Selasa, 23 Juni 2009

DARI MAJAPAHIT KE DEMAK

Agama Islam telah berkembang di pusat Kerajaan Majapahit. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya Makam Tralaya. Dan menurut ahli pembaca prasasti, Drs. M.M. Sukarto Kartoatmojo (Almarhum) Islam masuk ke Majapahit secara damai (Penetration Pacifique). Sedangkan penaklukan Majapahit oleh penguasa Demak yang dipimpin Pati Unus (Pangeran Sabrang Ing Lor) dan kemudian menguasainya hanya sebuah ekspansi biasa, mengingat kerajaan Majapahit sudah guncang sebelumnya lewat Perang Paregreg (Perang Saudara).
Menurut Hasan Djafar, Majapahit runtuh pada tahun 1519 karena dikuasai oleh Pati Unus dari Demak. Pati Unus meninggal tahun 1521. Ia terkenal lewat penyerbuannya
ke Malaka yang berusaha membebaskan Kerajaan Islam tersebut dari kekuasaan Portugis.
Sebuah legenda yang bisa juga dikaitkan dengan runtuhnya Majapahit adalah raibnya pusaka Majapahit Kyai Ageng Condong Campur dan munculnya Kyai Ageng Sengkelat. Keduanya berujud keris. Kyai Ageng Condong Campur keris berluk lima dengan sogokan sampai di ujung. Sementara Kyai Ageng Sengkelat adalah keris berluk 13 yang dibuat atas pesanan Kanjeng Sunan Ampel Denta. Keris ini dibuat oleh Empu Supa dari Cis yang konon dipercaya sebagai Cis (untuk menggiring unta) milik Nabi Muhammad SAW. Raibnya keris Condong Campur ini membawa sebuah firasat akan hancurnya Majapahit.

Dikupas oleh Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam "Integrasi dan Disintegrasi Majapahit" bahwa hancurnya Kerajaan Majapahit disebabkan beberapa hal, antara lain meninggalnya Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1363 Masehi. Meninggalnya Gajah Mada ini membuat generasi penerus kurang mendapat perhatian dan pendidikan karena hampir semua jabatan penting dipegang oleh Gajah Mada. Oleh karenanya ketika ia meninggal generasi muda merasa canggung dan kurang percaya diri. Situasi masayarakat yang tidak percaya diri itu masih ditambah dengan timbulnya Perang Paregreg antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi antara tahun 1404-1406 Masehi. Perang Paregreg amat sangat melemahkan persatuan dan terjadi dengan hebatnya (reg-reg = noreg, Jawa;horeg = guncang).
Terjadinya perebutan kekuasaan atas tahta Majapahit antara Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi memperburuk situasi di Majapahit. Dalam Perang ini Bhre Kertabhumi gugur dan Ranawijaya menjadi pewaris yang sah dan berkuasa kembali.
Menurut Drs. M.M. Sukarto Kartoatmojo, tercerai berainya Majapahit pada pokoknya berlangsung antara tahun 1389-1525 Masehi. Akibat kehancuran yang sangat hebat akhirnya Majapahit jatuh untuk selama-lamanya. Kapan Majapahit jatuh, menurut pakar prasasti ini tidak dapat dikatakan secara pasti karena proses berlangsung secara perlahan.
Menurut Babad Tanah Jawa, Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi yang dilambangkan dengan sengkalan "Sirna Ilang Kertaning Bumi".
Mengenai tokoh Gajah Mada sendiri, yang terpenting dari semangatnya adalah mengenai Sumpah Palapa. Sumpah Palapa ditengarai sebagai upaya penyatuan seluruh Nusantara dibawah naungan Majapahit. Sumpah Palapa yang termuat dalam kitab Pararaton berbunyi : "Sira Gajahmada-patih amangkubhumi tan ayun amukti palapa, sira Gajahmada : "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa" (Beliau Gajahmada menjadi patih amangkubhumi tidak bermaksud akan menikmati palapa, beliau Gajahmada berkata : "Apabila sudah kalah nusantara saya menikmati palapa, kalau sudah kalah Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Baoi, Sunda, Palembang, Tumasik, waktu itulah saya menikmati palapa". Perkataan Palapa sendiri sampai sekarang mengundang berbagai perdebatan mengenai arti kata/maknanya.
Dr. Poerbatjaraka mengatakan Palapa berasal dari kata 'Alap' berarti menikmati hasil daerah. Dr. Vd Tuuk mengatakan berasal dari 'Lapa' berarti beristirahat. r. Crucq mengatakan Palapa berarti cuti. Sementara Prof. Dr. C.C. Berg berpendapat Palapa berasal dari kata lapa (lapar) dan diartikan semacam brata (tapa brata) atau merupakan praktik mesu diri bermati raga (menyiksa diri).
Pendapat yang amat menarik dan masuk akal serta kelihatannya menggugurkan semua pendapat dikedepankan oleh Karsana, seorang guru bantu SD di Lumajang (sekitar tahun 1929) yang mengatakan Palapa (Jawa kuno) sama dengan Plapah (Jawa baru). Plapah sampai sekarang masih dijual di pasar Jawa Timur dan berarti bumbu-bumbu. Untuk ramuan bumbu, yang terpenting adalah garam. Dengan demikian Patih Gajah Mada menjalani tapa mutih, artinya tidak makan garam. Dengan demikian makna palapa, apabila Gajah Mada bersumpah tan amukti palapa (tidak menikmati palapa), yang dimaksud adalah akan melakukan tapa mutih sebelum kesatuan nusantara tercapai. Kehebatan Gajah Mada menenggelamkan ketenaran raja dan sayang tidak diikuti regenerasi dengan baik. Akibatnya setelah Gajah Mada wafat, penggantinya tidak percaya diri dan membuat situasi masyarakat menjadi kacau. (Disadur dari tulisan Sugeng W.A.).

1 komentar: