Orang yang mengaku modern biasanya malu untuk belajar pada masa lampau. Masa lampau sudah berlalu yang hanya patut untuk kebanggaan. Padahal, seharusnya dari kejadian masa lampau kita belajar untuk perencanaan masa depan. Kesalahan-kesalahan pada masa lampau kita perbaiki, dan kearifan-kearifan pada masa lampau kita tiru dan kita lestarikan. Demikian juga kearifan Dapunta Hyang Sri Jayanasa dalam menata kota Sriwijaya patut kita tiru, sekurang-kurangnya oleh para pejabat kota Palembang.
Ketika awal berdirinya kota Sriwijaya (sekitar 680-an Masehi), pemukiman penduduk berada di tepian sungai berupa rumah panggung dan rumah rakit yang ditambatkan di tepian Sungai Musi. Bangunan-bangunan keagamaan seperti candi dan stupa ditempatkan di lokasi yang lebih tinggi, di bukit Siguntang, Candi Angsoka (dekat Rumah Sakit Charitas sekarang), dan daerah Gedingsuro (kompleks PT Pusri sekarang).
Penempatan yang demikian karena bangunan keagamaan tidak boleh tercemar oleh banjir yang mungkin disebabkan meluapnya sungai Musi. Taman Sriksetra ditempatkan jauh di sebelah barat laut kota pada tempat yang tinggi dan mempunyai kandungan air tanah yang cukup banyak, dimaksudkan untuk cadangan air bersih pada musim kemarau.
Ironisnya, Taman Sriksetra sekarang sedang dalam tahap penggusuran. Punggung talang di sekitar tempat diketemukannya prasasti Talang Tuo sekarang merupakan kebun Kelapa Sawit, tetapi di sekitarnya, di beberapa tempat diperuntukkan bagi perumahan.
Lebih celaka lagi, jarak antar rumah sangat rapat, seperti layaknya kampung yang padat penduduk. Keadaan seperti ini dapat menghalangi meresapnya air hujan ke dalam tanah. Sementara itu, di sebelah selatan Talang Tuo tanahnya sedang dikeruk untuk menimbun daerah rawa di Palembang.
Apa jadinya kota Palembang kalau daerah bekas Taman Sriksetra penuh dengan perumahan ? Tentu saja kota Palembang akan mengalami banjir yang cukup parah. Air datang dari luapan sungai Musi, ditambah lagi air juga datang dari daerah yang tinggi di sebelah utara dan barat laut kota bekas lokasi taman.
Usaha penyelamatan bekas lokasi Taman Sriksetra dari penggusuran belum terlambat. Apabila ada niat baik dari Pemerintah Kota Palembang menjadikan kawasan ini sebagai daerah hijau atau daerah resapan air untuk kota Palembang, itu berarti pemerintah kota sekaligus mendukung program penanaman sejuta pohon. Dan, juga dapat menjadi contoh kota di Indonesia dalam usaha melestarikan lingkungan kota ( Bambang Budi Utomo)
Ketika awal berdirinya kota Sriwijaya (sekitar 680-an Masehi), pemukiman penduduk berada di tepian sungai berupa rumah panggung dan rumah rakit yang ditambatkan di tepian Sungai Musi. Bangunan-bangunan keagamaan seperti candi dan stupa ditempatkan di lokasi yang lebih tinggi, di bukit Siguntang, Candi Angsoka (dekat Rumah Sakit Charitas sekarang), dan daerah Gedingsuro (kompleks PT Pusri sekarang).
Penempatan yang demikian karena bangunan keagamaan tidak boleh tercemar oleh banjir yang mungkin disebabkan meluapnya sungai Musi. Taman Sriksetra ditempatkan jauh di sebelah barat laut kota pada tempat yang tinggi dan mempunyai kandungan air tanah yang cukup banyak, dimaksudkan untuk cadangan air bersih pada musim kemarau.
Ironisnya, Taman Sriksetra sekarang sedang dalam tahap penggusuran. Punggung talang di sekitar tempat diketemukannya prasasti Talang Tuo sekarang merupakan kebun Kelapa Sawit, tetapi di sekitarnya, di beberapa tempat diperuntukkan bagi perumahan.
Lebih celaka lagi, jarak antar rumah sangat rapat, seperti layaknya kampung yang padat penduduk. Keadaan seperti ini dapat menghalangi meresapnya air hujan ke dalam tanah. Sementara itu, di sebelah selatan Talang Tuo tanahnya sedang dikeruk untuk menimbun daerah rawa di Palembang.
Apa jadinya kota Palembang kalau daerah bekas Taman Sriksetra penuh dengan perumahan ? Tentu saja kota Palembang akan mengalami banjir yang cukup parah. Air datang dari luapan sungai Musi, ditambah lagi air juga datang dari daerah yang tinggi di sebelah utara dan barat laut kota bekas lokasi taman.
Usaha penyelamatan bekas lokasi Taman Sriksetra dari penggusuran belum terlambat. Apabila ada niat baik dari Pemerintah Kota Palembang menjadikan kawasan ini sebagai daerah hijau atau daerah resapan air untuk kota Palembang, itu berarti pemerintah kota sekaligus mendukung program penanaman sejuta pohon. Dan, juga dapat menjadi contoh kota di Indonesia dalam usaha melestarikan lingkungan kota ( Bambang Budi Utomo)