Sabtu, 25 Juli 2009

INTELIJEN JEPANG SEBELUM MENGINVASI BELANDA ( TULISAN KEDUA )

Dalam buku itu diceritakan nasib malang harus diterima seorang wanita Jepang dengan nama panggilan Marie. Ia disebut cukup dengan Jeanne. Beberapa kali Marie mengatakan soal perilaku orang-orang Jepang dan kemungkinan mereka menyerang.
Marie sempat mengajari Jeanne bahasa Jepang yang bisa bermanfaat sewaktu-waktu. Akan tetapi ia sempat mengingatkan, agar jangan menggunakan bahasa tersebut jika Jepang benar-benar menyerang karena malah akan mempersulit. Sangat mungkin Marie dicurigai sebagai mata-mata Jepang hingga kemudian ia diamankan polisi dan ditawan di Australia.

Kisah peran intelijen Jepang sebelum invasi Ke Hindia-Belanda ada juga yang berasal dari penuturan orang Jepang sendiri. Salah satunya adalah penuturan Nogi Harumichi
dalam Japan at War, an Oral History. Harumichi mengaku bosan dengan kuliah hukum dan akuntansi sehingga kemudian direkrut oleh Aliansi Mahasiswa Patriotik di Universitas Nibon.
Kami mempunyai tugas yang harus kamu kerjakan. Akan tetapi tugas ini harus dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Itulah mengapa saya memilih kamu. Bila kamu mau ikut, saya menunggu jawabanmu dalam seminggu ini," kata orang yang merekrutnya itu. Orang ini juga berjanji akan memperkenalkan pimpinan mereka jika Harumichi menerima tawaran tersebut. Aliansi itu merupakan bagian dari gerakan sayap kanan yang bernama Aliansi Internasional Anti Komunis.

Aliansi ini memiliki sebuah akademi yang berada di sebuah rumah di di wilayah Meguro, Tokyo. Akademi itu kekepalai oleh Kaneko. Ia merupakan murid dari pemimpin gerakan sayap kanan Iwata Ainoke. Kisah Ainoke agak unik. Pada tahun 1926 Ainoke mengunjungi Hindia Belanda dan tinggal di tempat ters
ebut beberapa lama. Ia sempat mengembara di berbagai tempat selama berada di Hindia Belanda.
Suatu saat Harumichi mendatangai tempat itu dan bertemu dengan Ainoke. Ia memiliki 20 siswa yang baru saja kembali dari Hindia Belanda. Mereka bekerja di berbagai department store besar di sejumlah kota, antara lain di Surabaya. Mereka menguasai bahasa Melayu dengan baik. Di tempat inilah sebenarnya kader intelijen mulai dididik.
Di tempat itu Harumichi kemudian berbincang soal "apa yang terbaik bagi pergerakan kemerdekaan Hindia Belanda". Ia mengatakan, Hindia Belanda merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam, tetapi terbelakang ekonominya. Gairah untuk ikut "memerdekakan Hindia Belanda" semakin membawa Harumichi terlibat dengan kelompok ini lebih jauh.

Kisah ini kemudian berlanjut menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda. Harumichi yang kemudian masuk angkatan laut dikirim ke wilayah itu. Mereka dikirim dan mendapat tugas menjadi penterjemah ketika Jepang mendarat di sejumlah tempat di Hindia Belanda. beberapa orang sempat belajar bahasa Melayu di Tokyo Foreign Language Institute.
Salah satu siswa dari akademi pimpinan Kaneko itu yang bernam
a Yoshizumi Tomegoro, telah berangkat terlebih dahulu ke Hindia Belanda tanpa diketahui teman-temannya. Belakangan diketahui bahwa Yoshizumi terlebih dahulu mendapat tugas menjadi mata-mata militer Jepang.
Kisah lainnya terdapat dalam buku Tarakan, "Pearl Harbour" Indonesia (1942-1945). Dalam buku ini terlihat betapa hebatnya kegiatan mata-mata Jepang menjelang invasi ke Hindia Belanda. Dengan menggunakan identitas palsu, Kitamura, orang Jepang, berhasil mengelabui orang Belanda di tarakan. Ia berpura-pura menjadi pengusaha Cina. Ia ikut menjadi kontraktor sejumlah bangunan pertahanan Belanda di Tarakan.
Sudah pasti segala kekuatan Belanda di Tarakan diketahui oleh Jepang ketika mereka mulai menyerbu wilayah tersebut, yang menjadi gerbang pembuka masuknya Jepang ke Hindia Belanda. Ketika Jepang berkuasa, Kitamura sempat bertemu dengan teman-temannya yang notabene orang Belanda yang telah menjadi tawanan perang Jepang.
Kegiatan intelijen Jepang di Hindia Belanda semakin intensif ketika mereka sudah menduduki wilayah itu. Mereka kemudian merekrut punduduk lokal melalui satuan-satuan militer untuk menjalankan kegiatan intelijen. Dalam buku
Intel, Inside Indonesia's Intelligence Service, orang pribumi pertama yang mendapat pendidikan dasar-dasar intelijen adalah Zulkifli Lubis.
Untuk pendidikan itu, Jepang mendirikan sekolah Intelijen Nakano di Tangerang, Jawa Barat. Lubis termasuk alumni sekolah ini. Ia juga sempat mendapat pendidikan di Pusat Pendidikan Intelijen Regional Jepang yang berada di Singapura. Lubis mendapat pendidikan bukan hanya teori tetapi juga kegiatan praktis. Guru di sekolah itu adalah para petugas intelijen Jepang yang berhasil menundukkan Perancis di wilayah Indochina.
Kelak ketika Indonesia lahir atau merdeka dari penjajahan pada tanggal 17 Agustus 1945, Lubis yang berpangkat Letnan Kolonel menyusun lembaga intelijen yang kemudian disebut badan istimewa. Lembaga ini merupakan cikal bakal Badan Intelijen Negara Republik Indonesia yang dikenal sekarang ini.
(Disadur dari tulisan Andreas Maryoto).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar