Wali Sanga yang sangat berperan dalam menciptakan lagu dolanan anak-anak adalah Sunan Giri. Ia terhitung seorang paedagog yang berjiwa demokratis. Beliau mendidik anak-anak dengan jalan membuat berbagai macam permainan yang bernafaskan agama, seperti lagu Jilungan atau Jelungan, Jamuran, Cublak-Cublak Suweng, Ilir-Ilir dan sebagainya.
Sastra suluk, yaitu karya sastra produk Islam yang berisikan tentang ajaran keutamaan hidup, cara-cara pendekatan diri kepada Tuhan agar mencapai kesempurnaan hidup. Dengan kata lain sastra suluk, yaitu buku atau tulisan yang berisikan tentang pengetahuan agama/ ajaran agama yang berbau mistik. Contoh sastra suluk adalah Suluk Wujil, Suluk Suksma Lelana, Suluk Salokajiwa, Sakaratul Maut, Suluk Seh Tekawerdi, dan sebagainya.
4. Sastra Pewayangan
Para wali dalam penyebaran agama selain menggunakan media wayang atau pertunjukan wayang, juga membuat dan menambah ricikan wayang serta fasilitas pertunjukan. Para wali yang berjasa dalam pembuatan wayang adalah: Sunan Giri menciptakan wayang sebangsa kera, Sunan Bonang menciptakan wayang binatang buruan hutan dan rampongan 'barisan', Sunan Kalijaga menambah alat-alat keperluan pertunjukan, seperti kelir, batang pisang, serta blencong 'lampu'.
lakon atau cerita wayang karya para wali diantaranya : Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, Begawan Ciptaning. Cerita Dewa Ruci menggambarkan cipta karya sastra yang penuh filsafati, yaitu Bima berhasil menemukan arti dari kehidupan untuk mencapai sangkan paraning dumadi 'tahu asal dan tujuan hidup'. Cerita Jimat kalimasada menunjukkan bahwa seseorang dapat selamat selama-lamanya, apabila memiliki atau selalu berpegang kepada Jimat Kalimasada 'kalimat Syahadat' atau selalu menyebut nama Allah. Hal ini terlihat dalam cerita Petruk Dadi ratu 'Petruk menjadi raja', menggambarkan seseorang meskipun berpangkat rendah atau miskin, tetapi apabila selalu berpegang teguh dan memiliki Jimat Kalimasada 'Kalimat Syahadat' ia akan menjadi orang yang mulia dan terhormat di sisi-Nya.
Cerita Begawan Ciptoning atau Arjunawiwaha ini menggambar seseorang yang dapat mengalahkan nafsu jahat atau nafsu serakah dalam dirinya (=tokoh raksasa Niwatakawaca, tokoh antagonis). Manusia yang selalu ciptoning 'berpikir luhur/positif', dan berhati suci, serta tidak melupakan tugasnya di dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, akan dapat kembali kepada-Nya.
Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa para Wali Sanga dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa sangat bijaksana, dan disesuaikan dengan situasi serta keadaan. Ajakan dan seruannya penuh persuasif lewat karya sastra Jawa, diantaranya lewat media sastra tembang macapat, lagu-lagu dolanan, sastra suluk, dan sastra pewayangan. Kesemuanya itu dapat menambah khasanah perkembangan kesusastraan Jawa. (Disadur dari tulisan Imam Sutardjo)
- Lagu Jilungan / Jelungan, "anak-anak berkumpul dalam jumlah yang banyak. Satu diantara anak itu menjadi pemburu, dan anak-anak yang lain menjadi buronan. Mereka ini akan selamat atau bebas dari terkaman pemburunya, apabila telah berpegang kepada Jitungan, yakni satu pohon, tiang atau tonggak yang telah ditentukan terlebih dahulu". Permainan ini dimaksudkan untuk mendidik anak-anak mengenai keselamatan hidup. Seseorang apabila telah berpegang kepada agama yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Allah SWT), maka manusia tersebut (buronan) itu akan selalu atau selamat dari pemburu (Iblis yang sangat tinggi dimensinya).
- Tembang Padhang Bulan, Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan. Dolanane ana ing latar, ngalap padhang gilar-gilar, nundhung begog angatikar, artinya : Terang-terang bulan, marilah kita lekas bermain. Bermain di halaman untuk mengambil manfaat dari terang benderang guna mengusir gelap gulita yang lari terbirit-birit. Maksud tembang diatas adalah, bahwa agama yang dibawa para Wali Sanga (Islam) itu ibarat sebuah bulan purnama, telah datang memberi penerangan hidup. Maka marilah segera menuntut kehidupan (dolanan, bermain) di bumi ini (= latar, halaman, pekarangan), untuk mengambil manfaat ilmu agama Islam (=padhang gilar-gilar) itu. Supaya gelap gulita, kesesatan, kebodohan, keterbelakangan (=begog, gelap) segera terusir dari diri manusia.
- Tembang Ilir-Ilir, "Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir. Sing ijo royo-royo, dak sengguh pemanten anyar. Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir. Dondomono jrumatana, kanggo seba mengko sore. Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane. Ya suraka surak hore" (Solichin Salam, 1960). Maksud dari tembang tersebut adalah : Bayi yang baru lahir di dunia ini masih suci, ibarat penganten baru. Siapa saja ingin memandang. Bocah angon (pengembala) itu ibarat santri, mualim. Buah Blimbing itu mempunyai lima belahan, maksudnya rukun Islam yang lima, atau kewajiban menjalankan shalat lima waktu. Mesikpun lunyu (licin), tolong panjat juga. Walaupun menjalankan shalat itu berat, namun kerjakanlah, untuk memasuh dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir. Maksudnya kendati menjalankan shalat itu berat, tetapi harus dikerjakan untuk mensucikan hati kita yang kotor penuh dosa. Dondomono jrumatana, kanggo seba mengko sore ya suraka surak hore. Maksudnya, bahwa manusia hidup di dunia ini senantiasa condong ke arah berbuat salah/dosa, segan untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan benar. Sehingga dengan menjalankan shalat dengan metode yang benar dan tepat diharapkan dapat dijadikan bekal dalam kita menghadap ke hadirat Allah SWT, mulih mula mulanira 'kembali ke asal kita semua'.
Sastra suluk, yaitu karya sastra produk Islam yang berisikan tentang ajaran keutamaan hidup, cara-cara pendekatan diri kepada Tuhan agar mencapai kesempurnaan hidup. Dengan kata lain sastra suluk, yaitu buku atau tulisan yang berisikan tentang pengetahuan agama/ ajaran agama yang berbau mistik. Contoh sastra suluk adalah Suluk Wujil, Suluk Suksma Lelana, Suluk Salokajiwa, Sakaratul Maut, Suluk Seh Tekawerdi, dan sebagainya.
4. Sastra Pewayangan
Para wali dalam penyebaran agama selain menggunakan media wayang atau pertunjukan wayang, juga membuat dan menambah ricikan wayang serta fasilitas pertunjukan. Para wali yang berjasa dalam pembuatan wayang adalah: Sunan Giri menciptakan wayang sebangsa kera, Sunan Bonang menciptakan wayang binatang buruan hutan dan rampongan 'barisan', Sunan Kalijaga menambah alat-alat keperluan pertunjukan, seperti kelir, batang pisang, serta blencong 'lampu'.
lakon atau cerita wayang karya para wali diantaranya : Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, Begawan Ciptaning. Cerita Dewa Ruci menggambarkan cipta karya sastra yang penuh filsafati, yaitu Bima berhasil menemukan arti dari kehidupan untuk mencapai sangkan paraning dumadi 'tahu asal dan tujuan hidup'. Cerita Jimat kalimasada menunjukkan bahwa seseorang dapat selamat selama-lamanya, apabila memiliki atau selalu berpegang kepada Jimat Kalimasada 'kalimat Syahadat' atau selalu menyebut nama Allah. Hal ini terlihat dalam cerita Petruk Dadi ratu 'Petruk menjadi raja', menggambarkan seseorang meskipun berpangkat rendah atau miskin, tetapi apabila selalu berpegang teguh dan memiliki Jimat Kalimasada 'Kalimat Syahadat' ia akan menjadi orang yang mulia dan terhormat di sisi-Nya.
Cerita Begawan Ciptoning atau Arjunawiwaha ini menggambar seseorang yang dapat mengalahkan nafsu jahat atau nafsu serakah dalam dirinya (=tokoh raksasa Niwatakawaca, tokoh antagonis). Manusia yang selalu ciptoning 'berpikir luhur/positif', dan berhati suci, serta tidak melupakan tugasnya di dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, akan dapat kembali kepada-Nya.
Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa para Wali Sanga dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa sangat bijaksana, dan disesuaikan dengan situasi serta keadaan. Ajakan dan seruannya penuh persuasif lewat karya sastra Jawa, diantaranya lewat media sastra tembang macapat, lagu-lagu dolanan, sastra suluk, dan sastra pewayangan. Kesemuanya itu dapat menambah khasanah perkembangan kesusastraan Jawa. (Disadur dari tulisan Imam Sutardjo)