Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9 - 10 Masehi di Jawa Tengah pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa paska Majapahit abad ke-13 - 15 Masehi memuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, Prasasti Balingawan berangka tahun 891 Masehi dari bahan batu yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi Sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawar (darah tersebar berceceran) dan wankay kabuan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminil-walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya diketemukan di desa tersebut-maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi ? Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan masyarakat desa yang bergantung pada hirarkhi pemerintahan diatasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan, Desa Balingawan menjadi sebuah Sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.
Kedua, Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 Masehi yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua diantaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap yang ditulis diatas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan Sima dari raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakannya pesta perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini pada masa Jawa Kuno terletak di sekitar gunung Susundara (Sundara) dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Ketiga, Prasasti Kaladi yang berangka tahun 909 Masehi. Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung, isinya tentang pemberian Sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Keempat, Prasasti Sanguran yang berangka tahun 928 Masehi. Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, diantaranya : wipati wankay kabuan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur ing dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian ?), tutan (mengejar lawan yang kalah ?), danda kudanda (pukul memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
Kelima, Naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan jaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.
Hukum tersebut berisikan tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi hutang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwan rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual beli), widadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Pertama, Prasasti Balingawan berangka tahun 891 Masehi dari bahan batu yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi Sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawar (darah tersebar berceceran) dan wankay kabuan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminil-walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya diketemukan di desa tersebut-maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi ? Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan masyarakat desa yang bergantung pada hirarkhi pemerintahan diatasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan, Desa Balingawan menjadi sebuah Sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.
Kedua, Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 Masehi yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua diantaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap yang ditulis diatas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan Sima dari raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakannya pesta perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini pada masa Jawa Kuno terletak di sekitar gunung Susundara (Sundara) dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Ketiga, Prasasti Kaladi yang berangka tahun 909 Masehi. Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung, isinya tentang pemberian Sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Keempat, Prasasti Sanguran yang berangka tahun 928 Masehi. Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, diantaranya : wipati wankay kabuan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur ing dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian ?), tutan (mengejar lawan yang kalah ?), danda kudanda (pukul memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
Kelima, Naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan jaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.
Hukum tersebut berisikan tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi hutang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwan rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual beli), widadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar