Perang Dunia II telah berakhir kurang lebih 64 tahun yang lalu. Jepang yang bercita-cita mendirikan Asia Timur Raya harus takluk pada kekuatan Amerika Serikat.
Akan tetapi, kehebatan Jepang saat melakukan invasi di kawasan Asia Pasifik, termasuk ke Indonesia yang saat itu masih disebut Hindia Belanda, tetap mengundang rasa penasaran. Kehebatan mereka tidak lepas dari peran intelijen - setidaknya dalam hal pengumpulan informasi- yang memang sudah ditanam jauh sebelum Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda.
Bila dirunut jauh sebelumnya, orang Jepang memang sudah lama mengenal wilayah Hindia Belanda. Pada awal abad ke-17 orang Jepang sudah bekerja di wilayah Hindia Belanda. Mereka diterima oleh Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) sebagai awak kapal dan tentara yang berada di berbagai tempat.
Laporan J.P. Coen dan Dewan Hindia tertanggal 3 November 1628 di dalam buku Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta menyebutkan, orang-orang Jepang yang direkrut oleh VOC ikut membantu menumpas penyerangan Sultan Agung ke Batavia tahun1628 dan 1629. Jumlah mereka mencapai tiga kompi.
Dalam perkembangannya, sangat mungkin pengetahuan mereka tentang Hindia Belanda terus bertambah, termasuk nilai strategis Hindia Belanda, terutama soal kekayaan sumber daya alam. Sebelum Perang Dunia II, beberapa sekolah di Jepang mengajarkan ekonomi kolonial. Salah satunya membahas Kolonialisme di Hindia Belanda. Bahkan Bahasa Melayu pun diperkenalkan terkait dengan pelajaran itu.
Tidak mudah menghubungkan fakta-fakta itu dengan situasi menjelang Perang Dunia II. Akan tetapi, kemudian kita mengetahui bahwa di tengah dominasi Belanda, menjelang Perang Dunia II, banyak orang Jepang melakukan berbagai kegiatan - tidak sedikit diantaranya melakukan kegiatan terkait dengan intelijen - seperti perdagangan, pelayaran, dan perkebunan di Hindia Belanda.
Memang operasi intelijen Jepang banyak dibahas di buku karangan F. Kikan, Japanese Army Intelligence Operations in South East Asia During World War II. Akan tetapi, buku itu lebih umum membahas intelijen di Semenanjung Malaya. Berikut beberapa kisah yang menceritakan kegiatan Jepang di Hindia Belanda sebelum akhirnya Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Dalam buku berjudul Ibu Maluku, The Story of Jeanne Van Diejen - kisah pekerja sosial bernama Jeanne Van Diejen di Maluku - disebutkan, pada tahun 1934 di kota Manado terdapat perusahaan kecil yang dikelola orang Jepang. Perusahaan ini menjalankan bisnis pelayaran dengan kapal bernama Honun Maru, yang mau melayani setiap orang untuk tujuan kemanapun.
Kapal itu melayani ke beberapa kota di Sulawesi Utara dan Maluku. Wilayah ini banyak dihuni Belanda karena mereka mengusahakan perkebunan kopra. Melalui wilayah itu pula kelak Jepang melakukan invasi ke sejumlah tempat di Pasifik Selatan. Akan tetapi, peran pemilik kapal itu dalam kegiatan intelijen tidak begitu jelas. Beberapa kali Honun Maru membawa sejumlah komoditas lokal dan sekali pernah mengangkut orang Belanda di Ternate yang dievakuasi ke Ambon sebelum wilayah itu diserang.
Gerak-gerik Jepang yang bersifat intelijen mulai terlihat menjelang penyerangan Jepang ke wilayah Maluku utara. Jeanne memiliki teman bernama Igawa yang berasal dari Jepang. Igawa merupakan anak seorang pemilik toko yang cukup besar di Ternate. Keluarga ini berdagang di kota itu. Keluarga Igawa menutup tokonya dan meninggalkan tempat itu menjelang penyerbuan Jepang ke Ternate.
Sebelum perang, Igawa merupakan orang yang ramah. Akan tetapi saat Jepang masuk, ia tidak lagi menjadi teman bagi Jeanne. Ketika Jepang memasuki Ternate, ia berada didalam sebuah kapal Jepang yang berlabuh di pelabuhan Ternate.
"Dulu lain. Sekarang lain. Ingat itu," bentak Igawa saat disapa oleh Jeanne ketika mereka kembali bertemu. Kesaksian Jeanne, ia tidak ramah lagi seperti dulu, tampangnya menjadi kejam. dalam kegiatan itu, Igawa mendapat tugas mencari sejumlah tokoh militer Belanda dan asisten residen kota itu yang sudah pasti telah diketahui identitasnya oleh Igawa. Peran Igawa mempermudah masuknya Jepang ke kota itu.
Rencana penyerangan Jepang pun sebenarnya sudah terlihat dari gerakan mereka di laut beberapa waktu sebelumnya. Kapal-kapal ikan Jepang Jepang banyak berada di sekitar laut Maluku. Dari seorang kenalannya, Jeanne diberi tahu bahwa kapal-kapal itu berukuran besar dan didalamnya terdapat orang-orang yang memiliki kepentingan aneh. Mereka berada di sekitar Teluk Kao dan Morotai. Morotai adalah salah satu basis penyerangan Jepang ke wilayah Pasifik Selatan.
Pada akhirnya beberapa orang Belanda mengetahui bahwa kapal-kapal itu ternyata kapal-kapal perang yang berwajah kapal ikan. Dengan menggunakan "kapal ikan" itu, Jepang melakukan pemotretan garis pantai dan mengukur kedalaman laut di daerah tersebut. Data seperti ini sangat diperlukan untuk operasi pendaratan pasukan. Tentara Belanda sebenarnya sudah mendeteksi kegiatan itu sejak awal.
Akan tetapi, kehebatan Jepang saat melakukan invasi di kawasan Asia Pasifik, termasuk ke Indonesia yang saat itu masih disebut Hindia Belanda, tetap mengundang rasa penasaran. Kehebatan mereka tidak lepas dari peran intelijen - setidaknya dalam hal pengumpulan informasi- yang memang sudah ditanam jauh sebelum Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda.
Bila dirunut jauh sebelumnya, orang Jepang memang sudah lama mengenal wilayah Hindia Belanda. Pada awal abad ke-17 orang Jepang sudah bekerja di wilayah Hindia Belanda. Mereka diterima oleh Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) sebagai awak kapal dan tentara yang berada di berbagai tempat.
Laporan J.P. Coen dan Dewan Hindia tertanggal 3 November 1628 di dalam buku Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta menyebutkan, orang-orang Jepang yang direkrut oleh VOC ikut membantu menumpas penyerangan Sultan Agung ke Batavia tahun1628 dan 1629. Jumlah mereka mencapai tiga kompi.
Dalam perkembangannya, sangat mungkin pengetahuan mereka tentang Hindia Belanda terus bertambah, termasuk nilai strategis Hindia Belanda, terutama soal kekayaan sumber daya alam. Sebelum Perang Dunia II, beberapa sekolah di Jepang mengajarkan ekonomi kolonial. Salah satunya membahas Kolonialisme di Hindia Belanda. Bahkan Bahasa Melayu pun diperkenalkan terkait dengan pelajaran itu.
Tidak mudah menghubungkan fakta-fakta itu dengan situasi menjelang Perang Dunia II. Akan tetapi, kemudian kita mengetahui bahwa di tengah dominasi Belanda, menjelang Perang Dunia II, banyak orang Jepang melakukan berbagai kegiatan - tidak sedikit diantaranya melakukan kegiatan terkait dengan intelijen - seperti perdagangan, pelayaran, dan perkebunan di Hindia Belanda.
Memang operasi intelijen Jepang banyak dibahas di buku karangan F. Kikan, Japanese Army Intelligence Operations in South East Asia During World War II. Akan tetapi, buku itu lebih umum membahas intelijen di Semenanjung Malaya. Berikut beberapa kisah yang menceritakan kegiatan Jepang di Hindia Belanda sebelum akhirnya Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Dalam buku berjudul Ibu Maluku, The Story of Jeanne Van Diejen - kisah pekerja sosial bernama Jeanne Van Diejen di Maluku - disebutkan, pada tahun 1934 di kota Manado terdapat perusahaan kecil yang dikelola orang Jepang. Perusahaan ini menjalankan bisnis pelayaran dengan kapal bernama Honun Maru, yang mau melayani setiap orang untuk tujuan kemanapun.
Kapal itu melayani ke beberapa kota di Sulawesi Utara dan Maluku. Wilayah ini banyak dihuni Belanda karena mereka mengusahakan perkebunan kopra. Melalui wilayah itu pula kelak Jepang melakukan invasi ke sejumlah tempat di Pasifik Selatan. Akan tetapi, peran pemilik kapal itu dalam kegiatan intelijen tidak begitu jelas. Beberapa kali Honun Maru membawa sejumlah komoditas lokal dan sekali pernah mengangkut orang Belanda di Ternate yang dievakuasi ke Ambon sebelum wilayah itu diserang.
Gerak-gerik Jepang yang bersifat intelijen mulai terlihat menjelang penyerangan Jepang ke wilayah Maluku utara. Jeanne memiliki teman bernama Igawa yang berasal dari Jepang. Igawa merupakan anak seorang pemilik toko yang cukup besar di Ternate. Keluarga ini berdagang di kota itu. Keluarga Igawa menutup tokonya dan meninggalkan tempat itu menjelang penyerbuan Jepang ke Ternate.
Sebelum perang, Igawa merupakan orang yang ramah. Akan tetapi saat Jepang masuk, ia tidak lagi menjadi teman bagi Jeanne. Ketika Jepang memasuki Ternate, ia berada didalam sebuah kapal Jepang yang berlabuh di pelabuhan Ternate.
"Dulu lain. Sekarang lain. Ingat itu," bentak Igawa saat disapa oleh Jeanne ketika mereka kembali bertemu. Kesaksian Jeanne, ia tidak ramah lagi seperti dulu, tampangnya menjadi kejam. dalam kegiatan itu, Igawa mendapat tugas mencari sejumlah tokoh militer Belanda dan asisten residen kota itu yang sudah pasti telah diketahui identitasnya oleh Igawa. Peran Igawa mempermudah masuknya Jepang ke kota itu.
Rencana penyerangan Jepang pun sebenarnya sudah terlihat dari gerakan mereka di laut beberapa waktu sebelumnya. Kapal-kapal ikan Jepang Jepang banyak berada di sekitar laut Maluku. Dari seorang kenalannya, Jeanne diberi tahu bahwa kapal-kapal itu berukuran besar dan didalamnya terdapat orang-orang yang memiliki kepentingan aneh. Mereka berada di sekitar Teluk Kao dan Morotai. Morotai adalah salah satu basis penyerangan Jepang ke wilayah Pasifik Selatan.
Pada akhirnya beberapa orang Belanda mengetahui bahwa kapal-kapal itu ternyata kapal-kapal perang yang berwajah kapal ikan. Dengan menggunakan "kapal ikan" itu, Jepang melakukan pemotretan garis pantai dan mengukur kedalaman laut di daerah tersebut. Data seperti ini sangat diperlukan untuk operasi pendaratan pasukan. Tentara Belanda sebenarnya sudah mendeteksi kegiatan itu sejak awal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar