Minggu, 22 Januari 2012

MENYUSURI MATA RANTAI KRATON MATARAM : KOTAGEDE, KERTA, PLERET & KARTOSURO ( 3 )

Setelah Sultan Agung wafat, tahta kraton dipegang oleh Sunan Amangkurat I (putra Sultan Agung Hanyokrokusumo yang nama aslinya Raden Mas Jibus). Pada masa pemerintahan Amangkurat I inilah situasi kraton mengalami masa surut. Kraton Pleret diserang oleh Trunojoyo sekitar tahun 1677. Karena serangan pasukan Trunojoyo, Amangkurat I melarikan diri, hendak minta perlindungan VOC di Batavia. Tetapi belum sampai ke Batavia, Amangkurat I wafat di daerah Ajibarang, tepatnya di Tegalarum. Karena itu Amangkurat I dikenal juga sebagai Sunan Tegalarum.
Upaya merebut kraton Pleret dari tangan Trunojoyo dapat dilakukan oleh Pangeran Puger. Setelah merebut kraton Pleret, Pangeran Puger memaklumkan diri sebagai penerus raja Mataram bergelar Susuhanan Alaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama. Sementara itu, kakak Pangeran Puger, Amangkurat II yang merasa memiliki hak untuk meneruskan tahta kraton menempuh cara lain. Untuk menghindari perselisihan dengan adindanya, Amangkurat II membangun pusat pemerintahan baru di Kartosuro.
Secara resmi Amangkurat II naik tahta tahun 1680. Namun sebelumnya sempat terjadi perselisihan juga dengan Pangeran Puger. Perselisihan itu "dimenangkan" Amangkurat II atas bantuan VOC Belanda. Kraton Pleret sendiri saat itu sudah rusak, porak poranda akibat peperangan dengan Trunijoyo. Kondisi Kraton Pleret semakin parah tatkala meletus perang. Hingga sekarang tidak ada tempat "berarti" yang ditinggalkan kraton Pleret yang bisa menandai bahwa daerah tersebut dahulu bekas kraton besar.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika penguasa beralih kepada Amangkurat III terjadilah perselisihan dengan Belanda. Sebab menurut Belanda, Amangkurat III bekerja sama dengan Untung Surapati berusaha melawan Belanda. Atas taktik Belanda, akhirnya diadulah Amangkurat III dengan Pangeran Puger. Atas bantuan Belanda akhirnya pangeran Puger bisa duduk berkuasa kembali bergelar Paku Buwono I pada tahun 1706.
Sampai pada tahap ini, Kraton Mataram (baru) masih dapat dikatakan "utuh". Artinya belum terjadi pembagian kekuasaan. Keberadaan Kraton Mataram di kemudian hari dilanda kerusuhan, mulai dari pemberontakan bangsa Cina kepada Belanda sampai pada keinginan Pangeran Mangkubumi untuk naik tahta. Kraton Mataram akhirnya dibagi dua sesuai dengan Perjanjian Giyanti yang ditandatangani tahun 1655.
Perjanjian Giyanti berisi : Mataram dibagi dua bagian. Bagian timur untuk Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan Surakarta (Solo). Sedangkan bagian barat untuk Pangeran Mangkubumi bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.