Sisa-sisa ritual agama Hindu dan Buddha banyak tersebar di beberapa pulau di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sisa-sisa ritual tersebut kebanyakan berupa bangunan suci yang disebut Candi, kemudian ada pula beberapa kolam suci yang disebut Patirthan, dan beberapa goa pertapaan.
Kehadiran candi-candi sangat menarik perhatian. Bentuknya unik, mirip dengan bangunan kuil Hindu di India, serta terbuat dari batu andesit, batu padas, dan beberapa dibuat dari batu bata. Pertanyaan yang sering muncul adalah apa fungsi candi-candi itu ? Apakah hanya untuk memuja Dewa ataukah ada fungsi lain.
Sementara itu, juga ada yang beranggapan bahwa candi adalah makam raja-raja pendirinya. Suatu anggapan yang tidak tepat. Demikian pula ada pertanyaan, siapakah pendiri candi-candi itu ? karena mirip dengan kuil-kuil India, serta merta ada anggapan bahwa pendirinya adalah orang-orang India yang "menaklukkan" raja-raja Indonesia dahulu kala. Ini pun suatu anggapan yang-sekali lagi- tidak tepat.
Candi dan sisa-sisa ritual agama Hindu-Buddha lainnya telah diteliti, dari segi keagamaan, arsitektural, fungsinya dan lain sebagainya, oleh para ahli arkeologi yang mengkhususkan diri untuk mempelajari hal-hal tersebut. Salah satu hasil penelitian mereka akan dipaparkan disini, yaitu tentang siapa pendiri candi-candi tersebut.
Hubungan dagang antara India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah lama terjadi. Hubungan yang bermotif komersial ini kemudian berkembang ke arah hubungan yang bersifat keagamaan. Hal itu dimungkinkan karena awal hubungan dagang India-Indonesia ini waktunya hampir bersamaan dengan perkembangan agama Buddha yang mewajibkan para pendetanya untuk menyebarkan agama tersebut.
Salah satu usaha para Biksu tersebut adalah ikut kapal-kapal pedagang India. Kehadiran para Biksu di kapal-kapal dagang ini dibuktikan oleh penemuan arca-arca Buddha di situs-situs yang dekat dengan alur perdagangan misalnya arca Buddha dari Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad ke-2 Masehi. Di Kota Bangun (Kutai) ditemukan pula arca-arca Buddha gaya Gandhara yang diperkirakan berasal dari abad 2-3 Masehi. Demikian pula sebuah arca Buddha di Bukit Siguntang, Palembang, dari masa yang sama dengan kedua arca dari daerah Sulawesi tersebut.
Berbeda dengan pendeta Buddha, pendeta agama non Buddha, yakni agama Veda dan Hindu, tidak menyebarkan agamanya seperti halnya para Biksu, tetapi mereka datang atas undangan para raja yang memerlukan pertolongan untuk melaksanakan suatu upacara agama. Salah satu contohnya terdapat dalam prasasti yang disebut Yupa dari tepi sungai Muarakaman. Para Wipra (Pendeta ahli Veda) pernah diundang oleh raja-raja Kutai untuk menjalankan upacara agama di sebuah lapangan suci (Ksetra) yang disebut Vaprakeswara.
Di samping pendeta-pendeta India secara aktif menyebarkan agamanya di Indonesia, terdapat orang-orang Indonesia yang pergi ke India untuk belajar agama. Hal ini disebutkan minimal oleh dua buah prasasti. Bahkan, menurut salah satu prasasti itu, seorang raja Sriwijaya telah minta kepada raja dari dinasti Pala untuk membuatkan asrama untuk tempat tinggal para pelajar Indonesia tersebut di Nalanda, India. Para pelajar inilah yang memegang peranan penting dalam pendirian candi-candi di Jawa.