Kamis, 25 Agustus 2011

IKWAL PENULISAN SEJARAH DAN PERISTIWA G 30 S ( 3 )

Surat kabar Washington Post dan laporan Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA) mengenai Peristiwa G 30 S menyebut pembantaian massal yang terjadi saat itu sebagai yang terburuk di dunia setelah era Stalin dan Nazi Jerman. Namun pembantaian tersebut tidak tercakup dalam buku pelajaran Sejarah Indonesia di sekolah.
Buku pelajaran Sejarah tidak akan berubah karena dilihat sebagai bagian dari indoktrinasi. Maka, tidak akan pernah ditulis hubungan dekat dan berlangsung lama antara Soeharto dan Syam Kamaroezaman, "Biro Khusus" PKI, Letnan Kolonel Oentoeng, dan Brigjen Soepardjo, mereka adalah motor Peristiwa G 30 S.
Ikhwal peran PKI sendiri menjadi lebih jelas dalam telegram rahasia Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Marshall Green, 5 Oktober 1965. Ia minta petunjuk Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengenai langkah yang akan ditempuhnya, antara lain menyebarkan informasi bahwa PKI bersalah, berkhianat, dan bertindak brutal.
Agar semua lancar, Duta Besar Marshall Green menyarankan Amerika Serikat segera membantu kebutuhan Angkatan Darat. Dalam telegram sebelumnya, masih pada hari yang sama, Marshall Green mengatakan, inilah saatnya Angkatan Darat menghantam PKI. "Sekarang atau tidak akan pernah lagi." Esoknya, melalui telegram rahasia, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Ball menjawab, Radio Amerika Serikat VOA (Voice of America) mulai menyebarkan informasi "PKI yang salah".
Laporan CIA kepada Presiden Johnson, 6 Oktober 1965, menyebut tokoh-tokoh PKI telah melarikan diri atau bersembunyi. Kebijakan partai tidak mendukung G 30 S. Anggota partai yang mendukung G 30 S dicap melakukan petualangan.
Sejarah memang akan membuktikan kebenarannya. Namun, apa yang benar bagi pejabat belum tentu demikian bagi rakyat. Kebenaran hanya diketemukan dalam kejujuran, sementara kekuasaan menggoda pejabat Indonesia tidak jujur (Maruli Tobing)