"Jangan khawatir, aku akan membantu kamu untuk mengusir Belanda. Hanya syaratnya berat. Aku akan mencari jago trondol (ayam jantan yang kepalanya tidak berbulu) dari timur laut untuk sarana kamu merdeka. Oleh karena itu, kamu lekas pulang, beri tahu anak cucumu agar menyiapkan garam dan menanam kapas karena akan mahal pakaian dan makanan ..."
Kutipan diatas yang aslinya berbahasa Jawa itu merupakan wangsit yang diterima Ki Suro Kidin (menantu Ki Samin Surosentika) pada suatu hari di tahun 1939. Wangsit yang oleh orang Samin kemudian dinamakan aji pameling itu seolah-olah merupakan ramalan akan berakhirnya penjajahan Belanda dan digantikan oleh bala tentara Dai Nippon sejak tahun 1942.
Sepintas terasa bahwa wangsit itu senapas dengan ramalan Jayabaya mengenai kedatangan bangsa Kate (Jepang) yang seumur jagung itu. Apa ada kaitan kedua ramalan tersebut ? Atau mungkin hanya sebentuk koinsidensi ; sesuatu yang terjadi bersamaan namun tidak saling mempengaruhi.
Membicarakan komunitas Samin tidak akan lepas dari gerakan perjuangan melawan penjajah. Dirunut ke belakang, komunitas Samin berawal dari gerakan kultural perlawanan Kyai amin Anom alias Kyai Samin Surosentiko (meninggal di Sawah Lunto, Sumatera Barat, tahun 1914) yang menolak membayar pajak kepada penjajah Belanda.
Penolakan membayar pajak ini, menurut pemahakamn masyarakat Samin, merupakan perang secara damai atau tanpa senjata. Dalam peristilahan mereka, kondisi ini digambarkan sebagai dom sumusup ing banyu (jarum yang menyusup ke air).
Akan halnya Ki Samin Surosentiko, lelaki ini terlahir tahun 1859 di Desa Ploso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan nama R. Kohar. Dia merupakan putra dari R. Surowidjojo (Samin sepuh); salah satu anak R.M Adipati Brotodiningrat, yang pernah berkuasa sebagai bupati di Sumoroto yang termasuk wilayah Tulungagung, Jawa Timur antara tahun 1802-1826.
R. Surowidjojo sering merampok orang kaya yang menjadi antek belanda, kemudian membagi-bagikannya kepada orang miskin. "Robin Hood" Jawa ini kemudian menggunakan sisanya untuk mendirikan gerombolan pemuda bernama "Tiyang Sami Amin" pada thaun 1840.
Nama kelompok ini merupakan julukan R. Surowidjojo, yang diwaktu kecil bernama R. Surontiko. Samin diartikan sebagai sami-sami amin, yang bermakna apabila semua setuju maka dianggap sah.
beberapa pedoman hidup diajarkan oleh Ki Samin Surosentiko. Misalnya orang harus pasrah, sumeleh, sabar, narima ing pandum (ikhlas menerima). Orang jangan srei, drengki (dengki), dahwen, meren (iri), dan jangan semena-mena kepada orang lain.
Ki Samin memiliki andalan, yaitu Kitab Jamus Kalimasada yang ditulis dalam aksara Jawa. Kitab ini sekarang banyak disimpan sesepuh Samin Bojonegoro, Blora, Kudus, Brebes, Pati, dan Lamongan.
Ki Samin Surosentiko meninggalkan dua anak, Karto Kemis dan Paniyah. Paniyah kemudian dinikahi Ki Suro Kidin yang telah disebut diawal tulisan ini dan memiliki delapan anak kandung serta satu anak angkat. Anak angkat itu bernama Kamidin atau dikenal sebagai Surokarto Kamidin.
Surokarto Kamidin memiliki anak lelaki yang bernama Hardjo Kardi, yang hingga saat ini berdomisili di Dusun Jepang, Kecamatan Margomulyo, kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Dusun Jepang berada sekitar tujuh kilometer dari jalan besar jurusan Ngawi-Bojonegoro, tepatnya di Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo.
Menurut Hardjo Kardi, citra negatif yang kadang melekat pada masyarakat Samin mungkin merupakan imbas dari propaganda Belanda pada masa lalu. Diakui, generasi pendahulunya memang tidak mau membayar pajak karena saat itu yang memerintah bukan orang pribumi.
Sikap membangkang untuk membayar pajak ini kemudian dengan sendirinya berubah ketika Indonesia telah merdeka.
"Sak meniko sami taat mbayar pajek, sebab ingkang mrentah lan dipun prentah sami-sami tiyang Idonesia, sanes tiyang manca (Sekarang kami taat membayar pajak, sebab yang memerintah dan diperintah sama-sama orang Indonesia, bukan orang asing)" tutur Hardjo Kardi, ayah tujuh putra dan kakek delapan cucu ini.
mayoritas penduduk samin Bojonegoro bermata pencaharian petani dengan tanaman budidaya seperti Jagung, Kedelai, dan Bawang Merah. Mereka menjalin kemitraan dengan Perhutani. Selain bertani, banyak penduduk Samin yang memelihara sapi, kambing, dan ayam kampung.
Dalam hal keyakinan agama, hardjo Kardi berpendapat bahwa baik Islam, Kristen, maupun agama lainnya itu sama-sama mengarahkan umatnya ke jalan yang baik, tinggal bagaimana penerapannya.
Kelugasan dalam berbicara memang tampak jelas dalam langgam tutur warga masyarakat Samin. Tak jarang jawaban yang didapat pun singkat-sinhkat namun langsung menjawab inti persoalan.
Pola egaliter (kesamarataan) merasuk dalam kehidupan sehari-hari warga komunitas Samin. hardjo Kardi, misalnya sering kali menerima kunjungan para pejabat di rumahnya. Tetapi, dia tidak membeda-bedakan, baik ketika menyambut pejabat maupun menyambut masyarakat awam.
kerukunan dan gotong royong menduduki posisi penting dalam pemahaman mereka. demikian pula saling mengingatkan merupakan hal yang baik.
"Tiyang lali saged dielingke ning nek nglali niku angel ( orang yang lupa itu dapat diingatkan, tetapi kalau sengaja lupa itu yang sulit)" ujar Hardjo Kardi berfilsafat.
Meski tinggal di kawasan pedesaan, perkembangan sosial politik pun tak lepas dari pengamatannya. Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya Samin, sikap apa adanya selalu dia tampilkan, termasuk ketika menjelang Pemilu 2004.
Karena diberi tahu bahwa pemilu itu bersifat bebas dan rahasia maka dia tidak mau menunjukkan pilihannya kepada siapapun yang menanyakan hal tersebut. Dia mempersilahkan warganya untuk memilih sesuai pilihannya.
Sampeyan napa saged neruske pesen niki ? tanyanya yang berart apakah anda bisa meneruskan pesan ini
Sepintas terasa bahwa wangsit itu senapas dengan ramalan Jayabaya mengenai kedatangan bangsa Kate (Jepang) yang seumur jagung itu. Apa ada kaitan kedua ramalan tersebut ? Atau mungkin hanya sebentuk koinsidensi ; sesuatu yang terjadi bersamaan namun tidak saling mempengaruhi.
Membicarakan komunitas Samin tidak akan lepas dari gerakan perjuangan melawan penjajah. Dirunut ke belakang, komunitas Samin berawal dari gerakan kultural perlawanan Kyai amin Anom alias Kyai Samin Surosentiko (meninggal di Sawah Lunto, Sumatera Barat, tahun 1914) yang menolak membayar pajak kepada penjajah Belanda.
Penolakan membayar pajak ini, menurut pemahakamn masyarakat Samin, merupakan perang secara damai atau tanpa senjata. Dalam peristilahan mereka, kondisi ini digambarkan sebagai dom sumusup ing banyu (jarum yang menyusup ke air).
Akan halnya Ki Samin Surosentiko, lelaki ini terlahir tahun 1859 di Desa Ploso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan nama R. Kohar. Dia merupakan putra dari R. Surowidjojo (Samin sepuh); salah satu anak R.M Adipati Brotodiningrat, yang pernah berkuasa sebagai bupati di Sumoroto yang termasuk wilayah Tulungagung, Jawa Timur antara tahun 1802-1826.
R. Surowidjojo sering merampok orang kaya yang menjadi antek belanda, kemudian membagi-bagikannya kepada orang miskin. "Robin Hood" Jawa ini kemudian menggunakan sisanya untuk mendirikan gerombolan pemuda bernama "Tiyang Sami Amin" pada thaun 1840.
Nama kelompok ini merupakan julukan R. Surowidjojo, yang diwaktu kecil bernama R. Surontiko. Samin diartikan sebagai sami-sami amin, yang bermakna apabila semua setuju maka dianggap sah.
beberapa pedoman hidup diajarkan oleh Ki Samin Surosentiko. Misalnya orang harus pasrah, sumeleh, sabar, narima ing pandum (ikhlas menerima). Orang jangan srei, drengki (dengki), dahwen, meren (iri), dan jangan semena-mena kepada orang lain.
Ki Samin memiliki andalan, yaitu Kitab Jamus Kalimasada yang ditulis dalam aksara Jawa. Kitab ini sekarang banyak disimpan sesepuh Samin Bojonegoro, Blora, Kudus, Brebes, Pati, dan Lamongan.
Ki Samin Surosentiko meninggalkan dua anak, Karto Kemis dan Paniyah. Paniyah kemudian dinikahi Ki Suro Kidin yang telah disebut diawal tulisan ini dan memiliki delapan anak kandung serta satu anak angkat. Anak angkat itu bernama Kamidin atau dikenal sebagai Surokarto Kamidin.
Surokarto Kamidin memiliki anak lelaki yang bernama Hardjo Kardi, yang hingga saat ini berdomisili di Dusun Jepang, Kecamatan Margomulyo, kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Dusun Jepang berada sekitar tujuh kilometer dari jalan besar jurusan Ngawi-Bojonegoro, tepatnya di Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo.
Menurut Hardjo Kardi, citra negatif yang kadang melekat pada masyarakat Samin mungkin merupakan imbas dari propaganda Belanda pada masa lalu. Diakui, generasi pendahulunya memang tidak mau membayar pajak karena saat itu yang memerintah bukan orang pribumi.
Sikap membangkang untuk membayar pajak ini kemudian dengan sendirinya berubah ketika Indonesia telah merdeka.
"Sak meniko sami taat mbayar pajek, sebab ingkang mrentah lan dipun prentah sami-sami tiyang Idonesia, sanes tiyang manca (Sekarang kami taat membayar pajak, sebab yang memerintah dan diperintah sama-sama orang Indonesia, bukan orang asing)" tutur Hardjo Kardi, ayah tujuh putra dan kakek delapan cucu ini.
mayoritas penduduk samin Bojonegoro bermata pencaharian petani dengan tanaman budidaya seperti Jagung, Kedelai, dan Bawang Merah. Mereka menjalin kemitraan dengan Perhutani. Selain bertani, banyak penduduk Samin yang memelihara sapi, kambing, dan ayam kampung.
Dalam hal keyakinan agama, hardjo Kardi berpendapat bahwa baik Islam, Kristen, maupun agama lainnya itu sama-sama mengarahkan umatnya ke jalan yang baik, tinggal bagaimana penerapannya.
Kelugasan dalam berbicara memang tampak jelas dalam langgam tutur warga masyarakat Samin. Tak jarang jawaban yang didapat pun singkat-sinhkat namun langsung menjawab inti persoalan.
Pola egaliter (kesamarataan) merasuk dalam kehidupan sehari-hari warga komunitas Samin. hardjo Kardi, misalnya sering kali menerima kunjungan para pejabat di rumahnya. Tetapi, dia tidak membeda-bedakan, baik ketika menyambut pejabat maupun menyambut masyarakat awam.
kerukunan dan gotong royong menduduki posisi penting dalam pemahaman mereka. demikian pula saling mengingatkan merupakan hal yang baik.
"Tiyang lali saged dielingke ning nek nglali niku angel ( orang yang lupa itu dapat diingatkan, tetapi kalau sengaja lupa itu yang sulit)" ujar Hardjo Kardi berfilsafat.
Meski tinggal di kawasan pedesaan, perkembangan sosial politik pun tak lepas dari pengamatannya. Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya Samin, sikap apa adanya selalu dia tampilkan, termasuk ketika menjelang Pemilu 2004.
Karena diberi tahu bahwa pemilu itu bersifat bebas dan rahasia maka dia tidak mau menunjukkan pilihannya kepada siapapun yang menanyakan hal tersebut. Dia mempersilahkan warganya untuk memilih sesuai pilihannya.
Dia mengaku pernah mendapat wangsit mengenai persyaratan yang sebaiknya dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar masa pemerintahnnya berjalan lancar.
Syaratnya begini " Presiden ingkang sakniki niku syarate kebo bule sing sungune dongkrok lan pitik walik setunggal, dipun beleh teng riko (Presiden yang sekarang itu syaratnya harus menyembelih kerbau putih yang tanduknya mengarah ke bawah dan ayam berbulu terbalik.Sampeyan napa saged neruske pesen niki ? tanyanya yang berart apakah anda bisa meneruskan pesan ini
( Cyprianus Anto Saptowalyono)