan syariat yang ada hanya hakekat. Allah dan Sidi Jinnar sudah bersatu, kalau Sidi Jinnar menyembah Allah, itu berarti Allah menyembah Allah" demikian Sidi Jinnar. "Itu ajaran sesat, persis ajaran Syeh Al Halaj yang berpaham wihdatul wujud, mengaku dirinya Tuhan Allah. Itu akan membahayakan ummat. Di Baghdad Syeh Al Halaj dihukum mati". Sidi Jinnar-pun dihukum mati. Namun Sunan Giri memberi innah satu tahun untuk memperbaiki diri. Setelah lewat satu tahun ternyata Sidi Jinnar tidak berubah, maka dilaksanakanlah hukuman mati itu oleh Sunan Kudus.
Murid-murid Sidi Jinnar adalah Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir, Pangeran Panggung, Ki Lontang Asmara yang ikut bela pati pada Sidi Jinnar. Konon setelah Sidi Jinnar dikuburkan, ia mengeluarkan ancaman kepada para wali : "Sidi Jinnar akan membalas tindakan para wali. Nanti, di jaman Mataram bila ada raja suka bertapa pada saat itulah dendam saya akan terlaksana"

Jumat, 04 Juni 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (6)

Kelompok Santri Putihan dan Santri Abangan menunjukkan sikap demokratisnya ketika :
  1. Sunan Kalijaga menciptakan wayang, kesenian Jawa yang sangat disukai oleh rakyat, karena waktu itu pertunjukkan wayang sebagai alat untuk mendatangkan Hyang atau arwah nenek moyang. Gambar wayang Jawa kuno berbentuk gambar manusia seperti relief pada Candi Prambanan. Sunan Giri pemimpin santri putihan memerintahkan kepada Sunan Kalijaga untuk menciptakan bentuk wayang yang tidak mirip manusia karena dilarang menurut tuntunan Nabi. Wayang pertama ciptaan Sunan kalijaga adalah Gunungan. Kemudian ia menciptakan tokoh Bathara Guru, yang kemudian diberinya nama Girinata, kenang-kenangan bahwa Sunan Giri-lah yang menata alam dunia baru pewayangan, pergantian ke jaman Islam, dengan bentuk wayang purwo yang sekarang kita kenal.
  2. Pembukaan Masjid Demak, dimeriahkan dengan pagelaran Wayang Kulit/Purwo dengan dalang Sunan Kalijaga. Hal itupun hasil musyawarah dalam sidang para Walisanga, hasil diskusi kelompok Santri Putihan dan Santri Abangan.
Kebijaksanaan, ramah tamah, bertukar pikiran selalu menjadi pedoman dan tindakan para Walisanga.Menurut pakar sejarah Jawa dari Belanda Dr. H.J. De Graaf, pemerintahan Giri Kedhaton berlangsung selama 200 tahun, dimulai dari tahun 1470 Masehi, yaitu :
  1. Sunan Giri yang pertama atau Raden Paku
  2. Sunan Giri yang kedua atau Sunan Dalem
  3. Sunan Giri yang ketiga atau Sunan Sedamargi
  4. Sunan Giri yang keempat atau Sunan Giri Prapen
  5. Sunan Giru yang kelima atau Sunan Kawis Guwa
  6. Panembahan Ageng Giri
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana, wafat tahun 1660 Masehi
  8. Pangeran Puspa (bukan keturunan Sunan Giri) yang diangkat oleh Sultan Amangkurat I
  9. Panembahan Singasari
  10. Panembahan Giri

Jumat, 28 Mei 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (5)

Para anggota Walisanga adalah orang-orang yang terpilih dan mendapatkan sebagian karomah Nabi, yakni barokah. Merekalah peletak dasar syiar agama Islam di Jawa, sejak datangnya Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1404 Masehi. Walisanga yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat itu selalu mengkonsolidasikan diri dan mengkoordinasikan segala kegiatan dakwah Islamiyahnya. Sehingga pada hakekatnya Walisanga adalah sebuah organisasi para wali yang keanggotaannya mengalami perubahan dan penggantian, tetapi tetap berjumlah sembilan. Dalam pelaksanaan dakwahnya menghadapi masyarakat Jawa yang berlatar belakang pluralistik, yaitu budaya Hindu, Budha, Kejawen, Animisme, dan Dinamisme, maka diperlukan taktik dan strategi serta metode dakwah Islamiyahnya. Perbedaan sikap dan cara dakwah membuat dakwah para Walisanga terbagi dua, yaitu cara moderat dan cara konservatif.
Golongan moderat menuduh golongan konservatif sebagai ekstrim, tidak tahu situasi dan kondisi, tidak pandai-pandai membawa diri, tidak mengerti hikmah kebijaksanaan, dan masih banyak cercaan lainnya. Mereka dipimpin oleh Sunan Kalijaga, dengan didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Murua, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Mereka ini disebut Santri Abangan, yaitu golongan yang masih mentolerir kepada adat-istiadat dan kepercayaan lama, tidak tergesa-gesa merubah adat istiadat lama, tetapi dipengaruhi sedikit demi sedikit, diarahkan secara bijaksana denga media dakwah. Rakyat diambil hatinya agar simpati, senang, mengerti, dan kemudian mencintai.
Tujuan kelompok Santri Abangan adalah ingin meng-Islam-kan orang Jawa secepat mungkin, dengan jalan agak kompromi atau dengan mengikuti arus tetapi tidak hanyut. Golongan konservatif yang dipimpin oleh Sunan Giri dan didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat, menuduh golongan moderat sebagai tidak konsekwen dalam menjalankan perintah agama Islam, ingin memalsukan agama Allah, berkompromi dengan kaum batil, mencampur yang haq dengan yang batil, Islam palsu, dan sebagainya. Mereka dijuluki Santri Putihan, yaitu dalam masalah ibadah tidak kenal kompromi dengan adat istiadat dan kepercayaan lama. Ibadah harus dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Ibadah harus sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul. Sunan Giri adalah seorang yang ahli dalam ilmu Taukhid dan ilmu Fikih. Beliau sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan hukum takut kalau tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Tujuan kelompok Santri Putihan adalah menghindari terjadinya penyelewengan aturan agama Islam.
Namun demikian kedua aliran tersebut tetap bersatu padu menjaga Ukhuwah Islamiyahnya, menjaga persatuan umat. Hal tersebut ditunjukkan dalam bergotong royong membangun Masjid Demak, membantu Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak dan meruntuhkan Kerajaan Majapahit setelah keturunan raja Majapahit tidak lagi memimpin Majapahit karena ditundukkan oleh Raja Girindrawardhana dari Kediri. Prabu Brawijaya Kertabhumi, ayah Raden Patah tewas dalam memberikan kesempatan kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri menyiarkan agama Islam di wilayah Majapahit. Setelah Sunan Ampel wafat pimpinan Walisanga digantikan oleh Sunan Giri yang bersikap tegas terhadap Majapahit. Raja Girindrawardhana yang merebut Majapahit, namun Girindrawardhana sudah didahului dikalahkan oleh Prabu Udhata dan tewas pada tahun 1498 Masehi.
Prabu Udhata takut diserang oleh Sunan Giri yang saat itu dikenal sebagai penguasa Pesantren Giri, pimpinan Giri Kedhaton, yang memimpin pemerintahan para ulama. Apalagi bila bergabung dengan prajurut Demak untuk merebut kekuasaan pemerintahan yang menjadi hak Raden Patah selaku putra Prabu Brawijaya Kertabhumi. Prabu Udhata bersekongkol dengan Portugis di Malaka pada tahun 1512 Masehi. Dan Demak menyerang Majapahit pada tahun 1517 Masehi, dan jatuhlah Majapahit sehingga seluruh pusaka Majapahit jatuh ke tangan Raden Patah.

Senin, 17 Mei 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (4)

Para anggota Walisanga adalah orang-orang yang terpilih dan mendapatkan sebagian karomah Nabi Muhammad SAW, yaitu barokah. Merekalah peletak dasar syiar agama Islam di Jawa, sejak datangnya Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1404 Masehi. Walisanga yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat itu selalu mengkonsolidasikan diri dan mengkoordinasikan segala kegiatan dakwah Islamiyahnya. Sehingga pada hakekatnya Walisanga adalah sebuah organisasi para wali yang keanggotaannya mengalami perubahan dan penggantian, tetapi tetap berjumlah sembilan orang. Dalam pelaksanaan dakwahnya menghadapi masyarakat Jawa yang berlatar belakang masyarakat plularistik dan beragam budayanya, yaitu budaya Hindu, Budha, Kejawen, animisme, dan dinamisme, maka diperlukan taktik dan strategi serta metode dakwah Islamiyahnya. Akibatnya terjadi perbedaan sikap dan cara dakwah yang berakhir dengan terbaginya dua cara dalam berdakwah, yaitu cara moderat dan cara konservatif.
Golongan moderat menuduh golongan konservatif sebagai ekstrem, tidak tahu situasi dan kondisi, tidak pandai-pandai membawa diri, tidak mengerti hikmah kebijaksanaan, dan masih banyak cercaan lainnya. Mereka dipimpin oleh Sunan Kalijaga, dengan didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Mereka ini disebut sebagai Santri Abangan, yakni golongan yang masih mentolerir kepada adat-istiadat dan kepercayaan lama, tidak tergesa-gesa merubah adat-istiadat lama, tetapi dipengaruhi sedikit demi sedikit, diarahkan secara bijaksana sebagai media dakwah. Rakyat diambil hatinya agar simpati, senang, mengerti, dan kemudian mencintai.
Tujuan kelompok Santri Abangan adalah ingin meng-Islam-kan orang Jawa secepat mungkin, dengan jalan agak kompromi atau dengan mengikuti arus tetapi tidak hanyut. Golongan konservatif yang dipimpin oleh Sunan Giri, dan didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajat, menuduh golongan moderat sebagai tidak konsekwen dalam menjalankan perintah agama Islam, ingin memalsukan agama Allah, berkompromi dengan kaum batil, mencampur yang haq dengan yang batil, Islam palsu, dan sebagainya. Golongan Konservatif dijuluki sebagai Santri Putihan, yaitu dalam masalah ibadah tidak kenal kompromi dengan adat-istiadat dan kepercayaan lama. Ibadah harus dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Ibadah harus sesuai dengan aturan yang tersebut di dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul. Sunan Giri adalah seorang yang dalam ilmu Taukhid dan ilmu Fikihnya. Beliau sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan hukum, takut kalau tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Tujuan kelompok Santri Putihan adalah menghindari terjadinya penyelewengan aturan Agama Islam.
Namun demikian kedua aliran itu tetap bersatu padu menjaga Ukhuwah Islamiyah, menjaga persatuan umat. Hal tersebut ditunjukkan dalam bergotong royong membangun Masjid Demak, membantu Raden Pattah mendirikan Kerajaan Islam Demak, dan meruntuhkan Kerajaan Majapahit setelah keturunan Raja Majapahit tidak lagi memimpin Kerajaan Majapahit karena ditundukkan oleh Raja Girindrawardhana dari Kerajaan Kediri. Prabu Brawijaya Kertabhumi, ayah Raden Pattah tewas dalam memberikan kesempatan kepada Sunan Giri dan Sunan Ampel menyiarakan agama Islam di wilayah Majapahit.. Setelah Sunan Ampel wafat pimpinan Walisanga digantikan oleh Sunan Giri, dan Sunan Giri bersikap tegas terhadap Majapahit. Raja Girindrawardhana yang telah merebut Majapahit, namun Girindrawardhana sudah didahului dikalahkan oleh Prabu Udhata dan tewas pada tahun 1498 Masehi.
Tetpi Prabu Udhata takut diserang oleh Sunan Giri yang saat itu dikenal sebagai pengusaha. Pesantren Giri, pimpinan Giri Kedhaton, yang memimpin pemerintahan para ulama. Apalagi bila bergabung dengan prajurit Demak untuk merebut kekuasaan pemerintahan yang menjadi hak Raden Pattah selaku putra Brawijaya Kertabhumi. Prabu Udhata bersekongkol dengan Portugis di Malaka pada tahun 1512 Masehi. Dan Demak menyerang Majapahit pada tahun 1517 Masehi, dan jatuhlah Majapahit, sehingga seluruh pusaka Majapahit jatuh ke tangan Raden Patah.

Kamis, 13 Mei 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (3)

C. Walisanga Periode Ketiga
Walisangan periode ketiga bermula pada tahun 1463 M dengan masuknya empat wali baru sebagai anggota Walisanga berdarah campuran Jawa, yaitu :
  1. Raden Paku atau Syeh Maulana A'inul Yaqin kelahiran Blambangan, Jawa Timur. Raden Paku merupakan putra Syeh Maulana Ishak dengan putri Blambangan, Dewi Sekardadu. Raden Paku menggantikan ayahnya yang pulang kembali ke negeri Pasai, dan kemudian terkenal sebagai Sunan Giri. Setelah wafat Sunan Giri dimakamkan di Gresik.
  2. Raden Said yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga, lahir di Tuban, beliau adalah putera adipati Tuban Wilatikta, menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke negeri Persia.
  3. Raden Makdum Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Bonang, kelahiran Ampel, Surabaya, putera Sunan Ampel, menggantikan Maulana Hasanuddin yang wafat tahun 1462 M.
  4. Raden Qosim yang terkenal sebagai Sunan Drajat, putera Sunan Ampel, lahir di Surabaya menggantikan Maulana Aliyuddin yang wafat tahun 1462 M.
D. Walisanga Periode Keempat
Dua anggota Walisanga wafat, yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Al Maghrobi pada tahun 1466 M. Mereka digantikan oleh :
  1. Raden Hasan atau Raden Pattah yang merupakan murid Sunan Ampel, putera Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang kemudian diangkat sebagai adipati Demak Bintoro pada tahun 1462 M. Bersama para wali lainnya beliau membangun Masjid Demak pada tahun 1465 M, dan kemudian dinobatkan sebagai raja Islam yang pertama di Demak dan bergelar Sultan Demak pada tahun 1468 M.
  2. Fathullah Khan, putera Sunan Gunung Jati, dipilih sebagai anggota Walisanga menggantikan ayahnya yang sudah lanjut usia sebagai Sunan Gunung Jati II.
E. Walisanga Periode Kelima
Peninggalan catatan sejarah para wali periode kelima ini tidak diketemukan, sehingga mulai rancu, atau mungkin sengaja dihilangkan atau dihapuskan dengan adanya pergantian politik setelah Kerajaan Demak runtuh dan digantikan / dipindahkan oleh Kraton Pajang, dimana jaman keemasan pengajaran Islam di Jawa Tengah mulai suram kembali. Dikenal adanya Sunan Muria atau Raden Umar Said, putera Sunan Kalijaga, masuk kedalam jajaran Walisanga. Juga konon Syeh Siti Jenar juga menjadi anggota Walisanga yang setelah dihukum mati Sunan Kudus digantikan oleh Sunan Bayat / Tembayat atau Adipati Pandanaran (Adipati Semarang).
Sedangkan nama-nama para Walisanga yang dikenal oleh masyarakat umum adalah :
  1. Sunan Gresik atau Syeh Maulana Malik Ibrahim
  2. Sunan Ampel
  3. Sunan Bonang
  4. Sunan Giri
  5. Sunan Drajat
  6. Sunan Muria
  7. Sunan Kudus
  8. Sunan Kalijaga
  9. Sunan Gunung Jati

Jumat, 30 April 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (2)

Zaman kewalian Walisanga sendiri dibagi dalam lima (5) periode, yang sambung menyambung dengan perubahan, penambahan, pergantian personil para Walinya, yaitu :

A. Walisanga Periode Pertama
Walisanga periode pertama adalah para wali yang dikirim oleh Sultan Muhammad I dari Kerajaan Turki. Mendengar dari para pedagang Turki bahwa di Pulau Jawa ada kerajaan, yaitu para pedagang di pesisir utara Pulau Jawa sudah menganut Islam, maka Sultan Muhammad I berkirim surat kepada para pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah, meminta kepada para ulama yang memiliki karomah dari kedua negeri itu untuk dikirim ke Pulau Jawa. Maka terkumpullah 9 ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah, yang diberangkatkan ke Pulau Jawa pada tahun 808 Hijriyah atau 1404 Masehi, yaitu :
  1. Maulana Malik Ibrahim, dari Turki yang ahli mengatur negara. Beliau berdakwah di Jawa bagian timur dan wafat tahun 1419, dimakamkan di Gresik, Jwa Timur.
  2. Maulana Ishaq, dari Samarkand di Kazakhstan, yang ahli pengobatan. Beliau tidak menetap di Jawa karena pindah ke Pasai / Singapura dan wafat di sana.
  3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra, dari Mesir, berdakwah kelliling dan setelah wafat dimakamkan di Tralaya, Trowulan, Mojokerto
  4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, dari Maroko / Maghrib. Berdakwah keliling dan wafat tahun tahun 1465 Masehi dimakamkan di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah
  5. Maulana Malik Isro'il, dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 Masehi dan dimakamkan di Gunung Santri, Cilegon, Jawa Barat
  6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia/Iran, ahli pengobatan, wafat tahun 1435 dan dimakamkan di Gunung Santri, Cilegon, Jawa Barat
  7. Maulana Hasanuddin, dari Palestina, berdakwah keliling dan wafat tahun 1462 Masehi dan dimakamkan di samping Masjid Banten lama.
  8. Maulana Allyuddin, dari Palestina, berdakwah keliling dan wafat tahun 1462 Masehi, dimakamkan di samping Masjid Banten lama.
  9. Syeh Subakir, dari Persia/Iran, ahli menumbali tanah angker yang dihuni oleh jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia, untuk dijadikan Pesantren. Beliau kembali ke Persia tahun 1462 Masehi dan wafat di sana.
B. Walisanga Periode Kedua
Walisanga periode kedua adalah kewalian lanjutan periode pertama dengan mengisi kekosongan tiga wali yang wafat, yaitu :
  1. Raden Ahmad Ali Rahmatullah, dari Campa/Muangthai selatan, datang tahun 1421 menggantikan Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 Masehi. Beliau dikenal sebagai Raden Rahmatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel
  2. Sayyid Ja'fat Shodiq, dari Palestina, datang ke Jawa tahun 1438 menggantikan Maulana Malik Isro'il yang wafat tahun 1435 Masehi. Beliaulah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Kudus
  3. Syarif Hidayatullah, dari Palestina, datang Ke Jawa tahun 1436 Masehi, menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 Masehi.
Walisanga periode kedua ini melaksanakan sidang kewalian yang kedua bertempat di Ampel, Surabaya. Hasilnya adalah pembagian tugas, yaitu Sunan Ampel, Maulana Ishaq, dan Maulana Jumadil Kubro berdakwah di wilayah Jawa Timur. Sedang Sunan Kudus, Syeh Subakir, dan Maulana Al Maghribi berdakwah di wilayah Jawa Tengah, dan Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin, Maulana Alyuddin bertugas di wilayah Jawa Barat.

Sabtu, 17 April 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (1)

Hendaknya engkau ajak orang ke jalan Tuhanmu dengan Hikmah (Kebijaksanaan) dengan petunjuk-petunjuk yang baik (ramah-tamah) serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya ( Qur'an Surat An Nahl : 125 ).
Penulisan sejarah tentang sejak kapan masuknya agama Islam di Pulau Jawa sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan. Para ahli sejarah Indonesia masih senang menggali sumber sejarah tanah air sendiri dari sumber-sumber ahli sejarah bangsa asing, walaupun semakin banyak data sejarah di dalam negeri yang patut untuk dicek validitasnya menjadi fakta sejarah yang otentik. Namun kemauan dan keberanian untuk mengolah data, serta banyak faktor lainnya yang merupakan hambatan psikologis dan sikap tradisional yang masih lekat, menghambat kemampuan penulisan sejarah masuknya agama Islam di Indonesia, atau di Pulau Jawa pada khususnya.
Salah satu buku pegangan resmi bagi para mahasiswa Indonesia adalah "Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia", ditulis oleh Dr. R. Soekmono, yang telah dicetak ulang sampai edisi ke-10 (1994) sejak edisi pertamanya pada tahun 1993. Pada buku jilid 3, bagian II, Jaman Madya Indonesia, kapan masuknya Islam di Indonesia terdapat sebuah batu bersurat dalam bahasa dan huruf Arab di Leran (dekat Gresik, Jawa Timur) yang memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah Binti Maimun. Dan penulisan sejarah Islam selanjutnya dikutip dari keterangan nyata yang dikutip dari Marcopolo dari Venesia, Italia.
Buku Sejarah Kebudayaan Indonesia susunan Dr. Prijohutmo yang dulu dipakai sebagai buku pegangan pengajaran sejarah di SLA dan Perguruan Tinggi sebelum tahun 1965 pun banyak dikritik tidak menggunakan metoda penulisan sejarah yang baik. Apalagi tulisan Dr. C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa yang menggunakan dasar penelitiannya menggunakan buku-buku lainnya yang ada tentang masuknya Islam di Jawa, kebanyakan merupakan buku kisah atau riwayat, yang walaupun mencantumkan angka-angka tahun dan sumber kutipan dari kitab-kitab peninggalan para tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa, belumlah berani menyatakan data tersebut sebagai bukti catatan sejarah yang resmi karena tidak memenuhi kriteria ilmiah dan melalui metoda penelitian yang berani dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Walaupun demikian, pengetahuan sejara Islam di Jawa dari kisah, riwayat, dan kitab-kitab para tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa yang ada kiranya patut untuk diketahui oleh umat Islam Indonesia masa kini. Sebagai suatu pengetahuan yang kiranya masih ada gunanya untuk pendidikan bagi putera-puteri kita, agar mengenal bagaimana perjuangan para penyebar agama Islam yang pertama di Jawa, terutama bagaimana pelaksanaan ajaran demokrasi Islam, musyawarah dan mufakat, kebijaksanaan, bertukar pikiran dan ramah tamah sesungguhnya sudah dipraktekkan oleh tokoh jaman dahulu (sebagaimana tercantum dalam Qur'an Nur Karim, Surat An Nahl ayat 125 seperti dikutipkan pada awal makalah ini.
Ibnul Bathuthah seorang utusan Sultan Delhi (India) dalam perjalanan perdagangannya dari India ke Tiongkok, dan singgah di kerajaan Samudra (1345 M) menyusun catatan berlayarnya yang kemudian dinamakan Kitab Kanzul Ulum, yang kemudian dilanjutkan oleh oleh Syeh Maulana Al Maghribi, menyatakan bahwa banyak para pedagang-pedagang dari Majapahit yang datang ke kerajaan Samudra, dan di Gresik dan Tuban banyak pula dikunjungi oleh para pedagang Islam dari India dan Samudra (yang kemudian pindah ke Pasai). Bahkan salah seorang istri raja Majapahit adalah putri Islam dari Aceh (putri Cempa) dan permaisurinya adalah puteri Cina.
Kerajaan Majapahit bersikap penuh toleransi terhadap Islam. Hal itu terbukti pula dari banyaknya makam-makam Islam di ibukota Majaphit, yakni di Desa Tralaya, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Batu-batu nisan tersebut berangka tahun 1369 M, yaitu masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Dan menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit pada abad ke-15 Masehi, daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa sudah masuk Islam semuanya, dengan pusat-pusatnya di Jepara, Tuban, dan Gresik, dibawah pemerintahan para Adipati yang masih tunduk kepada Pemerintah Pusat di Majapahit.
Kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah mencatat bahwa para Wali Sanga yang terkenal di Jawa terbagi dalam 3 (tiga) tahapan kewalian, yaitu :
  1. Wali Sanga tahap pertama, bersidang pada tahun 1404 Masehi
  2. Wali Sanga tahap kedua, bersidang pada tahun 1436 Masehi
  3. Wali Sanga tahap ketiga, bersidang pada tahun 1463 Masehi
Dan menurut K.H. Dahlan Abdul Qohar, pada tahun 1466 Masehi para Wali Sanga itu bersidang lagi (Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA, tanpa tahun : 11).
Zaman kewalian Wali Sanga sendiri dibagi dalam 5 (lima) periode, yang sambung menyambung dengan perubahan, penambahan, penggantian personil para walinya.

Sabtu, 27 Maret 2010

SRIKSETRA : TAMAN KALA PURBA YANG TERGUSUR (3)

Orang yang mengaku modern biasanya malu untuk belajar pada masa lampau. Masa lampau sudah berlalu yang hanya patut untuk kebanggaan. Padahal, seharusnya dari kejadian masa lampau kita belajar untuk perencanaan masa depan. Kesalahan-kesalahan pada masa lampau kita perbaiki, dan kearifan-kearifan pada masa lampau kita tiru dan kita lestarikan. Demikian juga kearifan Dapunta Hyang Sri Jayanasa dalam menata kota Sriwijaya patut kita tiru, sekurang-kurangnya oleh para pejabat kota Palembang.
Ketika awal berdirinya kota Sriwijaya (sekitar 680-an Masehi), pemukiman penduduk berada di tepian sungai berupa rumah panggung dan rumah rakit yang ditambatkan di tepian Sungai Musi. Bangunan-bangunan keagamaan seperti candi dan stupa ditempatkan di lokasi yang lebih tinggi, di bukit Siguntang, Candi Angsoka (dekat Rumah Sakit Charitas sekarang), dan daerah Gedingsuro (kompleks PT Pusri sekarang).
Penempatan yang demikian karena bangunan keagamaan tidak boleh tercemar oleh banjir yang mungkin disebabkan meluapnya sungai Musi. Taman Sriksetra ditempatkan jauh di sebelah barat laut kota pada tempat yang tinggi dan mempunyai kandungan air tanah yang cukup banyak, dimaksudkan untuk cadangan air bersih pada musim kemarau.
Ironisnya, Taman Sriksetra sekarang sedang dalam tahap penggusuran. Punggung talang di sekitar tempat diketemukannya prasasti Talang Tuo sekarang merupakan kebun Kelapa Sawit, tetapi di sekitarnya, di beberapa tempat diperuntukkan bagi perumahan.
Lebih celaka lagi, jarak antar rumah sangat rapat, seperti layaknya kampung yang padat penduduk. Keadaan seperti ini dapat menghalangi meresapnya air hujan ke dalam tanah. Sementara itu, di sebelah selatan Talang Tuo tanahnya sedang dikeruk untuk menimbun daerah rawa di Palembang.
Apa jadinya kota Palembang kalau daerah bekas Taman Sriksetra penuh dengan perumahan ? Tentu saja kota Palembang akan mengalami banjir yang cukup parah. Air datang dari luapan sungai Musi, ditambah lagi air juga datang dari daerah yang tinggi di sebelah utara dan barat laut kota bekas lokasi taman.
Usaha penyelamatan bekas lokasi Taman Sriksetra dari penggusuran belum terlambat. Apabila ada niat baik dari Pemerintah Kota Palembang menjadikan kawasan ini sebagai daerah hijau atau daerah resapan air untuk kota Palembang, itu berarti pemerintah kota sekaligus mendukung program penanaman sejuta pohon. Dan, juga dapat menjadi contoh kota di Indonesia dalam usaha melestarikan lingkungan kota ( Bambang Budi Utomo)

Kamis, 25 Maret 2010

SRIKSETRA : TAMAN KALA PURBA YANG TERGUSUR (2)

Ketika Presiden RI mencanangkan gerakan menanam sejuta pohon, lebih dari 1300 tahun yang lalu Dapunta Hyang Sri Jayanasa (penguasa Kerajaan Sriwijaya) telah lebih dulu mencanangkan pembangunan taman. Sebuah taman yang tanaman buahnya dapat dimanfaatkan untuk semua makhluk hidup. Kalau sang Presiden RI mencanangkan Program Penanaman Sejuta Pohon sebagai akibat rusaknya lingkungan hidup (hutan), atau bisa jadi karena desakan dari dunia internasional, Dapunta Hyang Sri Jayanasa memerintahkan pembangunan taman semata-mata untuk kesejahteraan rakyatnya.
Kalau kita menoleh jauh ke belakang, ke masa ketika awal dibangunnya kota Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 682 Masehi, pembangunan Taman Sriksetra itu tentu tidak ada maksud lain selain menyejahterakan rakyatnya.
Kota Sriwijaya itu terletak di kota Palembang sekarang, pada sebuah dataran rendah yang dibelah sungai Musi. Taman Sriksetra terletak di dataran tinggi yang berbukit-bukit dan berlembah-lembah. Pada lembah-lembahnya mengalir beberapa anak sungai yang bermuara di sungai Musi, seperti Sungai Sekanak, Sungai Kedukan, dan Sungai Lambidaro.
Pada masa awal berdirinya kota Sriwijaya, tentunya sungai-sungai ini berair jernih dan dapat dimanfaatkan oleh penduduk kota sebagai sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi dengan dibangunnya bendungan di sekitar taman di daerah yang tinggi, tentunya dimanfaatkan sebagai tandon air ketika musim kemarau.
Taman Sriksetra dibangun agar rakyat sejahtera karena tidak kelaparan sebagaimana harapan yang tertulis dalam prasasti : "Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya)"
Harapan ini agaknya tidak hanya ditujukan kepada penduduk kota Sriwijaya, tetapi juga semua penduduk kerajaan. Mungkin saja penduduk dari luar kota Sriwijaya yang hendak ke kota singgah dulu di Taman Sriksetra.
Kunci dari keberhasilan seseorang pemimpin adalah menyejahterakan rakyatnya. Rakyat yang lapar dan tidak sejahtera tentu akan melakukan perbuatan yang melanggar tatanan masyarakat. Hal ini disadari betul oleh Dapunta Hyang, sebagaimana tersirat dan tersurat dalam Prasasti Talang Tuo.
"Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, dimana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah."

Senin, 22 Maret 2010

SRIKSETRA : TAMAN KALA PURBA YANG TERGUSUR (1)

"Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Sriksetra dibuat dibawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Baginda : Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya ; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan ...."
Inilah sepenggal kalimat yang diabadikan dalam sebuah prasasti batu untuk memperingati pembangunan Taman Sriksetra atau "Taman Negara" oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya. Prasasti batu tersebut dikenal dengan nama Prasasti talang Tuo.
Salah satu tapak penting sejarah keberadaan Sriwijaya itu diketemukan oleh Residen Palembang L.C Westenenk pada tanggal 17 November 1920 di suatu daerah yang sekarang termasuk Desa Talang Tuo, Kecamatan Alang-Alang Lebar (sekitar 5 kilometer ke arah barat laut Palembang). Keadaan fisiknya masih baik, dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50 x 80 cm. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Lokasi tempat diketemukannya prasasti ditandai dengan sebuah "makam", yang dikenal penduduk sebagai makam Mbah Banua (mungkin berasal dari kata wanua yang dijumpai pada prasasti Kedukan Bukit yang berkisah tentang pendirian wanua Sriwijaya oleh Dapunta Hyang). "Makam" ini terletak pada bagian punggung sebuah talang (tanah yang tinggi). Di sekelilingnya terdapat lembah yang dialiri sungai-sungai kecil, dimana sungai-sungai ini bermuara di Sungai Musi, di kota Palembang.
Di seberang lembah juga terdapat tanah-tanah yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian serbuk sari tanaman oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas), dulunya di daerah ini terdapat tanaman buah-buahan dan tanaman sejenis palma, sebagaimana yang disebutkan dalam prasasti Talang Tuo, juga tanaman jenis bambu-bambuan yang batangnya dapat dimanfaatkan untuk membuat bangunan.

Minggu, 28 Februari 2010

PREMANISME SUDAH MARAK SEJAK ZAMAN JAWA KUNO (3)

Beberapa candi yang memuat adegan kekerasan dapat dilihat di Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah, bercorak Budhis. Pada tangga masuk di sisi selatan candi peninggalan abad ke-9 - 10 itu terdapat panil relief yang menggambarkan dua figur, salah satunya memegang gada/parang (?), sedangkan figur yang satu memegang alat semacam perisai.
Di Jawa Timur, panil-panil relief yang menggambarkan kekerasan dapat dilihat pada Candi Surawane (Pare, Kediri, Jawa Timur), merupakan peninggalan sekitar abad ke-14 Masehi, bercorak keagamaan Budhis. Pada bagian kaki candi sisi utara terlihat relief yang menggambarkan adegan kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang memilin kepala seseorang. Sementara pada Candi Rimbi, Bareng, Jombang yang berasal dari peninggalan abad ke-13 - 14 Masehi, pada bagian kaki candi, di sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan dengan menggunakan kain cancut.
Fenomena masyarakat Jawa Kuno tentang dunia kekerasan tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Para penguasa pada masa itu sudah mengindahkan aturan-aturan dan nilai-nilai hidup yang harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan kepercayaan/agama. Aturan-aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan prasasti dan gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan-pesan moral dan etika, sebagai tuntunan hidup manusia.
Walaupun peraturan dengan segala sanksi hukum begitu kerasnya, bahkan desa-desa dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus berperan aktif dalam menjaga ketertiban, tetapi masih sering terjadi tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum tidak diimbangi dengan disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi dimana-mana bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di negeri ini. (TM Hari Lelono)

Sabtu, 27 Februari 2010

PREMANISME SUDAH MARAK SEJAK ZAMAN JAWA KUNO (2)

Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9 - 10 Masehi di Jawa Tengah pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa paska Majapahit abad ke-13 - 15 Masehi memuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, Prasasti Balingawan berangka tahun 891 Masehi dari bahan batu yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi Sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawar (darah tersebar berceceran) dan wankay kabuan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminil-walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya diketemukan di desa tersebut-maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi ? Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan masyarakat desa yang bergantung pada hirarkhi pemerintahan diatasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan, Desa Balingawan menjadi sebuah Sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.
Kedua, Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 Masehi yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua diantaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap yang ditulis diatas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan Sima dari raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakannya pesta perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini pada masa Jawa Kuno terletak di sekitar gunung Susundara (Sundara) dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Ketiga, Prasasti Kaladi yang berangka tahun 909 Masehi. Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung, isinya tentang pemberian Sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Keempat, Prasasti Sanguran yang berangka tahun 928 Masehi. Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, diantaranya : wipati wankay kabuan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur ing dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian ?), tutan (mengejar lawan yang kalah ?), danda kudanda (pukul memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
Kelima, Naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan jaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.
Hukum tersebut berisikan tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi hutang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwan rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual beli), widadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).

Selasa, 23 Februari 2010

PREMANISME SUDAH MARAK SEJAK ZAMAN JAWA KUNO (1)

Fenomena kekerasan dalam masyarakat Jawa Kuno dapat diketahui melalui kajian arkeologi dari sumber-sumber tertulis berupa prasasti, lontar, dan naskah-naskah. Adapun penggambaran dalam beberapa panil relief candi terdapat di Candi Mendut di Jawa Tengah serta Candi Surawana dan Rimbi di Jawa Timur.
Pemerintah kini sedang disibukkan dengan ulah para preman/penjahat yang sering mengganggu ketentraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat harus bekerja keras dan menumpas habis segala bentuk kejahatan. Namun, usaha itu akan sia-sia jika tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Gambaran ini juga terjadi pada masa pemerintahan kerajaan besar seperti Sriwijaya, Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Pada masa Jawa Kuno, serangkaian undang-undang dan hukum berupa pemberian sanksi yang keras diberlakukan tidak saja kepada para pelaku kejahatan, tetapi juga warga yang desanya sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Sanksi yang diberikan kepada desa-desa tersebut berupa denda dan pajak yang sangat memberatkan. Oleh karena itu, penduduk desa membuat pos-pos keamanan untuk meminimalisir kejahatan. walaupun upaya itu telah dilakukan, masih sering terjadi kejahatan karena faktor alam dan lingkungan berupa hutan lebat dan terisolirnya dari pusat pemerintahan.
Naskah-naskah hukum di Bali dan ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dari masa paska Majapahit. Naskah yang ditulis dan diterjemahkan oleh para sastrawan tersebut diacu dari institusi kerajaan di India yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan.
Dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para pejabat kehakiman dari masa klasik (Hindu-Budha) tidak semuanya ditulis diatas logam, tembaga atau perunggu karena tidak praktis dan terlalu berat. Biasanya ditulis diatas ripta berupa daun lontar atau karas. Setelah berpuluh-puluh tahun ripta tersebut dapat rusak dan disalin kembali serta dilakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan pasal-pasal sesuai dengan perubahan bahasa dan perkembangan masyarakat.
Adanya naskah hukum tadi memberikan gambaran yang jelas bahwa masyarakat Jawa Kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram, dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan.

Minggu, 14 Februari 2010

MENJELANG KEMERDEKAAN INDONESIA : PERJUANGAN ANTI BELANDA DI AUSTRALIA 1942 - 1949 (2)

Rakyat Australia yang pernah merasakan menjadi koloni Inggris selama berabad-abad dapat merasakan penderitaan bangsa Indonesia. Terlebih perlakuan rasialis Belanda kepada masyarakat Indonesia saat berada di Australia terlihat sangat menyakitkan
Alhasil, pelbagai aksi pun dimulai dari pemboikotan kapal militer dan sipil Belanda, pesawat Belanda, unjuk rasa, pengumpulan dana, beroperasinya radio perjuangan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Jawa di Australia.
Tak ketinggalan, pelaut Tionghoa, India, Vietnam, Malaya, Philipina, dan bangsa-bangsa Asia bergabung. Setidaknya, dalam setiap aksi pelaut Indonesia selalu terlihat bendera Tiongkok mendampingi Merah Putih.
Dukungan terbesar datang dari kaum Buruh, terutama Waterside Worker Federation (WWF) atau serikat pekerja tepi air. Tidak ketinggalan para cendekiawan dari Sydney University, tokoh Gereja Anglikan, hingga para mahasiswa turut serta menggalang aksi dukungan, bahkan unjuk rasa. Penangkapan aktivis dan pembubaran unjuk rasa dengan kekerasan sempat mereka alami demi mendukung kemerdekaan Indonesia. Pengumpulan dana dari masyarakat dan tanda tangan serikat buruh perkapalan berhasil mendapatkan dukungan satu setengah juta tanda tangan.
Bahkan, para prajurit Australia yang baru saja merebut Balikpapan dari tangan Jepang mengumpulkan petisi yang dikirim kembali ke negerinya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Mereka menulis " .... bagian terbesar tentara kita memiliki simpati yang besar sekali terhadap rakyat disini, yang hidupnya terus-menerus sengsara di bawah kaum imperialis, ..... Ungkapam yang paling sering dipakai oleh anggota-anggota tentara kita, orang Belanda adalah sekumpulan .... (sebutan kasar)."
Aksi desersi seperti para awak kapal India yang sengaja didatangkan Belanda yang armadanya terkena boikot WWF juga mewarnai catatan sejarah. Demikian pula aksi desersi sejumlah tentara Inggris yang tidak mau terlibat dalam upaya penegakan kembali kolonial Belanda di Indonesia.
Salah satu hasil penting aksi boikot ini adalah menggagalkan upaya dominasi ekonomi Belanda dengan pengiriman mata uang mereka. Alhasil, uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) lebih dahulu beredar menggantikan uang Jepang.
Hubungan mesra Indonesia - Australia disadari oleh Belanda yang secara diplomatis mulai kehilangan pijakan. Bahkan serdadu NICA Belanda pun menyaru sebagai Digger (Serdadu Australia) agar tidak ditembaki pejuang. Setidaknya para prajurit NICA Belanda di Jawa kerap memakai Sloutch Hat (topi serdadu Australia) agar mendapatkan simpati masyarakat Indonesia.
Pada masa genting, Republik Indonesia juga memilih Australia sebagai ujung tombak Komisi Tiga Negara (Komisi Jasa Baik) sebagai penengah dalam konflik dengan Belanda. Misi ini adalah salah satu misi perdamaian PBB yang pertama selepas Perang Dunia II.
Laporan keras dari Komisi Jasa Baik (KTN) ke Dewan Keamanan PBB awal 1949 atas perilaku Belanda di Indonesia mendorong lahirnya langkah tegas yang berujung pada Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 (kini Belanda mengakui Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945).
Inilah dukungan perjuangan bersama Indonesia, Astralia, dan bangsa-bangsa Asia lainnya yang kini mulai terlupakan (Iwan Santosa)

Jumat, 12 Februari 2010

MENJELANG KEMERDEKAAN INDONESIA : PERJUANGAN ANTI BELANDA DI AUSTRALIA 1942 - 1949 (1)

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak sebatas manuver gerilya di Nusantara dan diplomasi lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Sepanjang Perang Pasifik Maret 1942 - hingga Pengakuan Kedaulatan tahun 1949, masyarakat Indonesia, Australia, dan bangsa-bangsa Asia bergerak aktif menentang Belanda di benua Kangguru Australia.
Berawal dari kedatangan sekitar 10.000 orang Indonesia yang mengungsi ke Australia menyusul jatuhnya Hindia - Belanda bulan Maret 1942, dimulailah "Bulan Madu" hubungan Indonesia-Australia. Tidak hanya mendukung upaya Sekutu mengalahkan Jepang, rombongan tersebut membawa semangat kemerdekaan dan disambut baik publik Australia.
Dalam buku Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia karya Martin O' Hare dan Anthony Reid disebutkan, rombongan tersebut mencakup pelbagai golongan. Anggota Raad Van Indie ( Dewan Hindia ), prajurit KNIL (Koninkrijk Nederlandsch Indisch Leger), pelaut angkatan laut Belanda (Zeemacht), penerbang militer diantaranya Halim Perdana Kusumah, pelaut maskapai Belanda KPM (Koninkrik Paketvaart Maatschapij) merupakan kelompok pertama yang hadir di Australia
Tidak ketinggalan pada Juni 1943 sebanyak 300 Digulis-tahanan politik Pemerintah Kolonial Belanda beserta keluarganya diungsikan dari Digul di tanah Papua ke Australia. Di Australia, Belanda langsung Mengambil ancang-ancang menduduki kembali Indonesia semasa Perang Pasifik dengan menunjuk Hubert J Van Mook sebagai Letnan Gubernur Jendral menggantikan Ch O Van Der Plas, sekaligus memimpin Nederlansch Indies Civil Administration (NICA) di Brisbane.
Pelbagai asosiasi persahabatan Indonesia-Australia muncul seturut kehadiran puluhan ribu orang Indonesia di Australia. Terjadi kawin campur antara pendatang Indonesia dan warga Australia.Salah satunya diantaranya adalah pernikahan Julius Tahija dan istrinya Jeanne. Tahija kelak menjadi satu-satunya petinggi perusahaan Caltex yang bukan berkulit putih di masa kemerdekaan Indonesia. Simpati tumbuh terhadap orang-orang Indonesia, terlebih masyarakat Australia yang pernah menjadi koloni menyaksikan langsung sikap angkuh aparat Belanda di Australia dalam menghadapi masyarakat Indonesia di Benua Kangguru. Di saat itu, para aktivis kiri dari Indonesia langsung bergandengan tangan dengan kelompok kiri di Australia.
Tokoh politik di Indonesia dan sejumlah tawanan Digulis membuka jaringan di Australia. Beberapa tokoh penting adalah Sardjono (Ketua PKI dalam Pemberontakan 1926) ; Jamaludin Tamin, tangan kanan Tan Malaka ; Haryono, tokoh gerakan buruh ; Mohammad Bondan, seorang pimpinan PNI Baru ; Moehammad Hatta serta Soetan Syahrir yang pernah diasingkan ke Digul tahun 1934. Soetan Syahrir-pun memberi komentar : "Australia Lebih Mengerti Tentang Bangsa Indonesia dan Perjuangannya"

Selasa, 02 Februari 2010

PERTEMPURAN KOTABARU, NUKILAN EPOS KEPAHLAWANAN (2)

Setelah terjadi baku tembak lebih kurang tujuh jam, tentara Jepang akhirnya menyerah. Sejarah mencatat sekitar 1.100 orang Jepang ditangkap, sembilan orang meninggal, dan 20 orang lainnya luka-luka. Sementara itu, di pihak pejuang Yogyakarta 21 orang gugur dan 32 orang lainnya luka-luka.
Kini, nama-nama mereka yang gugur dalam pertempuran itu terpampang di sejumlah ruas jalan di wilayah Kotabaru. Media itu menjadi tanda agar bagian dari kesejarahan perjuangan kota Yogyakara melawan penjajah tetap dikenang, meski para pelakunya tidak berstatus Pahlawan Nasional.
Sayangnya, sekarang ini tidak banyak lagi orang yang mengingat, bahkan mengetahui perjuangan mereka. bahkan, nama-nama jalan yang kini sebagai monumen abadi dan penghormatan kepada jasa mereka, hanya dikenang sekilas sebagai sebuah alamat. Tak lebih. Tak banyak yang paham bahwa nama-nama mereka identik dengan heroisme menentang kolonialisme di tanah air Indonesia.
Jasa Faridan M. Noto yang ketika itu menjadi jendral lapangan, atau Supadi si anggota polisi istimewa, bentukan Jepang (Tokubetsu Keisatsutai) yang gugur saat baku tembak di sebelah timur Stadion Kridosono, terkubur seiring perjalanan waktu. Padahal, keringat dan darah mereka menumbuhkan semangat rakyat Yogyakarta untuk bersatu dan berjuang dalam perjuangan selanjutnya, yaitu Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kemenangan mereka terlupakan, seperti terpatri dalam Puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi. // ... Kami cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu / Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang yang berserakan / Ataukan jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa / Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata/Kaulah sekarang yang berkata ...// (Bima Baskara)

Senin, 01 Februari 2010

PERTEMPURAN KOTABARU, NUKILAN EPOS KEPAHLAWANAN (1)

...Kedatangan Inggris ke Surabaya 25 Oktober 1945 ternyata ditunggangi kepentingan Tentara Belanda yang masih ingin menguasai Indonesia. Arek-arek Suroboyo yang mengetahui hal itu kemudian marah dan mengadakan serangan besar-besaran pada tanggal 10 November 1945 pagi hari ...
Kini, pertempuran di Surabaya itu selalu dikenang setiap tahun sebagai Hari Pahlawan. Dalam kurun waktu yang hampir sama dengan peristiwa tersebut, di seluruh wilayah Indonesia juga terjadi perjuangan melawan penjajah, termasuk di kota Yogyakarta.
Namun berbeda dengan Surabaya, pertempuran sengit di Yogyakarta bertujuan melawan pemerintahan pendudukan Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan "Pertempuran Kotabaru" yang berlangsung pada tanggal 7 Oktober 1945.
Perlawanan di Kotabaru, salah satu kawasan pusat pemerintahan Jepang, terjadi karena pengaruh penjajah tersebut di Yogyakarta masih sangat kuat meskipun Indonesia sudah merdeka. Para petingi Jepang masih berada di Yogyakarta dan kegiatan pertahanan di markas Tentara Inti Jepang (Kidobutai) masih berjalan. Markas yang di dalamnya terdapat gudang senjata itu terletak di sebelah timur Stadion Kridosono, yang kini digunakan sebagai Asrama Komando Resort Militer (Korem) 072 Pamungkas.
Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda dari Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan pada tanggal 5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sejumlah rencana untuk menguasai markas Jepang.
Pertama, para pemuda menunggu berita mengenai hasil perundingan dengan Jepang. Kedua, melucuti senjata Jepang dengan cara damai, atau yang ketiga, menyerbu Kidobutai kalau perundingan gagal.
Untuk penyerbuan, mereka berbagi tugas, mulai dari rencana penyerbuan, pengadaan persenjataan, persiapan pemuda yang akan melakukan serangan, hingga pimpinan penyerbuan dipegang masing-masing oleh satu orang. Setelah rencana dimatangkan, para pemuda segera menjalankan tugasnya hari itu juga. Sambungan kawat telepon rumah para pembesar dan markas Jepang diputus.
Untuk mencegah bantuan kepada Jepang yang datang dari luar, perjalanan Kereta Api diawasi dan bila perlu dihentikan di perbatasan kota. Aliran listrik ke daerah Kotabaru pun dipadamkan.
Rencana penyerbuan Kotabaru ternyata terdengar hingga ke luar kota Yogyakarta. Pemuda-pemuda dari Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, segera berangkat ke kota menggunakan Kereta Api untuk bergabung. Selain itu, tidak sedikit pemuda dari Desa Sidokarto dan Godean di Kabupaten Sleman ikut mengepung markas Jepang di Kotabaru.
Keesokan harinya, 6 Oktober 1945, dimulailah perundingan dengan Jepang. Perundingan yang dimulai sore hari itu ternyata menemui jalan buntu. Dentuman granat kemudian terdengar pada pukul 20.00 WIB, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal.
Pukul 04.00 WIB keesokan harinya, 7 Oktober 1945, terdengar lagi dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan. Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah pertempuran di Kotabaru.

Jumat, 29 Januari 2010

PERANG PADRI YANG TAK ANDA KETAHUI (2)

Dalam jurnal tanggal 25 April 1837 diceritakan bahwa Kolonel Elout mempunyai dokumen-dokumen resmi yang membuktikan kesalahan Ali Basya Sentot dengan kehadirannya di Sumatra.
"Inlander ini yang dulu sangat kita hormati tiba-tiba melakukan pengkhianatan. Dia berkhayal mengepalai penduduk Melayu dan bertujuan mengusir berstuur Eropa, dengan perkataan lain membunuh semua orang Eropa. Dia telah menjadi korban kejahatannya karena orang-orang Melayu seperti diketahui mempunyai kejengkelan yang sama banyaknya terhadap orang-orang Jawa maupun orang Eropa," tulis Mayor De Salis.
Sebagaimana diketahui, Sentot, setelah usai Perang Jawa, masuk dinas Pemerintah Belanda. Kehadirannya di Jawa bisa menimbulkan masalah. Maka, tatkala Kolonel Elout melakukan serangan terhadap Padri tahun 1831-1832, dia memperoleh tambahan kekuatan dari legiun Sentot yang telah membelot itu.
Setelah pemberontakan tahun 1833, timbul kecurigaan serius bahwa Sentot melakukan persekongkolan (konspirasi) dengan kaum Padri. Karena itu, Elout mengirim Sentot dan legiunnya ke Jawa. Sentot tidak berhasil menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya. Belanda tidak ingin dia berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Padang. Pada perjalanan kesana Sentot diturunkan di Bengkulu dimana dia tinggal sampai meninggalnya sebagai orang buangan. Legiunnya dibubarkan dan anggota-anggotanya berdinas dalam Tentara Belanda.
Cerita tentang Tuanku Imam Bonjol terdapat dalam catatan jurnal 6 Mei 1837. Seorang perempuan M, lahir di daerah Mandailing, melarikan diri dari Bonjol dan menyeberang ke pihak Belanda. Dia bercerita pernah tinggal di rumah Tuanku Imam Bonjol. Dia lari lantaran harus bekerja terlalu keras sedangkan makanannya sangat sedikit, hanya terdiri dari ubi.
Tuanku Imam Bonjol, katanya, sedang memulihkan kesehatannya dari luka-luka yang diperolehnya. Tuanku punya tiga istri dan empat selir. Salah satu istrinya ditembak mati bulan Desember yang lalu. Sedangkan seorang istri yang lain dikatakan dulu telah mati ternyata hanya mengalami luka-luka. Salah satu selirnya mau melarikan diri tetapi dikejar oleh putra Tuanku Imam Bonjol, yaitu Sutan Sedi, dan dibunuh.Saya tidak tahu Tuanku Imam Bonjol beristri begitu banyak. Anda juga tidak tahu ?
Selanjutnya dicatat Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang, Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mohamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga 100 orang. Di gunung yang memberi perintah adalah Tuanku Haji Be di Bonjol dan terdapat enam meriam. Kebanyakan rumah sudah terbakar, hanya beberapa rumah dekat pegunungan yang masih berdiri. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit. Residen Belanda menurut catatan tanggal 7 Juni mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Tuanku Imam Bonjol.
Tuanku menyatakan bersedia melakukan perundingan dengan Residen atau dengan komandan militer. Perundingan itu tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan genjatan senjata berlaku. Tuanku akan datang ke tempat berunding tanpa membawa senjata. Tetapi perundingan tidak terlaksana. Sebab, Belanda berpendirian bahwa Tuanku Imam Bonjol harus menyerah tanpa syarat.
Belanda memang bersikap keras. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Belanda balas dendam. Kolonel Elout memanggil beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang muncul. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Tindakan ini di mata orang-orang Melayu sangat menurunkan derajat Belanda. Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di Benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke pihak Padri dan seorang perempuan Sumenep. Diantara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang yang bernama yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni Belanda. Juga ada seorang pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto.
Seterusnya ada Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Menurut jurnal, Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda.
Yang menarik adalah kebiasaan menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves). Kaum Padri melakukan ini di daerah Mandailing. Perdagangan budak masa itu sebuah gejala lazim. Sebuah kisah human interest ialah tentang pasar Suangai Puar. Kaum perempuan yang mengunjungi pasar, bila memakai tutup kepala berwarna merah (rode kap, kata penulis Belanda), maka itu adalah tanda bahwa perempuan itu sudah memasuki usia kawin dan masih perawan. Perempuan lain memakai tutup kepala warna merah dan putih, atau biru dan merah. Asal tahu saja (H. Rosihan Anwar).

Sabtu, 23 Januari 2010

PERANG PADRI YANG TAK ANDA KETAHUI (1)

Perang Padri (1821-1838) di Minangkabau. Anda biasanya menghubungkannya dengan pemimpin kaum Padri, yaitu Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) yang melawan penjajah Belanda, tetapi akhirnya dikalahkan, menyerah, dan dibuang ke pengasingan mulanya di Priangan, lalu di Ambon, kemudian di Manado tempat Tuanku Imam Bonjol meninggal 1864.
Gerakan Padri menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di Masyarakat Minangkabau, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium, narkoba), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matrilineal mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Anda niscaya tahu lebih banyak tentang Perang Padri apabila rajin membaca buku sejarah. Kendati begitu, masih juga ada segi-segi peperangan itu yang anda tidak ketahui. Dalam buku berbahasa Belanda dengan judul "Het einde van de Padrie-oorlog. Het beleg en de vermeestering van Bonjol 1834-1837. Een bronnenpub li catie (G. Teitler, 2004). Di situ terdapat empat sumber berupa surat, laporan, data, dan jurnal. Di situ terdapat data sejarah, tentu saja dari perspektif Belanda tetapi menarik.
Belanda menyerang benteng kaum Padri di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh Jendral dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku (kelompok etnis), seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira yang berada di depan Bonjol dapat dibaca Letnan Kolonel Bauer, Kapten Mac Lean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche Kapitein Noto Prawiro, Inladsche Luitenant Prawiro Di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Dalam jurnal ekspedisi, Mayor Jendral Cochius ke Padang tanggal 1 April 1837 bersama Bonjol. Juga ikut serta 148 Europeesche Officieren, 36 Inlandsche Officieren, 1.103 Europeanent, 4.130 Indlanders, Sumena-sche hulptroepen hieronder begrepen.
Yang dimaksud dengan belakangan ini adalah pasukan pembantu Sumenep alias Madura. Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, maka jurnal menyebutkan antara lain "orang-orang Bugis berada di bagian depan menerjang pertahanan Padri".
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan kapal Perle di Padang Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa, dan Africanen 1 sergeant, 4 korporaals en 112 flankeurs. Yang belakangn ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, dewasa ini negara Ghana, Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Apa artinya ini ? Konsep dalam Sumpah Pemuda 1928 : satu bangsa, satu Tanah Air, satu bahasa, yaitu Indonesia masih jauh panggang dari api. Untuk menegakkan kekuasaannya di Nusantara, Belanda melaksanakan asas Divide et Impera. Pecah belah dan perintah orang Jawa, Bugis, Madura, dan Ambon untuk menghantam serta menewaskan orang Minang, tidak ada masalah. Kesadaran berbangsa Indonesia belum ada. Tapi, gambaran lain ada dalam kasus Ali Basya Sentot, panglima Perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).