Kerajaan Sunda Pajajaran mengalami kemunduran sejak Surawisesa digantikan oleh Ratu Sakti (1543-1551). Dibawah kepemimpinan Ratu Sakti, nasib rakyat diabaikan. Yang dipentingkan hanya kesenangan pribadi. Penulis naskah kuno Carita Parahyangan menyindir tajam " Aja timut de sang kawuri polah sang nafa", Artinya, jangan ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikannya.
Ratu Sakti digantikan oleh Prabu Nilakenda (1551-1567). Namun, selama 16 tahun berkuasa keadaannya sudah sedemikian parah. Korupsi dan penyelewengan merajalela. Karena salah urus, tanah Sunda yang subur hanya mengakibatkan kemelaratan dan kelaparan bagi rakyatnya. Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan (Petani menjadi serakah akan makanan sehingga mereka tidak merasa tentram jika tidak menanam sesuatu). Korupsi dan penyelewengan merajalela.
Dalam keadaan seperti itu, nasib pemerintahannya dipertaruhkan dengan membangun proyek-proyek mercusuar seperti memperindah istana berhiaskan emas. Tiap raja dan pengikut setianya menyelenggarakan pesta pora sampai mabuk mabukan. Penulis Carita Parahyangan melukiskan nasib kerajaan Sunda Pajajaran yang sudah berada diambang kehancuran dengan kalimat singkat " Itulah bunga pralaya yang disebut jaman kali atau kaliyuga". Zaman Pralaya adalah jaman kehancuran.
Kerajaan Sunda pajajaran hancur pada tahun 1579, pada akhir masa pemerintahan Ragamulya Suryakencana (1567-1579). Namun, hal itu terjadi karena serbuan Banten dibantu Demak dan Cirebon yang sebelumnya sudah beberapa kali mengalami kegagalan. Ketika pasukan itu berhasil memasuki Pakuan, kratonnya sudah kosong ditinggalkan raja dan pengikut setianya.
Orang-orang Sunda mengobati kesedihannya dengan kalimat singkat : "Pajajaran tidak hilang , tapi ngahyang". (Heri Suganda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar