Kesempatan menuntaskan misteri Tan Malaka datang tahun 1997 saat Poeze mendapat Sabbathical Leave selama setahun, yang digunakan untuk menulis buku. Bab I, Tan Malaka Verguisd en Vergeten ternyata memerlukan waktu sepuluh tahun untuk diselesaikan, setebal 2.200 halaman.
Poeze menemui pula tokoh-tokoh pada hari-hari terakhir Tan Malaka. Dia berkeliling ke beberapa pedesaan di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur, tempat Tan Malaka bergerilya melawan Belanda.
Napak tilas ditempuhnya di Desa Belimbing yang menjadi markas dan pusat propaganda Tan Malaka bersama 50 anak buahnya. Desa Patje, tempat Tan Malaka ditahan pasukan Divisi Brawijaya pun dia sambangi.
Tempat terakhir Desa Selo Panggung yang menjadi puncak riset Poeze adalah tempat Tan Malaka ditembak mati pasukan Batalyon Sikatan pimpinan Letnan Dua Soekotjo, Tan Malaka tewas pada tanggal 21 Februari 1949.
"Bahkan tubuhnya tak diperlakukan layak. Untung Menteri Bachtiar Chamsyah berjanji mengirim tim forensik ke Desa Selo Panggung untuk mencari sisa jenazah Tan Malaka. Beliau bernasib tragis sebagai Pahlawan Nasional yang namanya timbul tenggelam dalam sejarah, karena keberadaan dia tergantung pada kepentingan penguasa, "tutur Poeze.
Fakta sejarah itu dipersembahkan Poeze untuk masyarakat Indonesia lewat buku yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebanyak enam jilid. Bagi Poeze, Tan Malaka adalah sosok pemimpin kerakyatan yang ideal bagi generasi sekarang.
Harta yang ditinggalkannya hanya sepasang kemeja, topi, celana, tongkat, pensil, dan buku tulis - benda yang menjadi andalan baginya untuk menulis sejarah. Tan Malaka membuktikan harta terbesar sebuah bangsa adalah kekayaan pemikiran yang disajikan lewat guratan pena. (Iwan Santosa)
Harta yang ditinggalkannya hanya sepasang kemeja, topi, celana, tongkat, pensil, dan buku tulis - benda yang menjadi andalan baginya untuk menulis sejarah. Tan Malaka membuktikan harta terbesar sebuah bangsa adalah kekayaan pemikiran yang disajikan lewat guratan pena. (Iwan Santosa)