Dalam jurnal tanggal 25 April 1837 diceritakan bahwa Kolonel Elout mempunyai dokumen-dokumen resmi yang membuktikan kesalahan Ali Basya Sentot dengan kehadirannya di Sumatra.
"Inlander ini yang dulu sangat kita hormati tiba-tiba melakukan pengkhianatan. Dia berkhayal mengepalai penduduk Melayu dan bertujuan mengusir berstuur Eropa, dengan perkataan lain membunuh semua orang Eropa. Dia telah menjadi korban kejahatannya karena orang-orang Melayu seperti diketahui mempunyai kejengkelan yang sama banyaknya terhadap orang-orang Jawa maupun orang Eropa," tulis Mayor De Salis.
Sebagaimana diketahui, Sentot, setelah usai Perang Jawa, masuk dinas Pemerintah Belanda. Kehadirannya di Jawa bisa menimbulkan masalah. Maka, tatkala Kolonel Elout melakukan serangan terhadap Padri tahun 1831-1832, dia memperoleh tambahan kekuatan dari legiun Sentot yang telah membelot itu.
Setelah pemberontakan tahun 1833, timbul kecurigaan serius bahwa Sentot melakukan persekongkolan (konspirasi) dengan kaum Padri. Karena itu, Elout mengirim Sentot dan legiunnya ke Jawa. Sentot tidak berhasil menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya. Belanda tidak ingin dia berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Padang. Pada perjalanan kesana Sentot diturunkan di Bengkulu dimana dia tinggal sampai meninggalnya sebagai orang buangan. Legiunnya dibubarkan dan anggota-anggotanya berdinas dalam Tentara Belanda.
Cerita tentang Tuanku Imam Bonjol terdapat dalam catatan jurnal 6 Mei 1837. Seorang perempuan M, lahir di daerah Mandailing, melarikan diri dari Bonjol dan menyeberang ke pihak Belanda. Dia bercerita pernah tinggal di rumah Tuanku Imam Bonjol. Dia lari lantaran harus bekerja terlalu keras sedangkan makanannya sangat sedikit, hanya terdiri dari ubi.
Tuanku Imam Bonjol, katanya, sedang memulihkan kesehatannya dari luka-luka yang diperolehnya. Tuanku punya tiga istri dan empat selir. Salah satu istrinya ditembak mati bulan Desember yang lalu. Sedangkan seorang istri yang lain dikatakan dulu telah mati ternyata hanya mengalami luka-luka. Salah satu selirnya mau melarikan diri tetapi dikejar oleh putra Tuanku Imam Bonjol, yaitu Sutan Sedi, dan dibunuh.Saya tidak tahu Tuanku Imam Bonjol beristri begitu banyak. Anda juga tidak tahu ?
Selanjutnya dicatat Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang, Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mohamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga 100 orang. Di gunung yang memberi perintah adalah Tuanku Haji Be di Bonjol dan terdapat enam meriam. Kebanyakan rumah sudah terbakar, hanya beberapa rumah dekat pegunungan yang masih berdiri. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit. Residen Belanda menurut catatan tanggal 7 Juni mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Tuanku Imam Bonjol.
Tuanku menyatakan bersedia melakukan perundingan dengan Residen atau dengan komandan militer. Perundingan itu tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan genjatan senjata berlaku. Tuanku akan datang ke tempat berunding tanpa membawa senjata. Tetapi perundingan tidak terlaksana. Sebab, Belanda berpendirian bahwa Tuanku Imam Bonjol harus menyerah tanpa syarat.
Belanda memang bersikap keras. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Belanda balas dendam. Kolonel Elout memanggil beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang muncul. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Tindakan ini di mata orang-orang Melayu sangat menurunkan derajat Belanda. Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di Benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke pihak Padri dan seorang perempuan Sumenep. Diantara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang yang bernama yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni Belanda. Juga ada seorang pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto.
Seterusnya ada Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Menurut jurnal, Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda.
Yang menarik adalah kebiasaan menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves). Kaum Padri melakukan ini di daerah Mandailing. Perdagangan budak masa itu sebuah gejala lazim. Sebuah kisah human interest ialah tentang pasar Suangai Puar. Kaum perempuan yang mengunjungi pasar, bila memakai tutup kepala berwarna merah (rode kap, kata penulis Belanda), maka itu adalah tanda bahwa perempuan itu sudah memasuki usia kawin dan masih perawan. Perempuan lain memakai tutup kepala warna merah dan putih, atau biru dan merah. Asal tahu saja (H. Rosihan Anwar).