Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya, kata Bung Karno di masa lalu. Satu hal yang niscaya dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun, rekonstruksi peristiwa masa lalu terbuka bagi multi-interpretasi dan manipulasi. Maka, pemahaman sejarah kerap jadi masalah dan sumber malapetaka.
Obyektivitas sejarah hanyalah suatu idaman dan kemasan. Kekuasaan dan selera pejabat jauh lebih menentukan, bagaimana peristiwa masa lalu harus ditulis dan diinterpretasikan. Dalam hal ini sejarah menjadi mirip indoktrinasi. Harus putih dan bersih. Noda hitam hanya perbuatan pengkhianat, musuh bangsa, dan subversi.
Mataram di bawah Sultan Agung Hanyokrokusumo, misalnya, merupakan peristiwa kepahlawanan. Embrio bangkitnya "Kesadaran Nasional" menentang penjajah. Sementara kekejaman dan penindasan penguasa Mataram terhadap rakyat dianggap tidak relevan sebagai fakta sejarah.
Pemahaman kita mengenai peristiwa G 30 S berada pada tataran demikian. Beberapa waktu yang lalu Menteri Pendidikan Nasional meminta Kejaksaan Agung menarik buku pelajaran sejarah yang terlanjur di beredar di sekolah menengah pertama dan atas. Alasannya, penulis buku menghilangkan nama PKI di belakang akronim G 30 S.
Bagi Mendiknas, masalah ini serius, bahkan dianggap memutarbalikkan "fakta" sejarah. Hal yang membahayakan generasi muda bangsa. Kejaksaan Agung masih meneliti buku tersebut. Bukan mustahil penulisnya dipidana.
Lantas, bagaimanakah seharusnya sejarah G 30 S ditulis ?