Jumat, 31 Juli 2009

WALI SANGA DALAM KESUSASTRAAN JAWA ( TULISAN KEDUA )

2. Lagu Dolanan
Wali Sanga yang sangat berperan dalam menciptakan lagu dolanan anak-anak adalah Sunan Giri. Ia terhitung seorang paedagog yang berjiwa demokratis. Beliau mendidik anak-anak dengan jalan membuat berbagai macam permainan yang bernafaskan agama, seperti lagu Jilungan atau Jelungan, Jamuran, Cublak-Cublak Suweng, Ilir-Ilir dan sebagainya.
  1. Lagu Jilungan / Jelungan, "anak-anak berkumpul dalam jumlah yang banyak. Satu diantara anak itu menjadi pemburu, dan anak-anak yang lain menjadi buronan. Mereka ini akan selamat atau bebas dari terkaman pemburunya, apabila telah berpegang kepada Jitungan, yakni satu pohon, tiang atau tonggak yang telah ditentukan terlebih dahulu". Permainan ini dimaksudkan untuk mendidik anak-anak mengenai keselamatan hidup. Seseorang apabila telah berpegang kepada agama yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Allah SWT), maka manusia tersebut (buronan) itu akan selalu atau selamat dari pemburu (Iblis yang sangat tinggi dimensinya).
  2. Tembang Padhang Bulan, Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan. Dolanane ana ing latar, ngalap padhang gilar-gilar, nundhung begog angatikar, artinya : Terang-terang bulan, marilah kita lekas bermain. Bermain di halaman untuk mengambil manfaat dari terang benderang guna mengusir gelap gulita yang lari terbirit-birit. Maksud tembang diatas adalah, bahwa agama yang dibawa para Wali Sanga (Islam) itu ibarat sebuah bulan purnama, telah datang memberi penerangan hidup. Maka marilah segera menuntut kehidupan (dolanan, bermain) di bumi ini (= latar, halaman, pekarangan), untuk mengambil manfaat ilmu agama Islam (=padhang gilar-gilar) itu. Supaya gelap gulita, kesesatan, kebodohan, keterbelakangan (=begog, gelap) segera terusir dari diri manusia.
  3. Tembang Ilir-Ilir, "Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir. Sing ijo royo-royo, dak sengguh pemanten anyar. Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir. Dondomono jrumatana, kanggo seba mengko sore. Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane. Ya suraka surak hore" (Solichin Salam, 1960). Maksud dari tembang tersebut adalah : Bayi yang baru lahir di dunia ini masih suci, ibarat penganten baru. Siapa saja ingin memandang. Bocah angon (pengembala) itu ibarat santri, mualim. Buah Blimbing itu mempunyai lima belahan, maksudnya rukun Islam yang lima, atau kewajiban menjalankan shalat lima waktu. Mesikpun lunyu (licin), tolong panjat juga. Walaupun menjalankan shalat itu berat, namun kerjakanlah, untuk memasuh dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir. Maksudnya kendati menjalankan shalat itu berat, tetapi harus dikerjakan untuk mensucikan hati kita yang kotor penuh dosa. Dondomono jrumatana, kanggo seba mengko sore ya suraka surak hore. Maksudnya, bahwa manusia hidup di dunia ini senantiasa condong ke arah berbuat salah/dosa, segan untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan benar. Sehingga dengan menjalankan shalat dengan metode yang benar dan tepat diharapkan dapat dijadikan bekal dalam kita menghadap ke hadirat Allah SWT, mulih mula mulanira 'kembali ke asal kita semua'.
3. Sastra Suluk
Sastra suluk, yaitu karya sastra produk Islam yang berisikan tentang ajaran keutamaan hidup, cara-cara pendekatan diri kepada Tuhan agar mencapai kesempurnaan hidup. Dengan kata lain sastra suluk, yaitu buku atau tulisan yang berisikan tentang pengetahuan agama/ ajaran agama yang berbau mistik. Contoh sastra suluk adalah Suluk Wujil, Suluk Suksma Lelana, Suluk Salokajiwa, Sakaratul Maut, Suluk Seh Tekawerdi, dan sebagainya.
4. Sastra Pewayangan
Para wali dalam penyebaran agama selain menggunakan media wayang atau pertunjukan wayang, juga membuat dan menambah ricikan wayang serta fasilitas pertunjukan. Para wali yang berjasa dalam pembuatan wayang adalah: Sunan Giri menciptakan wayang sebangsa kera, Sunan Bonang menciptakan wayang binatang buruan hutan dan rampongan 'barisan', Sunan Kalijaga menambah alat-alat keperluan pertunjukan, seperti kelir, batang pisang, serta blencong 'lampu'.
lakon atau cerita wayang karya para wali diantaranya : Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, Begawan Ciptaning. Cerita Dewa Ruci menggambarkan cipta karya sastra yang penuh filsafati, yaitu Bima berhasil menemukan arti dari kehidupan untuk mencapai sangkan paraning dumadi 'tahu asal dan tujuan hidup'. Cerita Jimat kalimasada menunjukkan bahwa seseorang dapat selamat selama-lamanya, apabila memiliki atau selalu berpegang kepada Jimat Kalimasada 'kalimat Syahadat' atau selalu menyebut nama Allah. Hal ini terlihat dalam cerita Petruk Dadi ratu 'Petruk menjadi raja', menggambarkan seseorang meskipun berpangkat rendah atau miskin, tetapi apabila selalu berpegang teguh dan memiliki Jimat Kalimasada 'Kalimat Syahadat' ia akan menjadi orang yang mulia dan terhormat di sisi-Nya.
Cerita Begawan Ciptoning atau Arjunawiwaha ini menggambar seseorang yang dapat mengalahkan nafsu jahat atau nafsu serakah dalam dirinya (=tokoh raksasa Niwatakawaca, tokoh antagonis). Manusia yang selalu ciptoning 'berpikir luhur/positif', dan berhati suci, serta tidak melupakan tugasnya di dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, akan dapat kembali kepada-Nya.
Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa para Wali Sanga dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa sangat bijaksana, dan disesuaikan dengan situasi serta keadaan. Ajakan dan seruannya penuh persuasif lewat karya sastra Jawa, diantaranya lewat media sastra tembang macapat, lagu-lagu dolanan, sastra suluk, dan sastra pewayangan. Kesemuanya itu dapat menambah khasanah perkembangan kesusastraan Jawa. (Disadur dari tulisan Imam Sutardjo)

WALI SANGA DALAM KESUSASTRAAN JAWA ( TULISAN PERTAMA )

Sejarah Islam di tanah Jawa tak dapat dipisahkan adanya peranan para wali. Mereka dipandang dan dianggap sebagai penuntun, pelopor, dan penyebar agama Islam di Jawa, serta lebih dikenal dengan nama Wali Sanga. Wali Sanga adalah perubahan dari kekeliruan pelafalan wali sana. Kata sana berasal dari kata arab tsana, yang searti dengan dengan mahmud 'terpuji'. Jadi yang lebih tepat sebenarnya wali sana artinya 'wali-wali terpuji', namun di dalam masyarakat lebih populer wali sanga.
Dalam kamus Baoesastra Djawa dijelaskan bahwa wali berasal dari bahasa Arab Waliyullah yang berarti orang suci, orang Islam yang menyebarkan agama Islam khususnya di tanah Jawa (Poerwadarminta, 1939). Mereka dipandang sebagai orang suci dan sebagai kekasih Allah, wakil Allah di muka bumi. Lama kelamaan dalam alam pikiran dan tradisi masyarakat Jawa, para wali sanga itu mendapatkan sebutan sunan, singkatan dari kata jadian susuhunan, dari kata suhun 'sembah', artinya orang yang patut dihormati dan dimintai. Orang yang patut dijunjung tinggi dan disegani (Dojosantosa, 1986). Akibat daripada anggapan tersebut, maka makam mereka dikeramatkan oleh sebagian masyarakat, dan sering digunakan untuk tirakatan, memohon sesuatu cita-cita atau gegayuhan. Sehingga makam para wali tersebut banyak dikunjungi oleh warga masyarakat.
Para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam sangat bijaksana dan penuh persuasif. Hal ini terlihat daripada hasil karyanya. Karena para Wali Sanga selain sangat giat dalam menyebarkan agama samawi (Islam), juga semangat menulis pustaka atau karya-karya sastra yang isinya membahas tata kehidupan yang didasarkan pada agama Islam. Karya sastra para Wali Sanga tersebut biasanya berupa atau melalui puisi Jawa tradisional tembang macapat, karya seni atau lagu dolanan, sastra suluk atau mistik, dan berupa sastra pewayangan. Karena karya sastra hakikatnya bersifat dulce et etile.
Sebagaimana lazimnya dalam karya sastra, dalam bahasa Jawa-pun didapati penggunaan bahasa dalam sifat literer 'lugas' maupun figuratif 'kias'. Bahasa lugas dengan sifat acuan makna yang denotatif, berada pada tataran linguistic level 'tataran kebahasaan'. Sedangkan bahasa kias memiliki sifat acuan makna yang konotatif dan berada pada tataran mistis. Bahasa kias inilah yang sering digunakan para wali sangan dalam rangka penyebaran agama, sehingga syair-syair karya para Wali Sanga perlu diinterprestasikan karena penuh ambiguitas filsafati. Dibawah ini beberapa hasil kesusastraan Jawa karya para wali :
1. Tembang Macapat
Para Wali Sanga yang berjasa dalam menciptakan tembang macapat adalah : Sunan Kalijaga menciptakan tembang Dhandhanggula, Sunan Giri menciptakan Asmaradana dan Pucung, Sunan Bonang menciptakan Durma, Sunan Kudus menciptakan Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan lagu Sinom dan Kinanthi, Sunan Drajat menciptakan lagu Pangkur (Umar Hasyim, 1974). Tembang Macapat timbulnya pada jaman Majapahit akhir, sewaktu pengaruh Hindu semakin berkurang dan rasa persatuan bangsa Indonesia semakin kuat. Bentuk kakawin dengan mestrum Hindu semakin terdesak atau tersingkir, dan muncullah kidung serta tembang macapat mestrum Jawa asli.

Sabtu, 25 Juli 2009

INTELIJEN JEPANG SEBELUM MENGINVASI BELANDA ( TULISAN KEDUA )

Dalam buku itu diceritakan nasib malang harus diterima seorang wanita Jepang dengan nama panggilan Marie. Ia disebut cukup dengan Jeanne. Beberapa kali Marie mengatakan soal perilaku orang-orang Jepang dan kemungkinan mereka menyerang.
Marie sempat mengajari Jeanne bahasa Jepang yang bisa bermanfaat sewaktu-waktu. Akan tetapi ia sempat mengingatkan, agar jangan menggunakan bahasa tersebut jika Jepang benar-benar menyerang karena malah akan mempersulit. Sangat mungkin Marie dicurigai sebagai mata-mata Jepang hingga kemudian ia diamankan polisi dan ditawan di Australia.

Kisah peran intelijen Jepang sebelum invasi Ke Hindia-Belanda ada juga yang berasal dari penuturan orang Jepang sendiri. Salah satunya adalah penuturan Nogi Harumichi
dalam Japan at War, an Oral History. Harumichi mengaku bosan dengan kuliah hukum dan akuntansi sehingga kemudian direkrut oleh Aliansi Mahasiswa Patriotik di Universitas Nibon.
Kami mempunyai tugas yang harus kamu kerjakan. Akan tetapi tugas ini harus dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Itulah mengapa saya memilih kamu. Bila kamu mau ikut, saya menunggu jawabanmu dalam seminggu ini," kata orang yang merekrutnya itu. Orang ini juga berjanji akan memperkenalkan pimpinan mereka jika Harumichi menerima tawaran tersebut. Aliansi itu merupakan bagian dari gerakan sayap kanan yang bernama Aliansi Internasional Anti Komunis.

Aliansi ini memiliki sebuah akademi yang berada di sebuah rumah di di wilayah Meguro, Tokyo. Akademi itu kekepalai oleh Kaneko. Ia merupakan murid dari pemimpin gerakan sayap kanan Iwata Ainoke. Kisah Ainoke agak unik. Pada tahun 1926 Ainoke mengunjungi Hindia Belanda dan tinggal di tempat ters
ebut beberapa lama. Ia sempat mengembara di berbagai tempat selama berada di Hindia Belanda.
Suatu saat Harumichi mendatangai tempat itu dan bertemu dengan Ainoke. Ia memiliki 20 siswa yang baru saja kembali dari Hindia Belanda. Mereka bekerja di berbagai department store besar di sejumlah kota, antara lain di Surabaya. Mereka menguasai bahasa Melayu dengan baik. Di tempat inilah sebenarnya kader intelijen mulai dididik.
Di tempat itu Harumichi kemudian berbincang soal "apa yang terbaik bagi pergerakan kemerdekaan Hindia Belanda". Ia mengatakan, Hindia Belanda merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam, tetapi terbelakang ekonominya. Gairah untuk ikut "memerdekakan Hindia Belanda" semakin membawa Harumichi terlibat dengan kelompok ini lebih jauh.

Kisah ini kemudian berlanjut menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda. Harumichi yang kemudian masuk angkatan laut dikirim ke wilayah itu. Mereka dikirim dan mendapat tugas menjadi penterjemah ketika Jepang mendarat di sejumlah tempat di Hindia Belanda. beberapa orang sempat belajar bahasa Melayu di Tokyo Foreign Language Institute.
Salah satu siswa dari akademi pimpinan Kaneko itu yang bernam
a Yoshizumi Tomegoro, telah berangkat terlebih dahulu ke Hindia Belanda tanpa diketahui teman-temannya. Belakangan diketahui bahwa Yoshizumi terlebih dahulu mendapat tugas menjadi mata-mata militer Jepang.
Kisah lainnya terdapat dalam buku Tarakan, "Pearl Harbour" Indonesia (1942-1945). Dalam buku ini terlihat betapa hebatnya kegiatan mata-mata Jepang menjelang invasi ke Hindia Belanda. Dengan menggunakan identitas palsu, Kitamura, orang Jepang, berhasil mengelabui orang Belanda di tarakan. Ia berpura-pura menjadi pengusaha Cina. Ia ikut menjadi kontraktor sejumlah bangunan pertahanan Belanda di Tarakan.
Sudah pasti segala kekuatan Belanda di Tarakan diketahui oleh Jepang ketika mereka mulai menyerbu wilayah tersebut, yang menjadi gerbang pembuka masuknya Jepang ke Hindia Belanda. Ketika Jepang berkuasa, Kitamura sempat bertemu dengan teman-temannya yang notabene orang Belanda yang telah menjadi tawanan perang Jepang.
Kegiatan intelijen Jepang di Hindia Belanda semakin intensif ketika mereka sudah menduduki wilayah itu. Mereka kemudian merekrut punduduk lokal melalui satuan-satuan militer untuk menjalankan kegiatan intelijen. Dalam buku
Intel, Inside Indonesia's Intelligence Service, orang pribumi pertama yang mendapat pendidikan dasar-dasar intelijen adalah Zulkifli Lubis.
Untuk pendidikan itu, Jepang mendirikan sekolah Intelijen Nakano di Tangerang, Jawa Barat. Lubis termasuk alumni sekolah ini. Ia juga sempat mendapat pendidikan di Pusat Pendidikan Intelijen Regional Jepang yang berada di Singapura. Lubis mendapat pendidikan bukan hanya teori tetapi juga kegiatan praktis. Guru di sekolah itu adalah para petugas intelijen Jepang yang berhasil menundukkan Perancis di wilayah Indochina.
Kelak ketika Indonesia lahir atau merdeka dari penjajahan pada tanggal 17 Agustus 1945, Lubis yang berpangkat Letnan Kolonel menyusun lembaga intelijen yang kemudian disebut badan istimewa. Lembaga ini merupakan cikal bakal Badan Intelijen Negara Republik Indonesia yang dikenal sekarang ini.
(Disadur dari tulisan Andreas Maryoto).

Jumat, 24 Juli 2009

INTELIJEN JEPANG SEBELUM MENGINVASI BELANDA ( TULISAN PERTAMA )

Perang Dunia II telah berakhir kurang lebih 64 tahun yang lalu. Jepang yang bercita-cita mendirikan Asia Timur Raya harus takluk pada kekuatan Amerika Serikat.
Akan tetapi, kehebatan Jepang saat melakukan invasi di kawasan Asia Pasifik, termasuk ke Indonesia yang saat itu masih disebut Hindia Belanda, tetap mengundang rasa penasaran. Kehebatan mereka tidak lepas dari peran intelijen - setidaknya dalam hal pengumpulan informasi- yang memang sudah ditanam jauh sebelum Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda.
Bila dirunut jauh sebelumnya, orang Jepang memang sudah lama mengenal wilayah Hindia Belanda. Pada awal abad ke-17 orang Jepang sudah bekerja di wilayah Hindia Belanda. Mereka diterima oleh Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) sebagai awak kapal dan tentara yang berada di berbagai tempat.
Laporan J.P. Coen dan Dewan Hindia tertanggal 3 November 1628 di dalam buku Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta menyebutkan, orang-orang Jepang yang direkrut oleh VOC ikut membantu menumpas penyerangan Sultan Agung ke Batavia tahun1628 dan 1629. Jumlah mereka mencapai tiga kompi.
Dalam perkembangannya, sangat mungkin pengetahuan mereka tentang Hindia Belanda terus bertambah, termasuk nilai strategis Hindia Belanda, terutama soal kekayaan sumber daya alam. Sebelum Perang Dunia II, beberapa sekolah di Jepang mengajarkan ekonomi kolonial. Salah satunya membahas Kolonialisme di Hindia Belanda. Bahkan Bahasa Melayu pun diperkenalkan terkait dengan pelajaran itu.
Tidak mudah menghubungkan fakta-fakta itu dengan situasi menjelang Perang Dunia II. Akan tetapi, kemudian kita mengetahui bahwa di tengah dominasi Belanda, menjelang Perang Dunia II, banyak orang Jepang melakukan berbagai kegiatan - tidak sedikit diantaranya melakukan kegiatan terkait dengan intelijen - seperti perdagangan, pelayaran, dan perkebunan di Hindia Belanda.
Memang operasi intelijen Jepang banyak dibahas di buku karangan F. Kikan, Japanese Army Intelligence Operations in South East Asia During World War II. Akan tetapi, buku itu lebih umum membahas intelijen di Semenanjung Malaya. Berikut beberapa kisah yang menceritakan kegiatan Jepang di Hindia Belanda sebelum akhirnya Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Dalam buku berjudul Ibu Maluku, The Story of Jeanne Van Diejen - kisah pekerja sosial bernama Jeanne Van Diejen di Maluku - disebutkan, pada tahun 1934 di kota Manado terdapat perusahaan kecil yang dikelola orang Jepang. Perusahaan ini menjalankan bisnis pelayaran dengan kapal bernama Honun Maru, yang mau melayani setiap orang untuk tujuan kemanapun.
Kapal itu melayani ke beberapa kota di Sulawesi Utara dan Maluku. Wilayah ini banyak dihuni Belanda karena mereka mengusahakan perkebunan kopra. Melalui wilayah itu pula kelak Jepang melakukan invasi ke sejumlah tempat di Pasifik Selatan. Akan tetapi, peran pemilik kapal itu dalam kegiatan intelijen tidak begitu jelas. Beberapa kali Honun Maru membawa sejumlah komoditas lokal dan sekali pernah mengangkut orang Belanda di Ternate yang dievakuasi ke Ambon sebelum wilayah itu diserang.
Gerak-gerik Jepang yang bersifat intelijen mulai terlihat menjelang penyerangan Jepang ke wilayah Maluku utara. Jeanne memiliki teman bernama Igawa yang berasal dari Jepang. Igawa merupakan anak seorang pemilik toko yang cukup besar di Ternate. Keluarga ini berdagang di kota itu. Keluarga Igawa menutup tokonya dan meninggalkan tempat itu menjelang penyerbuan Jepang ke Ternate.
Sebelum perang, Igawa merupakan orang yang ramah. Akan tetapi saat Jepang masuk, ia tidak lagi menjadi teman bagi Jeanne. Ketika Jepang memasuki Ternate, ia berada didalam sebuah kapal Jepang yang berlabuh di pelabuhan Ternate.
"Dulu lain. Sekarang lain. Ingat itu," bentak Igawa saat disapa oleh Jeanne ketika mereka kembali bertemu. Kesaksian Jeanne, ia tidak ramah lagi seperti dulu, tampangnya menjadi kejam. dalam kegiatan itu, Igawa mendapat tugas mencari sejumlah tokoh militer Belanda dan asisten residen kota itu yang sudah pasti telah diketahui identitasnya oleh Igawa. Peran Igawa mempermudah masuknya Jepang ke kota itu.
Rencana penyerangan Jepang pun sebenarnya sudah terlihat dari gerakan mereka di laut beberapa waktu sebelumnya. Kapal-kapal ikan Jepang Jepang banyak berada di sekitar laut Maluku. Dari seorang kenalannya, Jeanne diberi tahu bahwa kapal-kapal itu berukuran besar dan didalamnya terdapat orang-orang yang memiliki kepentingan aneh. Mereka berada di sekitar Teluk Kao dan Morotai. Morotai adalah salah satu basis penyerangan Jepang ke wilayah Pasifik Selatan.
Pada akhirnya beberapa orang Belanda mengetahui bahwa kapal-kapal itu ternyata kapal-kapal perang yang berwajah kapal ikan. Dengan menggunakan "kapal ikan" itu, Jepang melakukan pemotretan garis pantai dan mengukur kedalaman laut di daerah tersebut. Data seperti ini sangat diperlukan untuk operasi pendaratan pasukan. Tentara Belanda sebenarnya sudah mendeteksi kegiatan itu sejak awal.