Jumat, 28 Mei 2010

PERJUANGAN AWAL, PARA WALI DI JAWA (5)

Para anggota Walisanga adalah orang-orang yang terpilih dan mendapatkan sebagian karomah Nabi, yakni barokah. Merekalah peletak dasar syiar agama Islam di Jawa, sejak datangnya Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1404 Masehi. Walisanga yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat itu selalu mengkonsolidasikan diri dan mengkoordinasikan segala kegiatan dakwah Islamiyahnya. Sehingga pada hakekatnya Walisanga adalah sebuah organisasi para wali yang keanggotaannya mengalami perubahan dan penggantian, tetapi tetap berjumlah sembilan. Dalam pelaksanaan dakwahnya menghadapi masyarakat Jawa yang berlatar belakang pluralistik, yaitu budaya Hindu, Budha, Kejawen, Animisme, dan Dinamisme, maka diperlukan taktik dan strategi serta metode dakwah Islamiyahnya. Perbedaan sikap dan cara dakwah membuat dakwah para Walisanga terbagi dua, yaitu cara moderat dan cara konservatif.
Golongan moderat menuduh golongan konservatif sebagai ekstrim, tidak tahu situasi dan kondisi, tidak pandai-pandai membawa diri, tidak mengerti hikmah kebijaksanaan, dan masih banyak cercaan lainnya. Mereka dipimpin oleh Sunan Kalijaga, dengan didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Murua, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Mereka ini disebut Santri Abangan, yaitu golongan yang masih mentolerir kepada adat-istiadat dan kepercayaan lama, tidak tergesa-gesa merubah adat istiadat lama, tetapi dipengaruhi sedikit demi sedikit, diarahkan secara bijaksana denga media dakwah. Rakyat diambil hatinya agar simpati, senang, mengerti, dan kemudian mencintai.
Tujuan kelompok Santri Abangan adalah ingin meng-Islam-kan orang Jawa secepat mungkin, dengan jalan agak kompromi atau dengan mengikuti arus tetapi tidak hanyut. Golongan konservatif yang dipimpin oleh Sunan Giri dan didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat, menuduh golongan moderat sebagai tidak konsekwen dalam menjalankan perintah agama Islam, ingin memalsukan agama Allah, berkompromi dengan kaum batil, mencampur yang haq dengan yang batil, Islam palsu, dan sebagainya. Mereka dijuluki Santri Putihan, yaitu dalam masalah ibadah tidak kenal kompromi dengan adat istiadat dan kepercayaan lama. Ibadah harus dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Ibadah harus sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul. Sunan Giri adalah seorang yang ahli dalam ilmu Taukhid dan ilmu Fikih. Beliau sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan hukum takut kalau tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Tujuan kelompok Santri Putihan adalah menghindari terjadinya penyelewengan aturan agama Islam.
Namun demikian kedua aliran tersebut tetap bersatu padu menjaga Ukhuwah Islamiyahnya, menjaga persatuan umat. Hal tersebut ditunjukkan dalam bergotong royong membangun Masjid Demak, membantu Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak dan meruntuhkan Kerajaan Majapahit setelah keturunan raja Majapahit tidak lagi memimpin Majapahit karena ditundukkan oleh Raja Girindrawardhana dari Kediri. Prabu Brawijaya Kertabhumi, ayah Raden Patah tewas dalam memberikan kesempatan kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri menyiarkan agama Islam di wilayah Majapahit. Setelah Sunan Ampel wafat pimpinan Walisanga digantikan oleh Sunan Giri yang bersikap tegas terhadap Majapahit. Raja Girindrawardhana yang merebut Majapahit, namun Girindrawardhana sudah didahului dikalahkan oleh Prabu Udhata dan tewas pada tahun 1498 Masehi.
Prabu Udhata takut diserang oleh Sunan Giri yang saat itu dikenal sebagai penguasa Pesantren Giri, pimpinan Giri Kedhaton, yang memimpin pemerintahan para ulama. Apalagi bila bergabung dengan prajurut Demak untuk merebut kekuasaan pemerintahan yang menjadi hak Raden Patah selaku putra Prabu Brawijaya Kertabhumi. Prabu Udhata bersekongkol dengan Portugis di Malaka pada tahun 1512 Masehi. Dan Demak menyerang Majapahit pada tahun 1517 Masehi, dan jatuhlah Majapahit sehingga seluruh pusaka Majapahit jatuh ke tangan Raden Patah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar