Minggu, 28 Februari 2010

PREMANISME SUDAH MARAK SEJAK ZAMAN JAWA KUNO (3)

Beberapa candi yang memuat adegan kekerasan dapat dilihat di Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah, bercorak Budhis. Pada tangga masuk di sisi selatan candi peninggalan abad ke-9 - 10 itu terdapat panil relief yang menggambarkan dua figur, salah satunya memegang gada/parang (?), sedangkan figur yang satu memegang alat semacam perisai.
Di Jawa Timur, panil-panil relief yang menggambarkan kekerasan dapat dilihat pada Candi Surawane (Pare, Kediri, Jawa Timur), merupakan peninggalan sekitar abad ke-14 Masehi, bercorak keagamaan Budhis. Pada bagian kaki candi sisi utara terlihat relief yang menggambarkan adegan kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang memilin kepala seseorang. Sementara pada Candi Rimbi, Bareng, Jombang yang berasal dari peninggalan abad ke-13 - 14 Masehi, pada bagian kaki candi, di sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan dengan menggunakan kain cancut.
Fenomena masyarakat Jawa Kuno tentang dunia kekerasan tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Para penguasa pada masa itu sudah mengindahkan aturan-aturan dan nilai-nilai hidup yang harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan kepercayaan/agama. Aturan-aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan prasasti dan gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan-pesan moral dan etika, sebagai tuntunan hidup manusia.
Walaupun peraturan dengan segala sanksi hukum begitu kerasnya, bahkan desa-desa dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus berperan aktif dalam menjaga ketertiban, tetapi masih sering terjadi tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum tidak diimbangi dengan disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi dimana-mana bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di negeri ini. (TM Hari Lelono)

Sabtu, 27 Februari 2010

PREMANISME SUDAH MARAK SEJAK ZAMAN JAWA KUNO (2)

Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9 - 10 Masehi di Jawa Tengah pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa paska Majapahit abad ke-13 - 15 Masehi memuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, Prasasti Balingawan berangka tahun 891 Masehi dari bahan batu yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi Sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawar (darah tersebar berceceran) dan wankay kabuan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminil-walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya diketemukan di desa tersebut-maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi ? Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan masyarakat desa yang bergantung pada hirarkhi pemerintahan diatasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan, Desa Balingawan menjadi sebuah Sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.
Kedua, Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 Masehi yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua diantaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap yang ditulis diatas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan Sima dari raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakannya pesta perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini pada masa Jawa Kuno terletak di sekitar gunung Susundara (Sundara) dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Ketiga, Prasasti Kaladi yang berangka tahun 909 Masehi. Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung, isinya tentang pemberian Sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Keempat, Prasasti Sanguran yang berangka tahun 928 Masehi. Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, diantaranya : wipati wankay kabuan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur ing dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian ?), tutan (mengejar lawan yang kalah ?), danda kudanda (pukul memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
Kelima, Naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan jaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.
Hukum tersebut berisikan tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi hutang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwan rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual beli), widadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).

Selasa, 23 Februari 2010

PREMANISME SUDAH MARAK SEJAK ZAMAN JAWA KUNO (1)

Fenomena kekerasan dalam masyarakat Jawa Kuno dapat diketahui melalui kajian arkeologi dari sumber-sumber tertulis berupa prasasti, lontar, dan naskah-naskah. Adapun penggambaran dalam beberapa panil relief candi terdapat di Candi Mendut di Jawa Tengah serta Candi Surawana dan Rimbi di Jawa Timur.
Pemerintah kini sedang disibukkan dengan ulah para preman/penjahat yang sering mengganggu ketentraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat harus bekerja keras dan menumpas habis segala bentuk kejahatan. Namun, usaha itu akan sia-sia jika tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Gambaran ini juga terjadi pada masa pemerintahan kerajaan besar seperti Sriwijaya, Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Pada masa Jawa Kuno, serangkaian undang-undang dan hukum berupa pemberian sanksi yang keras diberlakukan tidak saja kepada para pelaku kejahatan, tetapi juga warga yang desanya sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Sanksi yang diberikan kepada desa-desa tersebut berupa denda dan pajak yang sangat memberatkan. Oleh karena itu, penduduk desa membuat pos-pos keamanan untuk meminimalisir kejahatan. walaupun upaya itu telah dilakukan, masih sering terjadi kejahatan karena faktor alam dan lingkungan berupa hutan lebat dan terisolirnya dari pusat pemerintahan.
Naskah-naskah hukum di Bali dan ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dari masa paska Majapahit. Naskah yang ditulis dan diterjemahkan oleh para sastrawan tersebut diacu dari institusi kerajaan di India yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan.
Dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para pejabat kehakiman dari masa klasik (Hindu-Budha) tidak semuanya ditulis diatas logam, tembaga atau perunggu karena tidak praktis dan terlalu berat. Biasanya ditulis diatas ripta berupa daun lontar atau karas. Setelah berpuluh-puluh tahun ripta tersebut dapat rusak dan disalin kembali serta dilakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan pasal-pasal sesuai dengan perubahan bahasa dan perkembangan masyarakat.
Adanya naskah hukum tadi memberikan gambaran yang jelas bahwa masyarakat Jawa Kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram, dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan.

Minggu, 14 Februari 2010

MENJELANG KEMERDEKAAN INDONESIA : PERJUANGAN ANTI BELANDA DI AUSTRALIA 1942 - 1949 (2)

Rakyat Australia yang pernah merasakan menjadi koloni Inggris selama berabad-abad dapat merasakan penderitaan bangsa Indonesia. Terlebih perlakuan rasialis Belanda kepada masyarakat Indonesia saat berada di Australia terlihat sangat menyakitkan
Alhasil, pelbagai aksi pun dimulai dari pemboikotan kapal militer dan sipil Belanda, pesawat Belanda, unjuk rasa, pengumpulan dana, beroperasinya radio perjuangan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Jawa di Australia.
Tak ketinggalan, pelaut Tionghoa, India, Vietnam, Malaya, Philipina, dan bangsa-bangsa Asia bergabung. Setidaknya, dalam setiap aksi pelaut Indonesia selalu terlihat bendera Tiongkok mendampingi Merah Putih.
Dukungan terbesar datang dari kaum Buruh, terutama Waterside Worker Federation (WWF) atau serikat pekerja tepi air. Tidak ketinggalan para cendekiawan dari Sydney University, tokoh Gereja Anglikan, hingga para mahasiswa turut serta menggalang aksi dukungan, bahkan unjuk rasa. Penangkapan aktivis dan pembubaran unjuk rasa dengan kekerasan sempat mereka alami demi mendukung kemerdekaan Indonesia. Pengumpulan dana dari masyarakat dan tanda tangan serikat buruh perkapalan berhasil mendapatkan dukungan satu setengah juta tanda tangan.
Bahkan, para prajurit Australia yang baru saja merebut Balikpapan dari tangan Jepang mengumpulkan petisi yang dikirim kembali ke negerinya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Mereka menulis " .... bagian terbesar tentara kita memiliki simpati yang besar sekali terhadap rakyat disini, yang hidupnya terus-menerus sengsara di bawah kaum imperialis, ..... Ungkapam yang paling sering dipakai oleh anggota-anggota tentara kita, orang Belanda adalah sekumpulan .... (sebutan kasar)."
Aksi desersi seperti para awak kapal India yang sengaja didatangkan Belanda yang armadanya terkena boikot WWF juga mewarnai catatan sejarah. Demikian pula aksi desersi sejumlah tentara Inggris yang tidak mau terlibat dalam upaya penegakan kembali kolonial Belanda di Indonesia.
Salah satu hasil penting aksi boikot ini adalah menggagalkan upaya dominasi ekonomi Belanda dengan pengiriman mata uang mereka. Alhasil, uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) lebih dahulu beredar menggantikan uang Jepang.
Hubungan mesra Indonesia - Australia disadari oleh Belanda yang secara diplomatis mulai kehilangan pijakan. Bahkan serdadu NICA Belanda pun menyaru sebagai Digger (Serdadu Australia) agar tidak ditembaki pejuang. Setidaknya para prajurit NICA Belanda di Jawa kerap memakai Sloutch Hat (topi serdadu Australia) agar mendapatkan simpati masyarakat Indonesia.
Pada masa genting, Republik Indonesia juga memilih Australia sebagai ujung tombak Komisi Tiga Negara (Komisi Jasa Baik) sebagai penengah dalam konflik dengan Belanda. Misi ini adalah salah satu misi perdamaian PBB yang pertama selepas Perang Dunia II.
Laporan keras dari Komisi Jasa Baik (KTN) ke Dewan Keamanan PBB awal 1949 atas perilaku Belanda di Indonesia mendorong lahirnya langkah tegas yang berujung pada Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 (kini Belanda mengakui Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945).
Inilah dukungan perjuangan bersama Indonesia, Astralia, dan bangsa-bangsa Asia lainnya yang kini mulai terlupakan (Iwan Santosa)

Jumat, 12 Februari 2010

MENJELANG KEMERDEKAAN INDONESIA : PERJUANGAN ANTI BELANDA DI AUSTRALIA 1942 - 1949 (1)

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak sebatas manuver gerilya di Nusantara dan diplomasi lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Sepanjang Perang Pasifik Maret 1942 - hingga Pengakuan Kedaulatan tahun 1949, masyarakat Indonesia, Australia, dan bangsa-bangsa Asia bergerak aktif menentang Belanda di benua Kangguru Australia.
Berawal dari kedatangan sekitar 10.000 orang Indonesia yang mengungsi ke Australia menyusul jatuhnya Hindia - Belanda bulan Maret 1942, dimulailah "Bulan Madu" hubungan Indonesia-Australia. Tidak hanya mendukung upaya Sekutu mengalahkan Jepang, rombongan tersebut membawa semangat kemerdekaan dan disambut baik publik Australia.
Dalam buku Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia karya Martin O' Hare dan Anthony Reid disebutkan, rombongan tersebut mencakup pelbagai golongan. Anggota Raad Van Indie ( Dewan Hindia ), prajurit KNIL (Koninkrijk Nederlandsch Indisch Leger), pelaut angkatan laut Belanda (Zeemacht), penerbang militer diantaranya Halim Perdana Kusumah, pelaut maskapai Belanda KPM (Koninkrik Paketvaart Maatschapij) merupakan kelompok pertama yang hadir di Australia
Tidak ketinggalan pada Juni 1943 sebanyak 300 Digulis-tahanan politik Pemerintah Kolonial Belanda beserta keluarganya diungsikan dari Digul di tanah Papua ke Australia. Di Australia, Belanda langsung Mengambil ancang-ancang menduduki kembali Indonesia semasa Perang Pasifik dengan menunjuk Hubert J Van Mook sebagai Letnan Gubernur Jendral menggantikan Ch O Van Der Plas, sekaligus memimpin Nederlansch Indies Civil Administration (NICA) di Brisbane.
Pelbagai asosiasi persahabatan Indonesia-Australia muncul seturut kehadiran puluhan ribu orang Indonesia di Australia. Terjadi kawin campur antara pendatang Indonesia dan warga Australia.Salah satunya diantaranya adalah pernikahan Julius Tahija dan istrinya Jeanne. Tahija kelak menjadi satu-satunya petinggi perusahaan Caltex yang bukan berkulit putih di masa kemerdekaan Indonesia. Simpati tumbuh terhadap orang-orang Indonesia, terlebih masyarakat Australia yang pernah menjadi koloni menyaksikan langsung sikap angkuh aparat Belanda di Australia dalam menghadapi masyarakat Indonesia di Benua Kangguru. Di saat itu, para aktivis kiri dari Indonesia langsung bergandengan tangan dengan kelompok kiri di Australia.
Tokoh politik di Indonesia dan sejumlah tawanan Digulis membuka jaringan di Australia. Beberapa tokoh penting adalah Sardjono (Ketua PKI dalam Pemberontakan 1926) ; Jamaludin Tamin, tangan kanan Tan Malaka ; Haryono, tokoh gerakan buruh ; Mohammad Bondan, seorang pimpinan PNI Baru ; Moehammad Hatta serta Soetan Syahrir yang pernah diasingkan ke Digul tahun 1934. Soetan Syahrir-pun memberi komentar : "Australia Lebih Mengerti Tentang Bangsa Indonesia dan Perjuangannya"

Selasa, 02 Februari 2010

PERTEMPURAN KOTABARU, NUKILAN EPOS KEPAHLAWANAN (2)

Setelah terjadi baku tembak lebih kurang tujuh jam, tentara Jepang akhirnya menyerah. Sejarah mencatat sekitar 1.100 orang Jepang ditangkap, sembilan orang meninggal, dan 20 orang lainnya luka-luka. Sementara itu, di pihak pejuang Yogyakarta 21 orang gugur dan 32 orang lainnya luka-luka.
Kini, nama-nama mereka yang gugur dalam pertempuran itu terpampang di sejumlah ruas jalan di wilayah Kotabaru. Media itu menjadi tanda agar bagian dari kesejarahan perjuangan kota Yogyakara melawan penjajah tetap dikenang, meski para pelakunya tidak berstatus Pahlawan Nasional.
Sayangnya, sekarang ini tidak banyak lagi orang yang mengingat, bahkan mengetahui perjuangan mereka. bahkan, nama-nama jalan yang kini sebagai monumen abadi dan penghormatan kepada jasa mereka, hanya dikenang sekilas sebagai sebuah alamat. Tak lebih. Tak banyak yang paham bahwa nama-nama mereka identik dengan heroisme menentang kolonialisme di tanah air Indonesia.
Jasa Faridan M. Noto yang ketika itu menjadi jendral lapangan, atau Supadi si anggota polisi istimewa, bentukan Jepang (Tokubetsu Keisatsutai) yang gugur saat baku tembak di sebelah timur Stadion Kridosono, terkubur seiring perjalanan waktu. Padahal, keringat dan darah mereka menumbuhkan semangat rakyat Yogyakarta untuk bersatu dan berjuang dalam perjuangan selanjutnya, yaitu Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kemenangan mereka terlupakan, seperti terpatri dalam Puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi. // ... Kami cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu / Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang yang berserakan / Ataukan jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa / Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata/Kaulah sekarang yang berkata ...// (Bima Baskara)

Senin, 01 Februari 2010

PERTEMPURAN KOTABARU, NUKILAN EPOS KEPAHLAWANAN (1)

...Kedatangan Inggris ke Surabaya 25 Oktober 1945 ternyata ditunggangi kepentingan Tentara Belanda yang masih ingin menguasai Indonesia. Arek-arek Suroboyo yang mengetahui hal itu kemudian marah dan mengadakan serangan besar-besaran pada tanggal 10 November 1945 pagi hari ...
Kini, pertempuran di Surabaya itu selalu dikenang setiap tahun sebagai Hari Pahlawan. Dalam kurun waktu yang hampir sama dengan peristiwa tersebut, di seluruh wilayah Indonesia juga terjadi perjuangan melawan penjajah, termasuk di kota Yogyakarta.
Namun berbeda dengan Surabaya, pertempuran sengit di Yogyakarta bertujuan melawan pemerintahan pendudukan Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan "Pertempuran Kotabaru" yang berlangsung pada tanggal 7 Oktober 1945.
Perlawanan di Kotabaru, salah satu kawasan pusat pemerintahan Jepang, terjadi karena pengaruh penjajah tersebut di Yogyakarta masih sangat kuat meskipun Indonesia sudah merdeka. Para petingi Jepang masih berada di Yogyakarta dan kegiatan pertahanan di markas Tentara Inti Jepang (Kidobutai) masih berjalan. Markas yang di dalamnya terdapat gudang senjata itu terletak di sebelah timur Stadion Kridosono, yang kini digunakan sebagai Asrama Komando Resort Militer (Korem) 072 Pamungkas.
Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda dari Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan pada tanggal 5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sejumlah rencana untuk menguasai markas Jepang.
Pertama, para pemuda menunggu berita mengenai hasil perundingan dengan Jepang. Kedua, melucuti senjata Jepang dengan cara damai, atau yang ketiga, menyerbu Kidobutai kalau perundingan gagal.
Untuk penyerbuan, mereka berbagi tugas, mulai dari rencana penyerbuan, pengadaan persenjataan, persiapan pemuda yang akan melakukan serangan, hingga pimpinan penyerbuan dipegang masing-masing oleh satu orang. Setelah rencana dimatangkan, para pemuda segera menjalankan tugasnya hari itu juga. Sambungan kawat telepon rumah para pembesar dan markas Jepang diputus.
Untuk mencegah bantuan kepada Jepang yang datang dari luar, perjalanan Kereta Api diawasi dan bila perlu dihentikan di perbatasan kota. Aliran listrik ke daerah Kotabaru pun dipadamkan.
Rencana penyerbuan Kotabaru ternyata terdengar hingga ke luar kota Yogyakarta. Pemuda-pemuda dari Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, segera berangkat ke kota menggunakan Kereta Api untuk bergabung. Selain itu, tidak sedikit pemuda dari Desa Sidokarto dan Godean di Kabupaten Sleman ikut mengepung markas Jepang di Kotabaru.
Keesokan harinya, 6 Oktober 1945, dimulailah perundingan dengan Jepang. Perundingan yang dimulai sore hari itu ternyata menemui jalan buntu. Dentuman granat kemudian terdengar pada pukul 20.00 WIB, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal.
Pukul 04.00 WIB keesokan harinya, 7 Oktober 1945, terdengar lagi dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan. Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah pertempuran di Kotabaru.