Pemberantasan Paraku-PGRS ternyata terkait dengan konflik horizontal antara Dayak dan Tionghoa bulan Oktober-November 1967. Setelah Soekarno turun dari kekuasaan dan pemerintahan Soeharto berdamai dengan Malaysia usai Konferensi Bangkok 28 Mei 1966, Paraku-PGRS dijadikan musuh bersama.
Setelah perdamaian tanggal 11 Agustus 1966, Paraku-PGRS oleh militer Indonesia disebut gerombolan Tjina Komunis (GTK). Anggota Paraku-PGRS melawan dan terjadi perebutan senjata di Pangkalan Udara Sanggau Ledo. Paraku-PGRS merebut 150 pucuk senjata dan menewaskan tiga anggota Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Pemerintahan Soeharto pro Washington yang anti komunis pun bertindak keras. Operasi Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III digelar sejak April 1967 hingga Desember 1969 dipimpin oleh Brigadir Jendral A.J. Witono.
Operasi pemberantasan Paraku-PGRS diwarnai peristiwa "Mangkok Mera" bulan Oktober-November 1967 ketika terjadi kekerasan antara Dayak terhadap Tionghoa yang menurut Majalah Far Eastern Economic Review (FEER) volume 100 tanggal 30 Juni 1978, menelan korban jiwa 3000 orang Tionghoa.
Peristiwa itu dipicu kekerasan terhadap sejumlah Tumenggung Dayak yang menurut militer diculik di Taum, Sanggau Ledo oleh GTK. Selang beberapa hari, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) menemukan sembilan mayat yang disebut sebagai tokoh Dayak.
Benny Subianto mencatat, juru bicara militer di Harian Angkatan Bersenjata menyatakan orang Dayak harus membalas.
Kekerasanpun terjadi secara masif di wilayah operasi militer menumpas Paraku-PGRS. Strategi yang digunakan militer dicatat Herbert Feith adalah mengeringkan kolam (masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat) tempat ikan (gerilyawan) hidup.
"Pengeringan Kolam" dilakukan melalui peristiwa "Mangkok Merah" sehingga warga Tionghoa hijrah dari pedalaman ke perkotaan, seperti Pontianak dan Singkawang.
Bahkan, ada warga Tionghoa yang lari ke Serawak, Malaysia. Chong, seorang warga Sambas mengaku hijrah ke Serawak paska kerusuhan tersebut. Kini, ia hidup bersama keluarga di pinggiran Kuching, ibukota Serawak.
Kekerasan yang terjadi dalam ingatan rohaniawan Herman Josef Van Hulten berlangsung sangat cepat dan terorganisir. Rohaniawan Monsinyur Isak Doera, yang berada di Pontianak tahun 1967-1971, mengakui pembunuhan para tokoh Dayak adalah rekayasa militer demi memicu konflik horizontal.
Para tokoh Dayak yang diwawancarai Benny tahun 2000 mengaku heran mengapa persaudaraan Melayu-Dayak dan Tionghoa bisa koyak saat itu. Singkat cerita, Paraku-PGRS tumpas dengan meninggalkan luka sejarah di Kalimantan Barat. (ONG)
Setelah perdamaian tanggal 11 Agustus 1966, Paraku-PGRS oleh militer Indonesia disebut gerombolan Tjina Komunis (GTK). Anggota Paraku-PGRS melawan dan terjadi perebutan senjata di Pangkalan Udara Sanggau Ledo. Paraku-PGRS merebut 150 pucuk senjata dan menewaskan tiga anggota Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Pemerintahan Soeharto pro Washington yang anti komunis pun bertindak keras. Operasi Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III digelar sejak April 1967 hingga Desember 1969 dipimpin oleh Brigadir Jendral A.J. Witono.
Operasi pemberantasan Paraku-PGRS diwarnai peristiwa "Mangkok Mera" bulan Oktober-November 1967 ketika terjadi kekerasan antara Dayak terhadap Tionghoa yang menurut Majalah Far Eastern Economic Review (FEER) volume 100 tanggal 30 Juni 1978, menelan korban jiwa 3000 orang Tionghoa.
Peristiwa itu dipicu kekerasan terhadap sejumlah Tumenggung Dayak yang menurut militer diculik di Taum, Sanggau Ledo oleh GTK. Selang beberapa hari, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) menemukan sembilan mayat yang disebut sebagai tokoh Dayak.
Benny Subianto mencatat, juru bicara militer di Harian Angkatan Bersenjata menyatakan orang Dayak harus membalas.
Kekerasanpun terjadi secara masif di wilayah operasi militer menumpas Paraku-PGRS. Strategi yang digunakan militer dicatat Herbert Feith adalah mengeringkan kolam (masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat) tempat ikan (gerilyawan) hidup.
"Pengeringan Kolam" dilakukan melalui peristiwa "Mangkok Merah" sehingga warga Tionghoa hijrah dari pedalaman ke perkotaan, seperti Pontianak dan Singkawang.
Bahkan, ada warga Tionghoa yang lari ke Serawak, Malaysia. Chong, seorang warga Sambas mengaku hijrah ke Serawak paska kerusuhan tersebut. Kini, ia hidup bersama keluarga di pinggiran Kuching, ibukota Serawak.
Kekerasan yang terjadi dalam ingatan rohaniawan Herman Josef Van Hulten berlangsung sangat cepat dan terorganisir. Rohaniawan Monsinyur Isak Doera, yang berada di Pontianak tahun 1967-1971, mengakui pembunuhan para tokoh Dayak adalah rekayasa militer demi memicu konflik horizontal.
Para tokoh Dayak yang diwawancarai Benny tahun 2000 mengaku heran mengapa persaudaraan Melayu-Dayak dan Tionghoa bisa koyak saat itu. Singkat cerita, Paraku-PGRS tumpas dengan meninggalkan luka sejarah di Kalimantan Barat. (ONG)
modar habisi aja
BalasHapus