Minggu, 09 Agustus 2009

PAHLAWAN NASIONAL IGNATIUS SLAMET RIJADI

Sabtu, 4 November 1950 sore, Letnan Kolonel Ignatius Slamet Rijadi memerintahkan pasukan Grup II Komando Pasukan Maluku Selatan atau KP Malsel mendekati Benteng Victoria, Ambon. Menurut laporan intelijen, di benteng bekas VOC tersebut masih bertahan sisa-sisa pasukan Republik Maluku Selatan (RMS). Pada sisi lain, Pak Met, begitu panggilan akrabnya dari semua anak buahnya, juga menerima informasi, benteng itu pada Jumat siang sudah bisa direbut oleh pasukan Mayor Lukas Koestarjo dari Divisi Siliwangi.
Slamet Rijadi ada di dalam panser paling depan, dikemudikan Kapten Klees, Komandan Eskader Kavaleri. Di belakangnya, dua panser lain mengikuti. Tiba-tiba tembakan gencar berdatangan dari arah benteng, langsung menghujani pertahanan pasukan TNI. Pak Met kaget. Sementara itu, Klees langsung memerintahkan anak buahnya segera membalas tembakan. Tiba-tiba Pak Met berteriak, "Stop het Veuren. Hentikan tembakan." Mengapa Overste ? " tanya Kapten Klees heran. Pak Met menukas, "Ini semua salah paham. Lihat, mereka semua mengibarkan Merah Putih dari dalam benteng. Pasti mereka TNI, anak-anak Siliwangi. Saya akan keluar memastikan ...."
Klees berusaha mempertahankan pendapatnya, "Overste, saya bekas KNIL. Saya tahu cara bertempur mereka. Bisa saya pastikan, mereka adalah bekas KNIL yang bergabung ke RMS. Jangan hiraukan mereka, meski mereka mengibarkan Merah Putih.
Jawaban Pak Met amat mengejutkan, "Saya komandan KP Malsel. Lihat tembakan mereka sudah berhenti. Saya akan keluar untuk lebih memastikan, buka canopy (kubah) panser."
"Siap Overste," jawab Klees sambil menarik tungkai pembuka kubah panser. Pak Met keluar panser, tanpa memakai topi baja. Hanya memakai teropong sambil berkalungkan Owen Gun senapan otomatis kesayangannya.
Apa yang dikhawatirkan Klees menjadi kenyataan. Slamet Rijadi tidak pernah tahu bahwa pada Sabtu dini hari pasukan komando RMS telah menguasai kembali Benteng Victoria sekaligus mengusir keluar anak buah Lukas Koestardjo. Maka, apa yang disangka Slamet Rijadi bahwa benteng itu masih dikuasai TNI, keliru. Seorang Sniper (penembak jitu) RMS dari atas Benteng Victoria Sabtu sore itu bagai menemukan durian runtuh. Dengan jelas, dia melihat Slamet Rijadi keluar dari dalam panser. Sebuah tembakan langsung terdengar, pelurunya meluncur tepat mengenai bagian perut Pak Met.
Melihat tubuh komandannya jatuh, Klees langsung memerintahkan kedua panser lain menghujani benteng dengan tembakan gencar. Tindakan itu agar bisa memberi kesempatan kepada dirinya membawa Pak Met ke garis belakang Laha. Tubuh Slamet Rijadi langsung diangkut ke KM Waibalong yang membuang sauh di depan pelabuhan Laha. Beberapa jam kemudian, Mayor Dr. Abdullah, perwira kesehatan, memberi laporan kepada Kolonel Alex Kawilarang, Panglima KP Malsel, "Letnan Kolonel Ignatius Slamet Rijadi gugur pada sekitar pukul 11.30 Sabtu malam ..."
Slamet Rijadi dilahirkan di kampung Danukusuman Solo pada Rabu Pon, 28 Mei 1926 dengan nama Soekamto. Karena semasa kecil sering sakit, namanya diubah menjadi Slamet. "...ketika di SMP Negeri II Solo banyak anak bernama Slamet. Maka oleh gurunya diberi tambahan nama Rijadi, maka jadilah sampai sekarang Slamet Rijadi, "kata Kolonel (Purnawirawan) Soejoto, teman main Pak Met sejak kecil, yang kemudian menjadi anak buah saat bergerilya di daerah Solo, menumpas DI/TII di Jawa Barat, dan dalam operasi menumpas RMS mulai dari Pulau Buru sampai Pulau Ambon, Maluku.
Dengan demikian, Pak Met gugur saat usianya belum genap 24 tahun. Namun, meski hidupnya amat singkat, jejak serta teladan yang ditinggalkan amat mengesan. Dia tidak hanya jago tempur, yang dilakukan secara otodidak dengan belajar dari buku dan majalah militer, oleh karena dia terjun menjadi anggota militer semata-mata untuk memenuhi panggilan revolusi sehingga bukan lewat jalur formal.
Namun, Pak Met, amat berbeda dengan para pemimpin perang lain, meninggalkan naskah tertulis yang masih bisa dipakai sampai hari ini dalam judul Pedoman Gerilya I dan II. Bahkan, berbeda dengan A.H Nasution atau TB Simatupang, yang menulis bukunya sesudah perang selesai. "Pak Met menulis di tengah pertempuran, berdasarkan pengalaman yang ditemukan selama perang. Salah satu yang legendaris adalah petunjuknya, de beste verdediging ligt juist in de anvall. Pertahan terbaik terletak pada penyerangan," kata Kolonel (Purnawirawan) Aloysius Soegianto, tokoh intelijen sekaligus bekas ajudan Pak Met.
Seusai operasi penumpasan RMS, saat Alex Kawilarang sudah diangkat sebagai Panglima Siliwangi, dia teringat gagasan Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan komando, "... yang trampil dalam bertempur dalam semua medan sekaligus ahir menggunakan aneka macam senjata."
Kawilarang memerintahkan Soegianto mencari Visser, bekas kapten pasukan komando Belanda, yang karena bercerai minta pensiun dini dan tidak mau pulang ke Negeri Belanda. Soegianto mengungkapkan, "Visser saya temukan sudah menjadi petani kembang di Pacet dan berganti nama menjadi jadi Mohammad Idjon Djanbi. Dia lalu diaktifkan sebagai mayor dalam dinas TNI oleh Panglima Kawilarang, diminta melatih an membentuk pasukan komando." Jadilah kemudian pasukan Baret Merah KKAD (Kesatuan Komando Angkatan Darat) yang nantinya tumbuh menjadi RPKAD, Sandi Yudha, dan kini dikenal sebagai Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI Angkatan Darat. Karena itu, Pak Met juga dikenal sebagai tokoh penggagas terbentuknya pasukan komando di Indonesia.
Pemerintah RI mengangkat Brigadir Jendral (Anumerta) Slamet Rijadi sebagai Pahlawan Nasional. Dia juga dianugerahi Bintang Maha Putra Utama oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Di kota kelahirannya Solo tepatnya di jalan Slamet Rijadi yang membelah kota Solo, Jawa Tengah diresmikanlah patung Ignatius Slamet Rijadi oleh KSAD Jendral Djoko Santoso.
Pek Met gugur dalam usia muda. Namun dia telah meninggalkan jejak panjang dan sangat bermakna. Khususnya sebuah teladan dalam perjuangan menegakkan Republik Proklamasi serta menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Saduran dari tulisan Julius Pour)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar