Sejarah Islam di tanah Jawa tak dapat dipisahkan adanya peranan para wali. Mereka dipandang dan dianggap sebagai penuntun, pelopor, dan penyebar agama Islam di Jawa, serta lebih dikenal dengan nama Wali Sanga. Wali Sanga adalah perubahan dari kekeliruan pelafalan wali sana. Kata sana berasal dari kata arab tsana, yang searti dengan dengan mahmud 'terpuji'. Jadi yang lebih tepat sebenarnya wali sana artinya 'wali-wali terpuji', namun di dalam masyarakat lebih populer wali sanga.
Dalam kamus Baoesastra Djawa dijelaskan bahwa wali berasal dari bahasa Arab Waliyullah yang berarti orang suci, orang Islam yang menyebarkan agama Islam khususnya di tanah Jawa (Poerwadarminta, 1939). Mereka dipandang sebagai orang suci dan sebagai kekasih Allah, wakil Allah di muka bumi. Lama kelamaan dalam alam pikiran dan tradisi masyarakat Jawa, para wali sanga itu mendapatkan sebutan sunan, singkatan dari kata jadian susuhunan, dari kata suhun 'sembah', artinya orang yang patut dihormati dan dimintai. Orang yang patut dijunjung tinggi dan disegani (Dojosantosa, 1986). Akibat daripada anggapan tersebut, maka makam mereka dikeramatkan oleh sebagian masyarakat, dan sering digunakan untuk tirakatan, memohon sesuatu cita-cita atau gegayuhan. Sehingga makam para wali tersebut banyak dikunjungi oleh warga masyarakat.
Para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam sangat bijaksana dan penuh persuasif. Hal ini terlihat daripada hasil karyanya. Karena para Wali Sanga selain sangat giat dalam menyebarkan agama samawi (Islam), juga semangat menulis pustaka atau karya-karya sastra yang isinya membahas tata kehidupan yang didasarkan pada agama Islam. Karya sastra para Wali Sanga tersebut biasanya berupa atau melalui puisi Jawa tradisional tembang macapat, karya seni atau lagu dolanan, sastra suluk atau mistik, dan berupa sastra pewayangan. Karena karya sastra hakikatnya bersifat dulce et etile.
Sebagaimana lazimnya dalam karya sastra, dalam bahasa Jawa-pun didapati penggunaan bahasa dalam sifat literer 'lugas' maupun figuratif 'kias'. Bahasa lugas dengan sifat acuan makna yang denotatif, berada pada tataran linguistic level 'tataran kebahasaan'. Sedangkan bahasa kias memiliki sifat acuan makna yang konotatif dan berada pada tataran mistis. Bahasa kias inilah yang sering digunakan para wali sangan dalam rangka penyebaran agama, sehingga syair-syair karya para Wali Sanga perlu diinterprestasikan karena penuh ambiguitas filsafati. Dibawah ini beberapa hasil kesusastraan Jawa karya para wali :
1. Tembang Macapat
Dalam kamus Baoesastra Djawa dijelaskan bahwa wali berasal dari bahasa Arab Waliyullah yang berarti orang suci, orang Islam yang menyebarkan agama Islam khususnya di tanah Jawa (Poerwadarminta, 1939). Mereka dipandang sebagai orang suci dan sebagai kekasih Allah, wakil Allah di muka bumi. Lama kelamaan dalam alam pikiran dan tradisi masyarakat Jawa, para wali sanga itu mendapatkan sebutan sunan, singkatan dari kata jadian susuhunan, dari kata suhun 'sembah', artinya orang yang patut dihormati dan dimintai. Orang yang patut dijunjung tinggi dan disegani (Dojosantosa, 1986). Akibat daripada anggapan tersebut, maka makam mereka dikeramatkan oleh sebagian masyarakat, dan sering digunakan untuk tirakatan, memohon sesuatu cita-cita atau gegayuhan. Sehingga makam para wali tersebut banyak dikunjungi oleh warga masyarakat.
Para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam sangat bijaksana dan penuh persuasif. Hal ini terlihat daripada hasil karyanya. Karena para Wali Sanga selain sangat giat dalam menyebarkan agama samawi (Islam), juga semangat menulis pustaka atau karya-karya sastra yang isinya membahas tata kehidupan yang didasarkan pada agama Islam. Karya sastra para Wali Sanga tersebut biasanya berupa atau melalui puisi Jawa tradisional tembang macapat, karya seni atau lagu dolanan, sastra suluk atau mistik, dan berupa sastra pewayangan. Karena karya sastra hakikatnya bersifat dulce et etile.
Sebagaimana lazimnya dalam karya sastra, dalam bahasa Jawa-pun didapati penggunaan bahasa dalam sifat literer 'lugas' maupun figuratif 'kias'. Bahasa lugas dengan sifat acuan makna yang denotatif, berada pada tataran linguistic level 'tataran kebahasaan'. Sedangkan bahasa kias memiliki sifat acuan makna yang konotatif dan berada pada tataran mistis. Bahasa kias inilah yang sering digunakan para wali sangan dalam rangka penyebaran agama, sehingga syair-syair karya para Wali Sanga perlu diinterprestasikan karena penuh ambiguitas filsafati. Dibawah ini beberapa hasil kesusastraan Jawa karya para wali :
1. Tembang Macapat
Para Wali Sanga yang berjasa dalam menciptakan tembang macapat adalah : Sunan Kalijaga menciptakan tembang Dhandhanggula, Sunan Giri menciptakan Asmaradana dan Pucung, Sunan Bonang menciptakan Durma, Sunan Kudus menciptakan Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan lagu Sinom dan Kinanthi, Sunan Drajat menciptakan lagu Pangkur (Umar Hasyim, 1974). Tembang Macapat timbulnya pada jaman Majapahit akhir, sewaktu pengaruh Hindu semakin berkurang dan rasa persatuan bangsa Indonesia semakin kuat. Bentuk kakawin dengan mestrum Hindu semakin terdesak atau tersingkir, dan muncullah kidung serta tembang macapat mestrum Jawa asli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar