Sabtu, 31 Oktober 2009

SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II (TULISAN KETIGA)

Perhitungan Sultan Mahmud Badaruddin II bahwa Belanda akan datang menyerang terbukti. Setelah melalui penggarapan bangsawan dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada tanggal 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. Banyak prajuritnya yang terluka dan tewas, tetapi De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jum'at dan Minggu dimanfaatkan oleh kedua belah pihak bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jum'at dengan harapan Sultan Mahmud Badaruddin II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni 1821 ketika wong Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang.
Serangan mendadak ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah Kolonialisme Belanda di Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, Sultan Mahmud Badaruddin beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
Catatan sejarah dari dagregister jelas menceritakan perjalanan sejarah Sultan Mahmud Badaruddin II dalam perjuangannya melawan Kolonialisme Barat. Perjuangan yang dimulai sejak sebelum naik tahta hingga dibuang ke Ternate seluruhnya terekam dalam dagregister, bahkan gambar sketsa tentang jalannya pertempuran sungai dan penangkapan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Data sejarah itu sedemian lengkap tetapi mengapa kalah dengan penulisan sejarah tokoh-tokoh lain dari tanah Jawa seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Hanyokrokusumo, dan Sultan Ageng Tirtayasa ? Terserah para sejarawan-lah Sudah sepantasnya Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Pahlawan Nasional namanya dipakai sebagai nama Bandara Internasional Palembang , dan gambarnya dicetak dalam mata uang RI Rupiah. (Disadur dari tulisan Bambang Budi Utomo)

Kamis, 29 Oktober 2009

SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II (TULISAN KEDUA)

Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Inggris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. serah terima terjadi pada tanggal 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itupun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah menyatukan kedua Sultan, Sultan Mahmud Badaruddin II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, Sultan Mahmud Badaruddin II naik tahta kembali pada tanggal 7 Juni 1818. Sementara itu, untuk menghindari ancaman Raffles yang belum merelakan Palembang, Husin Diauddin berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Pada dasarnya Pemerintah Kolonial Belanda tidak percaya kepada Raja-Raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajagan ke pedalaman wilayah kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi wilayah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut Sultan Mahmud Badaruddin II yang masih setia. Sekembalinya, ia menuntut agar putra mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan Sultan kepada Belanda. Mungkin karena merasa "dibelenggu", Sultan Mahmud Badaruddin II mengambil sikap "sekarang atau tidak sama sekali untuk menghajar dan mengusir Belanda "bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk menyerahkan Putra Mahkota.
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai "Perang Menteng (dari kata Mutinghe)" pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, dimana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan harinya, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus sampai akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jendral Van Der Capellen merundingkannya dengan Laksamana JC Wolterbeek dan Mayor Jendral Merkus de Kock dan diputuskan untuk mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum Sultan Mahmud Badaruddin II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
Sultan Mahmud Badaruddin II telah memperhitungkan akan adanya serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga Sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Sungai Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 30 Oktober 1819.
Meski telah menang perang, Palembang tidak terlena. Sultan Mahmud Badaruddin II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada bulan Desember 1819 diangkat sebagai Sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. Sultan Mahmud Badaruddin II lengser dan bergelar Susuhunan. Penanggungjawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga Sultan. Di bidang perekonomian, rakyat Palembang dimakmurkan. Pada masanya diberlakukan sistem pertahanan yang sekarang dikenal dengan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Karena itu, Belanda tidak dapat mengetahui secara tepat jumlah tentara Palembang.

Jumat, 23 Oktober 2009

SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II (TULISAN PERTAMA)

Bulan Oktober 2005 merupakan "bulannya" Sultan Mahmud Badaruddin II. Pertama dengan diresmikannya Bandar Udara di Palembang yang mengambil namanya. Kedua, Bank Indonesia mengeluarkan mata uang kertas pecahan Rp. 10.000,- bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II.
Siapa dan darimana tokoh ini ? Apa perannya bagi bangsa ini ? terus terang saja, bila pembaca mencari di buku Sejarah Nasional Indonesia, nama tokoh itu tidak diketemukan. Apalagi di kitab-kitab Sejarah untuk SD, SMP, dan SMA.
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah penguasa Kesultanan Palembang Darussalam (1774-1803) setelah menggantikan ayahnya Sultan Muhammad Bahauddin. Ketika naik tahta, ia sudah siap memerintah Kesultanan Palembang Darussalam dengan segala permasalahan menghadapi Inggris dan Belanda. Sejak masih menjadi Pangeran Ratu ia telah biasa menghadapi kelicikan orang-orang Eropa. Warisan yang diterimanya bukan hanya kekuasaan, kekayaan, dan bakat sastrawan, tetapi juga "permusuhan" dengan penjajah Eropa.
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto tanggal 15 Desember 1810 : "Sultan Palembang adalah salah seorang Pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan Dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut."
Bersamaan dengan adanya kontak antara Inggris dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk Sultan Mahmud Badaruddin II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, Sultan Mahmud Badaruddin II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Inggris dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerjasama Inggris-Palembang, dimana pihak Palembang lebih diuntungkan.
Sejak timah diketemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incara Inggris dan Belanda. Berdalih menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa ini berniat menguasai Palembang. Awal bercokolnya penjajahan bangsa Eropa biasanya ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang).
Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun pada tahun 1742 di tepi Sungai Aur (10 Ulu). Gara pembumihangusan dan pembantaian di loji ini pada 14 September 1811, mulai terjadi peperangan dengan bangsa Eropa. Belanda menuduh Inggris-lah yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Inggris cuci tangan, bahkan langsung menuduh Sultan Mahmud Badaruddin II yang berinisiatif melakukannya. Pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Aur dijadikan senjata politik sebagai pelanggaran HAM di kalangan politisi Eropa.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan Sultan Mahmud Badaruddin II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Inggris. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak oleh Sultan Mahmud badaruddin II. Akibatnya, Inggris mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum Sultan Mahmud Badaruddin II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan Sultan Mahmud Badaruddin menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang, Inggris merasa perlu mengangkat penguasa baru yang tentunya harus sejalan dengan keinginannya. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Inggris, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin II) diangkat menjadi Sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York's Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada tanggal 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya dugantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Melalui serangkaian perundingan, Sultan Mahmud Badaruddin II kembali ke Palembang dan naik tahta kembali pada tanggal 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.

Selasa, 06 Oktober 2009

POLITIK BERAS KERAJAAN MATARAM ( TULISAN KEDUA )

Meski demikian, Mataram gagal melihat beras sebagai komoditas untuk diplomasi. ketika Pakubuwana I hendak menguasai kartasura, ia bersekutu dengan dengan VOC. Kesalahan diplomasi Pakubuwana I telah terlihat sejak awal ketika VOC meminta imbal jasa atas partisipasinya dalam penyerbuan di Kartasura.
Permintaan VOC sangat sederhana. Pimpinan VOC menghadap Pakubuwana I dan menyatakan kalau pasukan VOC tidak akan meninggalkannya. Akan tetapi, ia memohon agar diberi beras 1000 koyam setiap tahun untuk memberi makan prajurit VOC yang menjaga Pakubuwana I.
Belum lagi Pakubuwana I menjawab, pimpinan VOC itu menulis surat sebagai tanda kesediaan raja. Raja seperti dipaksa menerima keinginan itu. Tembakan senapan dibunyikan sebagai tanda penghormatan terhadap perjanjian itu. Hal ini tidak disukai para adipati. Mereka sudah menduga sejak awal bahwa pelulusan permintaan itu akan membuat VOC semakin kurang ajar.
Kelak memang permintaan VOC semakin menjadi-jadi dan persoalan kecil itu merepotkan di kemudian hari. Di samping permintaan pasokan pangan, permintaan lain VOC juga semakin banyak. Kita hanya bisa menduga sejak awal hal itu merupakan taktik VOC.
Politik beras yang dilakukan kerajaan Mataram semakin meyakinkan kita betapa beras memang komoditas yang sangat strategis. Setiap penguasa tidak bisa mengabaikan komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras.
Politik harga beras, meski tidak muncul secara eksplisit dalam teks babad, memperlihatkan kepada kita bahwa petani harus diberi hati. Namun, prajurit Kraton dan abdi dalem juga tidak bisa dibiarkan mendapat beras dengan harga mahal. Dalam konteks ini, hanya penguasa yang secara disiplin bisa menjamin produksi beras dan menjaga stabilitas harga yang bisa aman berkuasa.
Presiden Soeharto (almarhum) sebagai anak petani pada jaman Orde Baru memahami hal ini. Produksi beras dijamin dengan ketersediaan pupuk, benih, dan air. Ia juga disiplin dalam mengendalikan harga sehingga harga menguntungkan petani dan konsumen. Ia juga disiplin memantau harga. Pada masa Orde Baru, kantor kepresidenan selalu mendapat data harga setiap hari.
Apabila Soeharto akhirnya jatuh, pelajaran dari Mataram jelas menunjukkan kewibawaan pemerintahan akan hancur begitu harga beras mahal. Penurunan Soeharto terjadi pada saat harga beras melambung tahun 1998.
Pemerintah sekarang cenderung abai dalam disiplin mengelola masalah per-beras-an. Petani tidak lagi mendapat jaminan harga pupuk, benih, dan pasokan air yang memadai. Pengendalian harga yang menguntungkan petani ataupun konsumen tidak mampu dilakukan. harga beras cenderung liar. Spekulasi mudah terjadi.
Pelajaran dari Mataram adalah : pemerintahan yang kuat terlihat dari kedisiplinnya dalam mengelola komoditas beras. ( Disadur dari tulisan Andreas Maryoto )