Setelah terjadi baku tembak lebih kurang tujuh jam, tentara Jepang akhirnya menyerah. Sejarah mencatat sekitar 1.100 orang Jepang ditangkap, sembilan orang meninggal, dan 20 orang lainnya luka-luka. Sementara itu, di pihak pejuang Yogyakarta 21 orang gugur dan 32 orang lainnya luka-luka.
Kini, nama-nama mereka yang gugur dalam pertempuran itu terpampang di sejumlah ruas jalan di wilayah Kotabaru. Media itu menjadi tanda agar bagian dari kesejarahan perjuangan kota Yogyakara melawan penjajah tetap dikenang, meski para pelakunya tidak berstatus Pahlawan Nasional.
Sayangnya, sekarang ini tidak banyak lagi orang yang mengingat, bahkan mengetahui perjuangan mereka. bahkan, nama-nama jalan yang kini sebagai monumen abadi dan penghormatan kepada jasa mereka, hanya dikenang sekilas sebagai sebuah alamat. Tak lebih. Tak banyak yang paham bahwa nama-nama mereka identik dengan heroisme menentang kolonialisme di tanah air Indonesia.
Jasa Faridan M. Noto yang ketika itu menjadi jendral lapangan, atau Supadi si anggota polisi istimewa, bentukan Jepang (Tokubetsu Keisatsutai) yang gugur saat baku tembak di sebelah timur Stadion Kridosono, terkubur seiring perjalanan waktu. Padahal, keringat dan darah mereka menumbuhkan semangat rakyat Yogyakarta untuk bersatu dan berjuang dalam perjuangan selanjutnya, yaitu Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kemenangan mereka terlupakan, seperti terpatri dalam Puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi. // ... Kami cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu / Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang yang berserakan / Ataukan jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa / Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata/Kaulah sekarang yang berkata ...// (Bima Baskara)
Sayangnya, sekarang ini tidak banyak lagi orang yang mengingat, bahkan mengetahui perjuangan mereka. bahkan, nama-nama jalan yang kini sebagai monumen abadi dan penghormatan kepada jasa mereka, hanya dikenang sekilas sebagai sebuah alamat. Tak lebih. Tak banyak yang paham bahwa nama-nama mereka identik dengan heroisme menentang kolonialisme di tanah air Indonesia.
Jasa Faridan M. Noto yang ketika itu menjadi jendral lapangan, atau Supadi si anggota polisi istimewa, bentukan Jepang (Tokubetsu Keisatsutai) yang gugur saat baku tembak di sebelah timur Stadion Kridosono, terkubur seiring perjalanan waktu. Padahal, keringat dan darah mereka menumbuhkan semangat rakyat Yogyakarta untuk bersatu dan berjuang dalam perjuangan selanjutnya, yaitu Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kemenangan mereka terlupakan, seperti terpatri dalam Puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi. // ... Kami cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu / Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang yang berserakan / Ataukan jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa / Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata/Kaulah sekarang yang berkata ...// (Bima Baskara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar