Jakarta adalah salah satu kota Metropolitan dunia yang resminya tak punya daerah "Lampu Merah". Sekitar 16 tahun yang lalu, akhir tahun 1999, pemerintah menutup lokalisasi pelacurana Kramat Tunggak, satu satunya tempat pelacuran yang boleh dianggap resmi.
Hingga akhir hayatnya, akhir tahun 1999, Kramat Tunggak (Kramtung) merupakan lokalisasi paling akbar di ibukota. Luasnya mencapai sekitar 11 hektar dan dihuni tak kuran 1600 Pekerja Seks Komersial (PSK).
Meski lokalisasi yang dikelola Dinas Sosial DKI Jakarta itu sudah tinggal nama, tak berarti prostitusi ikut tumpas sama sekali. Sampai hari ini kupu kupu malam masih gampang ditemui di berbagai kompleks pelacuran gelap, seperti Pela-Pela, Rawa malang, dan Kali Jodo.
PSK yang lebih berkelas mangkal di berbagai tempat hiburan malam yang banyak terdapat di daerah kota, Jakarta Barat. Bahkan, PSK itu tak hanya orang lokal tetapi juga didatangkan dari wilayah Eropa timur, Eropa tengah, maupun daratan Cina.
Usia prostitusi di Jakarta hampir sama tuanya dengan usia kota itu sendiri. "Bisnis Berahi" sudah ada dan berkembang setidaknya sejak awal masa Belanda berkuasa pada abad ke-17 dan 18. Rumah-rumah bordil yang pernah berdiri di bagian luar di luar tembok benteng VOC di daerah Pasar Ikan.
Dalam buku :"Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda Di Batavia VOC (1988), Sejarawan Belanda, Leonard Blusse, mengatakan, rumah-rumah bordil itu biasa didatangi serdadu-serdadu yang ingin berplesiran dengan perempuan-perempuan penghuninya. Hal ini dilakukan karena serdadu kompeni Belanda dilarang membawa perempuan ke dalam barak-barak mereka.
Seperti yang sering terjadi sekarang, sebagian perempuan warga Batavia waktu itu menjadi pelacur bukan atas kehendak sendiri. Sebuah sumber sejarah mengungkapkan, pada 1625 ada seorang perempuan pribumi yang bernama Maria yang mengadukan suaminya, Manuel , karena tiap hari memaksa dirinya dan budak perempuannya mencari nafkah haram dengan menjual diri kepada para laki-laki Belanda.
Pelacuran tumbuh subur di Batavia lama, antara lain, karena kurangnya jumlah perempuan Eropa yang boleh dikawini laki-laki Belanda. Apakah itu para pegawai dan serdadu VOC maupun mereka yang berasal dari golongan Burgher, yaitu pegawai VOC yang sudah keluar dari perusahaan dagang dan menjadi pengusaha mandiri.
Untuk mengatasi krisis perempuan di kota yang baru didirikan tahun 1619, Gubernur Jendral VOC, Jan Pieterzoon Coen (JP Coen) sempat meminta para petinggi VOC di Belanda untuk mengirimkan ke Batavia ratusan anak perempuan berumur 10-12 tahun. Rencananya yang akan diambil adalah gadis-gadis yang berasal dari berbagai rumah yatim piatu di Belanda. Mereka akan dititipkan pada keluarga-keluarga dan dididik di sekolah-sekolah yang dibiayai Kompeni sebelum dikawinkan saat mereka sudah mencapi usia akil balig.
JP Coen berpendapat, ketersediaan perempuan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi VOC jika ingin sukses berdagang di Hindia Timur. "Jika perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan Hindia akan menjadi milik anda," demikian tulis Coen dalam suratnya kepada Heeren XVII (Tuan Tujuh Belas), dewan komisaris VOC.
Sayang, usul pengiriman para istri dari Eropa untuk ikut mengisi koloni Belanda di Batavia tidak disetujui. Mungkin karena ongkosnya terlalu mahal.
Masalah susila lain yang dihadapi JP Coen adalah pergundikan, yang juga marak di Batavia. Hampir semua pejabat VOC bawahannya punya gundik yang disebut Nyai. Awalnya yang favorit dijadikan gundik adalah perempuan blasteran Portugis-Asia, yang sebagian didatangkan dari Malaka, setelah pelabuhan di Semenanjung Melayu tersebut direbut VOC dari tangan Portugis, pertengahan abad ke-17.
Poligami pun jadi hal yang lumrah. Banyak laki-laki Eropa punya dua atau tiga perempuan simpanan. Pergundikan kian marak karena praktek kumpul kebo dilakukan pula oleh para pedagang Cina yang juga datang ke Batavia sendiri dari negeri asalnya