Kamis, 29 Oktober 2009

SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II (TULISAN KEDUA)

Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Inggris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. serah terima terjadi pada tanggal 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itupun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah menyatukan kedua Sultan, Sultan Mahmud Badaruddin II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, Sultan Mahmud Badaruddin II naik tahta kembali pada tanggal 7 Juni 1818. Sementara itu, untuk menghindari ancaman Raffles yang belum merelakan Palembang, Husin Diauddin berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Pada dasarnya Pemerintah Kolonial Belanda tidak percaya kepada Raja-Raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajagan ke pedalaman wilayah kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi wilayah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut Sultan Mahmud Badaruddin II yang masih setia. Sekembalinya, ia menuntut agar putra mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan Sultan kepada Belanda. Mungkin karena merasa "dibelenggu", Sultan Mahmud Badaruddin II mengambil sikap "sekarang atau tidak sama sekali untuk menghajar dan mengusir Belanda "bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk menyerahkan Putra Mahkota.
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai "Perang Menteng (dari kata Mutinghe)" pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, dimana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan harinya, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus sampai akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jendral Van Der Capellen merundingkannya dengan Laksamana JC Wolterbeek dan Mayor Jendral Merkus de Kock dan diputuskan untuk mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum Sultan Mahmud Badaruddin II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
Sultan Mahmud Badaruddin II telah memperhitungkan akan adanya serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga Sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Sungai Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 30 Oktober 1819.
Meski telah menang perang, Palembang tidak terlena. Sultan Mahmud Badaruddin II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada bulan Desember 1819 diangkat sebagai Sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. Sultan Mahmud Badaruddin II lengser dan bergelar Susuhunan. Penanggungjawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga Sultan. Di bidang perekonomian, rakyat Palembang dimakmurkan. Pada masanya diberlakukan sistem pertahanan yang sekarang dikenal dengan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Karena itu, Belanda tidak dapat mengetahui secara tepat jumlah tentara Palembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar