Senin, 18 Januari 2010

BELAJAR DARI PERISTIWA MADIUN 18 SEPTEMBER 1948 (2)

Betapapun tampak meyakinkannya, teori-teori itu memiliki kelemahan masing-masing. Teori mengenai PKI sebagai dalang Peristiwa Madiun misalnya, mengandung kelemahan mencolok. Ketika peristiwa itu pecah tanggal 18 September 1948, Muso dan para pemimpin PKI lain sedang ada di luar kota. Bila "pemberontakan" itu dipimpin Muso, seharusnya hari itu ia ada di Madiun. Muso justru terkejut mendengar berita mengenai apa yang terjadi, dan baru tiba kembali di Madiun tengah malam. Sementara itu para pemimpin PKI yang lain justru tertahan di Yogyakarta. Selanjutnya dokumen-dokumen yang konon "diketemukan" dan kemudian disebarkan oleh partai Murba, amat diragukan keasliannya, termasuk oleh Profesor Kahin yang sempat sendiri membaca berkas-berkas itu (Kahin : 1952).
Teori mengenai Kabinet Hatta sebagai pelaku utama Peristiwa Madiun perlu dipertanyakan. bahwa kabinet itu merencanakan rasionalisasi dan khawatir akan akan meluasnya pengaruh Komunis di Indonesia, itu jelas. Tetapi apakah berdasarkan rencana dan kekhawatiran itu lantas secara sengaja memprovokasi golongan Komunis agar berontak supaya bisa disingkirkan, belum bisa dipastikan. Tentu Hatta tidak menghendaki adanya perang saudara di tengah seriusnya ancaman militer Belanda yang siap melancarkan Agresi Militer Belanda II.
Teori provokasi Amerika Serikat terasa meragukan, antara lain karena cerita mengenai "Konferensi Sarangan" yang disebut-sebut sebagai dasar teori itu sebenarnya tidak pernah ada (Swift : 1989). Cochran yang dikabarkan sebagai seorang wakil Amerika Serikat dalam konferensi yang katanya berlangsung tanggal 21 Juli 1948 itu, baru tiba di Indonesia pada tanggal 9 Agustus 1948. Sementara itu, orang bernama "G Hopkins" yang dikatakan sebagai penasehat Presiden Truman itu mungkin hasil mengada-ada.
Teori mengenai rekayasa Moskwa juga cukup meragukan. Ketika mendengar pecah Peristiwa Madiun, Moskwa justru kaget. Pemahaman Moskwa mengenai peristiwa itu baru datang belakangan hingga tanggal 25 September 1948 koran resmi US Pravda menurunkan berita singkat tentang apa yang terjadi di Madiun. Informasi lebih lengkap yang didapat Moskwa justru datang dari Komunis Belanda, sehingga baru pada tanggal 15 Oktober 1948 koran itu menyampaikan tuduhan bahwa PKI telah diprovokasi untuk melakukan perlawanan supaya dapat dibasmi.
Kelemahan yang ada pada masing-masing teori bukan berarti tidak ada kebenaran dalam teori-teori itu, tetapi bahwa "kebenaran" tentang Peristiwa Madiun mungkin terletak pada kombinasi dari unsur-unsur yang terkandung dalam keempatnya. yang jelas, ada satu fakta yang sulit dipungkiri, dalam peristiwa itu anak-anak bangsa telah menjadi pelaku dan korban baku tuduh hingga baku bunuh dalam skala besar.
banyak warga golongan kiri dihabisi tentara pemerintah, tetapi banyak pula anggota PKI yang membunuh lawan-lawan politiknya dalam jumlah besar. Diantara golongan kiri yang dibunuh adalah Mr. Amir Syarifuddin, mantan Perdana Menteri RI yang disuruh menggali lubang kuburnya sendiri sebelum kemudian dieksekusi tentara. tanpa pengadilan, tanpa kesempatan membela diri.
Sayang, dalam sebuah peristiwa yang berlangsung secara relatif singkat di awal sejarah Republik, terjadi pembantaian antar sesama warga bangsa dalam jumlah ratusan, mungkin ribuan. Namun, lebih sayang lagi, tragedi nasional macam itu kurang mendapat kesempatan untuk diolah secara mendalam, selain diberi label "Pemberontakan PKI yang gagal." Jangan-jangan antara lain karena kurangnya pengolahan pengalaman atas momen-momen historis macam itu, maka tragedi baku tuduh hingga baku bunuh terus berlanjut sampai kini. Pembunuhan massal 1965, kerusuhan Solo, Maluku, dan Poso hanyalah beberapa contoh.
Diharapkan, ingatan akan apa yang terjadi dalam Peristiwa Madiun mendorong kita untuk tak enggan berdialog dengan pengalaman masa lalu. Munculnya berbagai teori itu hendaknya menyadarkan kita bahwa upaya mencari kebenaran itu tidak mudah tetapi harus dilaksanakan. Semoga kita tidak bosan untuk terus mengolah pengalaman sejarah bangsa ini ( Baskara T. Wardaya, S.J).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar