Situs Samudera Pasai terletak di desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera Geudong, sekitar 20 kilometer dari Lhokseumawe ibukota Kabupaten Aceh Utara. Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, Afrika utara mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Mynmar), Ibnu Battutah mendarat di tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibukota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1270 Masehi.
Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari dari kerajaan Islam Peurelak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan tahta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh wafat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi sebuah kerajaan dengan nama Samudera Pasai. Dalam kisah perjalannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilahkan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297-1326 Masehi ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, "Ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama".
Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000 - 10.000 bahara setiap tahuannya, selain komoditas lain seperti sutra, Kapur Barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengelarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang Dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di Pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan Mubalig Islam yang datang Ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai. Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijogo memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai demikian juga Musafir Eropa, Marcopolo.
Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peningalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat. Makam Sultan Malikussaleh berada di mulut pintu masuk ke cagar budaya Samudera Pasai. Sekitar satu kilometer dari makam itu terdapat lokasi yang dahulunya adalah istana Kerajaan Pasai. Di atas tanah seluas lebih lima hektar, aura kebesaran Kerajaan Samudera Pasai masih sangat terasa. Di lokasi itu juga terdapat makam Peut Ploh Peut (44), ulama yang meninggal karena dieksekusi Raja Bakoi, salah satu raja di Pasai. Raja menganggap ke-44 ulama itu sebagai lawan politiknya dan memerintahkan agar mereka dibunuh. Akibat tindakannya yang sewenang-wenang, rakyat menjuluki dia Raja Bakoi, yang menurut masyarakat setempat berarti pelit. ( Disadur dari tulisan Doty Damayanti )
sep mantap cool
BalasHapuskurang lengkap,kalau bisa ditambahkan tahun dan raja pada saat masa keemasan dan masa kemunduran ok ...... saya haus akan ilmu :)
BalasHapusNice info sob buat melengkapi blog ane...izin share z
BalasHapusKalau masa kejayaannya kapan? Saat masa sultan siapa?
BalasHapus