Jumat, 29 Januari 2010

PERANG PADRI YANG TAK ANDA KETAHUI (2)

Dalam jurnal tanggal 25 April 1837 diceritakan bahwa Kolonel Elout mempunyai dokumen-dokumen resmi yang membuktikan kesalahan Ali Basya Sentot dengan kehadirannya di Sumatra.
"Inlander ini yang dulu sangat kita hormati tiba-tiba melakukan pengkhianatan. Dia berkhayal mengepalai penduduk Melayu dan bertujuan mengusir berstuur Eropa, dengan perkataan lain membunuh semua orang Eropa. Dia telah menjadi korban kejahatannya karena orang-orang Melayu seperti diketahui mempunyai kejengkelan yang sama banyaknya terhadap orang-orang Jawa maupun orang Eropa," tulis Mayor De Salis.
Sebagaimana diketahui, Sentot, setelah usai Perang Jawa, masuk dinas Pemerintah Belanda. Kehadirannya di Jawa bisa menimbulkan masalah. Maka, tatkala Kolonel Elout melakukan serangan terhadap Padri tahun 1831-1832, dia memperoleh tambahan kekuatan dari legiun Sentot yang telah membelot itu.
Setelah pemberontakan tahun 1833, timbul kecurigaan serius bahwa Sentot melakukan persekongkolan (konspirasi) dengan kaum Padri. Karena itu, Elout mengirim Sentot dan legiunnya ke Jawa. Sentot tidak berhasil menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya. Belanda tidak ingin dia berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Padang. Pada perjalanan kesana Sentot diturunkan di Bengkulu dimana dia tinggal sampai meninggalnya sebagai orang buangan. Legiunnya dibubarkan dan anggota-anggotanya berdinas dalam Tentara Belanda.
Cerita tentang Tuanku Imam Bonjol terdapat dalam catatan jurnal 6 Mei 1837. Seorang perempuan M, lahir di daerah Mandailing, melarikan diri dari Bonjol dan menyeberang ke pihak Belanda. Dia bercerita pernah tinggal di rumah Tuanku Imam Bonjol. Dia lari lantaran harus bekerja terlalu keras sedangkan makanannya sangat sedikit, hanya terdiri dari ubi.
Tuanku Imam Bonjol, katanya, sedang memulihkan kesehatannya dari luka-luka yang diperolehnya. Tuanku punya tiga istri dan empat selir. Salah satu istrinya ditembak mati bulan Desember yang lalu. Sedangkan seorang istri yang lain dikatakan dulu telah mati ternyata hanya mengalami luka-luka. Salah satu selirnya mau melarikan diri tetapi dikejar oleh putra Tuanku Imam Bonjol, yaitu Sutan Sedi, dan dibunuh.Saya tidak tahu Tuanku Imam Bonjol beristri begitu banyak. Anda juga tidak tahu ?
Selanjutnya dicatat Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang, Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mohamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga 100 orang. Di gunung yang memberi perintah adalah Tuanku Haji Be di Bonjol dan terdapat enam meriam. Kebanyakan rumah sudah terbakar, hanya beberapa rumah dekat pegunungan yang masih berdiri. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit. Residen Belanda menurut catatan tanggal 7 Juni mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Tuanku Imam Bonjol.
Tuanku menyatakan bersedia melakukan perundingan dengan Residen atau dengan komandan militer. Perundingan itu tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan genjatan senjata berlaku. Tuanku akan datang ke tempat berunding tanpa membawa senjata. Tetapi perundingan tidak terlaksana. Sebab, Belanda berpendirian bahwa Tuanku Imam Bonjol harus menyerah tanpa syarat.
Belanda memang bersikap keras. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Belanda balas dendam. Kolonel Elout memanggil beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang muncul. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Tindakan ini di mata orang-orang Melayu sangat menurunkan derajat Belanda. Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di Benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke pihak Padri dan seorang perempuan Sumenep. Diantara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang yang bernama yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni Belanda. Juga ada seorang pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto.
Seterusnya ada Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Menurut jurnal, Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda.
Yang menarik adalah kebiasaan menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves). Kaum Padri melakukan ini di daerah Mandailing. Perdagangan budak masa itu sebuah gejala lazim. Sebuah kisah human interest ialah tentang pasar Suangai Puar. Kaum perempuan yang mengunjungi pasar, bila memakai tutup kepala berwarna merah (rode kap, kata penulis Belanda), maka itu adalah tanda bahwa perempuan itu sudah memasuki usia kawin dan masih perawan. Perempuan lain memakai tutup kepala warna merah dan putih, atau biru dan merah. Asal tahu saja (H. Rosihan Anwar).

Sabtu, 23 Januari 2010

PERANG PADRI YANG TAK ANDA KETAHUI (1)

Perang Padri (1821-1838) di Minangkabau. Anda biasanya menghubungkannya dengan pemimpin kaum Padri, yaitu Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) yang melawan penjajah Belanda, tetapi akhirnya dikalahkan, menyerah, dan dibuang ke pengasingan mulanya di Priangan, lalu di Ambon, kemudian di Manado tempat Tuanku Imam Bonjol meninggal 1864.
Gerakan Padri menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di Masyarakat Minangkabau, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium, narkoba), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matrilineal mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Anda niscaya tahu lebih banyak tentang Perang Padri apabila rajin membaca buku sejarah. Kendati begitu, masih juga ada segi-segi peperangan itu yang anda tidak ketahui. Dalam buku berbahasa Belanda dengan judul "Het einde van de Padrie-oorlog. Het beleg en de vermeestering van Bonjol 1834-1837. Een bronnenpub li catie (G. Teitler, 2004). Di situ terdapat empat sumber berupa surat, laporan, data, dan jurnal. Di situ terdapat data sejarah, tentu saja dari perspektif Belanda tetapi menarik.
Belanda menyerang benteng kaum Padri di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh Jendral dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku (kelompok etnis), seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira yang berada di depan Bonjol dapat dibaca Letnan Kolonel Bauer, Kapten Mac Lean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche Kapitein Noto Prawiro, Inladsche Luitenant Prawiro Di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Dalam jurnal ekspedisi, Mayor Jendral Cochius ke Padang tanggal 1 April 1837 bersama Bonjol. Juga ikut serta 148 Europeesche Officieren, 36 Inlandsche Officieren, 1.103 Europeanent, 4.130 Indlanders, Sumena-sche hulptroepen hieronder begrepen.
Yang dimaksud dengan belakangan ini adalah pasukan pembantu Sumenep alias Madura. Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, maka jurnal menyebutkan antara lain "orang-orang Bugis berada di bagian depan menerjang pertahanan Padri".
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan kapal Perle di Padang Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa, dan Africanen 1 sergeant, 4 korporaals en 112 flankeurs. Yang belakangn ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, dewasa ini negara Ghana, Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Apa artinya ini ? Konsep dalam Sumpah Pemuda 1928 : satu bangsa, satu Tanah Air, satu bahasa, yaitu Indonesia masih jauh panggang dari api. Untuk menegakkan kekuasaannya di Nusantara, Belanda melaksanakan asas Divide et Impera. Pecah belah dan perintah orang Jawa, Bugis, Madura, dan Ambon untuk menghantam serta menewaskan orang Minang, tidak ada masalah. Kesadaran berbangsa Indonesia belum ada. Tapi, gambaran lain ada dalam kasus Ali Basya Sentot, panglima Perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).

Senin, 18 Januari 2010

BELAJAR DARI PERISTIWA MADIUN 18 SEPTEMBER 1948 (2)

Betapapun tampak meyakinkannya, teori-teori itu memiliki kelemahan masing-masing. Teori mengenai PKI sebagai dalang Peristiwa Madiun misalnya, mengandung kelemahan mencolok. Ketika peristiwa itu pecah tanggal 18 September 1948, Muso dan para pemimpin PKI lain sedang ada di luar kota. Bila "pemberontakan" itu dipimpin Muso, seharusnya hari itu ia ada di Madiun. Muso justru terkejut mendengar berita mengenai apa yang terjadi, dan baru tiba kembali di Madiun tengah malam. Sementara itu para pemimpin PKI yang lain justru tertahan di Yogyakarta. Selanjutnya dokumen-dokumen yang konon "diketemukan" dan kemudian disebarkan oleh partai Murba, amat diragukan keasliannya, termasuk oleh Profesor Kahin yang sempat sendiri membaca berkas-berkas itu (Kahin : 1952).
Teori mengenai Kabinet Hatta sebagai pelaku utama Peristiwa Madiun perlu dipertanyakan. bahwa kabinet itu merencanakan rasionalisasi dan khawatir akan akan meluasnya pengaruh Komunis di Indonesia, itu jelas. Tetapi apakah berdasarkan rencana dan kekhawatiran itu lantas secara sengaja memprovokasi golongan Komunis agar berontak supaya bisa disingkirkan, belum bisa dipastikan. Tentu Hatta tidak menghendaki adanya perang saudara di tengah seriusnya ancaman militer Belanda yang siap melancarkan Agresi Militer Belanda II.
Teori provokasi Amerika Serikat terasa meragukan, antara lain karena cerita mengenai "Konferensi Sarangan" yang disebut-sebut sebagai dasar teori itu sebenarnya tidak pernah ada (Swift : 1989). Cochran yang dikabarkan sebagai seorang wakil Amerika Serikat dalam konferensi yang katanya berlangsung tanggal 21 Juli 1948 itu, baru tiba di Indonesia pada tanggal 9 Agustus 1948. Sementara itu, orang bernama "G Hopkins" yang dikatakan sebagai penasehat Presiden Truman itu mungkin hasil mengada-ada.
Teori mengenai rekayasa Moskwa juga cukup meragukan. Ketika mendengar pecah Peristiwa Madiun, Moskwa justru kaget. Pemahaman Moskwa mengenai peristiwa itu baru datang belakangan hingga tanggal 25 September 1948 koran resmi US Pravda menurunkan berita singkat tentang apa yang terjadi di Madiun. Informasi lebih lengkap yang didapat Moskwa justru datang dari Komunis Belanda, sehingga baru pada tanggal 15 Oktober 1948 koran itu menyampaikan tuduhan bahwa PKI telah diprovokasi untuk melakukan perlawanan supaya dapat dibasmi.
Kelemahan yang ada pada masing-masing teori bukan berarti tidak ada kebenaran dalam teori-teori itu, tetapi bahwa "kebenaran" tentang Peristiwa Madiun mungkin terletak pada kombinasi dari unsur-unsur yang terkandung dalam keempatnya. yang jelas, ada satu fakta yang sulit dipungkiri, dalam peristiwa itu anak-anak bangsa telah menjadi pelaku dan korban baku tuduh hingga baku bunuh dalam skala besar.
banyak warga golongan kiri dihabisi tentara pemerintah, tetapi banyak pula anggota PKI yang membunuh lawan-lawan politiknya dalam jumlah besar. Diantara golongan kiri yang dibunuh adalah Mr. Amir Syarifuddin, mantan Perdana Menteri RI yang disuruh menggali lubang kuburnya sendiri sebelum kemudian dieksekusi tentara. tanpa pengadilan, tanpa kesempatan membela diri.
Sayang, dalam sebuah peristiwa yang berlangsung secara relatif singkat di awal sejarah Republik, terjadi pembantaian antar sesama warga bangsa dalam jumlah ratusan, mungkin ribuan. Namun, lebih sayang lagi, tragedi nasional macam itu kurang mendapat kesempatan untuk diolah secara mendalam, selain diberi label "Pemberontakan PKI yang gagal." Jangan-jangan antara lain karena kurangnya pengolahan pengalaman atas momen-momen historis macam itu, maka tragedi baku tuduh hingga baku bunuh terus berlanjut sampai kini. Pembunuhan massal 1965, kerusuhan Solo, Maluku, dan Poso hanyalah beberapa contoh.
Diharapkan, ingatan akan apa yang terjadi dalam Peristiwa Madiun mendorong kita untuk tak enggan berdialog dengan pengalaman masa lalu. Munculnya berbagai teori itu hendaknya menyadarkan kita bahwa upaya mencari kebenaran itu tidak mudah tetapi harus dilaksanakan. Semoga kita tidak bosan untuk terus mengolah pengalaman sejarah bangsa ini ( Baskara T. Wardaya, S.J).