Perang Padri (1821-1838) di Minangkabau. Anda biasanya menghubungkannya dengan pemimpin kaum Padri, yaitu Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) yang melawan penjajah Belanda, tetapi akhirnya dikalahkan, menyerah, dan dibuang ke pengasingan mulanya di Priangan, lalu di Ambon, kemudian di Manado tempat Tuanku Imam Bonjol meninggal 1864.
Gerakan Padri menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di Masyarakat Minangkabau, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium, narkoba), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matrilineal mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Anda niscaya tahu lebih banyak tentang Perang Padri apabila rajin membaca buku sejarah. Kendati begitu, masih juga ada segi-segi peperangan itu yang anda tidak ketahui. Dalam buku berbahasa Belanda dengan judul "Het einde van de Padrie-oorlog. Het beleg en de vermeestering van Bonjol 1834-1837. Een bronnenpub li catie (G. Teitler, 2004). Di situ terdapat empat sumber berupa surat, laporan, data, dan jurnal. Di situ terdapat data sejarah, tentu saja dari perspektif Belanda tetapi menarik.
Belanda menyerang benteng kaum Padri di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh Jendral dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku (kelompok etnis), seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira yang berada di depan Bonjol dapat dibaca Letnan Kolonel Bauer, Kapten Mac Lean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche Kapitein Noto Prawiro, Inladsche Luitenant Prawiro Di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Dalam jurnal ekspedisi, Mayor Jendral Cochius ke Padang tanggal 1 April 1837 bersama Bonjol. Juga ikut serta 148 Europeesche Officieren, 36 Inlandsche Officieren, 1.103 Europeanent, 4.130 Indlanders, Sumena-sche hulptroepen hieronder begrepen.
Yang dimaksud dengan belakangan ini adalah pasukan pembantu Sumenep alias Madura. Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, maka jurnal menyebutkan antara lain "orang-orang Bugis berada di bagian depan menerjang pertahanan Padri".
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan kapal Perle di Padang Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa, dan Africanen 1 sergeant, 4 korporaals en 112 flankeurs. Yang belakangn ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, dewasa ini negara Ghana, Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Apa artinya ini ? Konsep dalam Sumpah Pemuda 1928 : satu bangsa, satu Tanah Air, satu bahasa, yaitu Indonesia masih jauh panggang dari api. Untuk menegakkan kekuasaannya di Nusantara, Belanda melaksanakan asas Divide et Impera. Pecah belah dan perintah orang Jawa, Bugis, Madura, dan Ambon untuk menghantam serta menewaskan orang Minang, tidak ada masalah. Kesadaran berbangsa Indonesia belum ada. Tapi, gambaran lain ada dalam kasus Ali Basya Sentot, panglima Perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).
Belanda menyerang benteng kaum Padri di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh Jendral dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku (kelompok etnis), seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira yang berada di depan Bonjol dapat dibaca Letnan Kolonel Bauer, Kapten Mac Lean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche Kapitein Noto Prawiro, Inladsche Luitenant Prawiro Di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Dalam jurnal ekspedisi, Mayor Jendral Cochius ke Padang tanggal 1 April 1837 bersama Bonjol. Juga ikut serta 148 Europeesche Officieren, 36 Inlandsche Officieren, 1.103 Europeanent, 4.130 Indlanders, Sumena-sche hulptroepen hieronder begrepen.
Yang dimaksud dengan belakangan ini adalah pasukan pembantu Sumenep alias Madura. Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, maka jurnal menyebutkan antara lain "orang-orang Bugis berada di bagian depan menerjang pertahanan Padri".
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan kapal Perle di Padang Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa, dan Africanen 1 sergeant, 4 korporaals en 112 flankeurs. Yang belakangn ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, dewasa ini negara Ghana, Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Apa artinya ini ? Konsep dalam Sumpah Pemuda 1928 : satu bangsa, satu Tanah Air, satu bahasa, yaitu Indonesia masih jauh panggang dari api. Untuk menegakkan kekuasaannya di Nusantara, Belanda melaksanakan asas Divide et Impera. Pecah belah dan perintah orang Jawa, Bugis, Madura, dan Ambon untuk menghantam serta menewaskan orang Minang, tidak ada masalah. Kesadaran berbangsa Indonesia belum ada. Tapi, gambaran lain ada dalam kasus Ali Basya Sentot, panglima Perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar