Hubungan antara seni dan religi dalam agama Hindu dan Buddha sangatlah erat. Para pelajar tersebut belajar dari kitab-kitab peraturan untuk membuat kuil dan kelengkapannya seperti arca dan relief. Kitab-kitab itu secara umum disebut Vastusastra.
Disamping mempelajari Vastusastra, mereka mengunjungi pusat-pusat kesenian agama dan berbagai kuil di India. Kemudian mereka membuat replika bangunan suci, dan hasilnya sangatlah terpengaruh oleh pengetahuan dan kemahiran si pembuat. Replika-replika tersebut kemudian dibawa pulang untuk dijadikan contoh candi yang akan mereka dirikan di Indonesia. Oleh karena itu, para peneliti candi hingga sekarang belum pernah menemukan naskah vastusastra di Jawa dan tempat-tempat lain di Indonesia.
Gaya India utara pada candi Bhima khususnya terlihat pada atap candi yang menjulang tinggi, dan tingkatan-tingkatan (lapisan-lapisan) atapnya tidak terlihat. Demikian pula atap candi Bhima dihias dengan relung-relung palsu dengan gambaran muka manusia di tengahnya. Motif ini disebut motif kudu di India selatan dan di India utara disebut motif Gavaksa (go-aksa).
Candi tertua yang ada di Indonesia adalah candi-candi di komplek Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Hal yang menarik perhatian dari candi-candi ini adalah bahwa walaupun candi-candi di komplek Dieng berasal dari satu masa, gaya setiap candi sangat berbeda. Misalnya Candi Bhima di komplek tersebut mempunyai gaya kuil India utara, sedangkan candi-candi lainnya mempunyai gaya India selatan.
Sementara itu, candi-candi seperti Candi Arjuna, Candi Puntadewa, Candi Subhadra, Candi Srikandi, dan sebagainya di komplek yang sama mempunyai gaya India utara. Walaupun begitu, terlihat ada beberapa perbedaan ciri di antara candi-candi tersebut. Dengan demikian, candi-candi di komplek Dieng bisa menjadi salah satu bukti peranan para silpin (seniman) Indonesia, walaupun tidak menuntup kemungkinan adanya campur tangan para penguasa daerah itu.
Contoh kedua adalah Candi Borobudur. Beberapa adegan pada relief candi Borobudur menggambarkan kehidupan sehari-hari di Jawa. Misalnya orang-orang yang sedang berjualan di pasar, orang menanam padi di sawah, memanen, dan memikul padi, dukun menolong kelahiran bayi, dan sebagainya.
Di samping itu, diatas relief Mahakarmawibhanga yang dipahat di kaki candi Borobudur yang tertutup, di atas panil terdapat tulisan (inskripsi) berupa kata-kata petunjuk untuk para seniman, yang akan memahat adegan di panil-panil tersebut. Petunjuk ditulis dengan aksara Jawa kuno (bukan Deva-nagari). Kalaupun ada kata-kata Sansekerta, itu tidak ditulis secara benar, maksudnya tidak diberi akhiran kasus tertentu.
Misalnya untuk pemahatan kata surga hanya ditulis "Swargga" tanpa embel-embel akhiran (ber) kasus. Sebab, bila inskripsi tersebut ditulis oleh seniman India, maka kalau yang digambarkan di surga harus diberi akhiran kasus lokatif, yakni jadi "Swargge"; atau makhluk surga kata swargga harus diberi akhiran kasus genitif, dan sebagainya. Petunjuk tanpa akhiran kasus, bagi seniman Jawa kuno tidak masalah, demikian pula aksara Jawa kuno adalah aksara mereka.
Berbeda bagi silpin atau seniman India, petunjuk tanpa akhiran kasus akan membuat mereka kesulitan, adegan apa yang harus mereka gambarkan di panil itu. Terlebih aksara Jawa kuno bukanlah aksara yang mereka kenal.
Demikianlah, ada dua contoh yang dapat membuktikan bahwa yang mendirikan candi-candi di Jawa bukan orang India, tetapi orang Jawa sendiri. Mungkin dapat ditambahkan disini, ketika mengadakan penelitian di sekitar candi-candi, ahli arkeologi tidak pernah menemukan sisa-sisa "Kampung Keling". Apabila benar orang-orang India yang mendirikan candi-candi di Indonesia, tentunya hal itu akan memakan waktu lama, dan mereka dengan sendirinya akan menetap di sekitar candi yang sedang dibangunnya tersebut. Lewat tulisan singkat ini diharapkan tidak lagi terjadi mispersepsi mengenai siapa pendiri candi-candi di Indonesia (Hariani Santiko)